Rabu, 30 Desember 2020

FPI dibubarkan


“ Babo, rezim sudah berlaku lebih kejam dari Soeharto.” 
“ Berapa usia kamu “
“ 35  tahun. Ada apa Babo?
“ Ok. Artinya usia kamu sama dengan anak saya.  Era Soeharto, ormas semacam FPI itu tidak dibubarkan oleh sekian menteri dan pejabat tinggi negara. Tetapi cukup satu lembaga saja. Yaitu Pangkopkamtip. Di setiap Pangdam ada Laksus. Hanya lembaga itu saja. Selesai semua urusan ormas semacam FPI. Bukan hanya ormas hilang, termasuk pengurusnya hilang dari bumi. “ 
“ Tetapi UUD 45, Pasal 28 menyebutkan, Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
“  Benar. Maksud kamu ?
“ Artinya hak semua orang untuk membuat Ormas. Itu hak dijamin oleh konstitusi. “
“ Salah. Bukan oleh konstitusi atau UUD 45  tetapi oleh UU. Baca baik baik UUD 45 pasal 28. Disitu disebutkan, “ ditetapkan dengan UU. Artinya jangan lihat UUD 45 tetapi lihat UU. “
“ Ya saya tahu. Itu UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Pasal 24 ayat (1) UU HAM, “Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.” clear ya. Salahnya dimana ? 
“ FPI menolak asas tunggal Pancasila. Itu bertentangan dengan UU Ormas”
“ Ah Babo, sotoy.  UU Ormas itu ngawur. Bisa bisanya Jokowi aja. Pinteran sedikitlah Babo. Pancasila sebagai idiologi tidak ada dasar konstitusi. Dalam UU 45 tidak ada itu. Pancasila itu bukan sebagai sumber hukum positip”
“ Ya saya paham. Namun dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 2, Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat. Nah UU Ormas menyebutkan keharusan setiap ormas mempunyai asas Pancasila. Artinya kalau dalam AD/ART tidak mengakui Pancasila, maka ormas itu tidak sah atau ilegal. Dianggap sebagai ormas terlarang.”
“ Saya tanya babo. Apakah islam itu arti Pancasila.”
“ Pendapat kamu apa ?
“ Ya tidak ada dalam islam itu yang anti Pancasila. Babo harus ngaji lagi. Umat islam lebih paham Pancasila daripada orang kafir.”
“ Ok kalau begitu, kenapa FPI engga ubah  AD/ART nya menjadi Pancasila. Kan selesai masalahnya. Tidak perlu ada pembubaran.”
“ Tetapi kalau kita ubah Pancasila, itu artinya kita akui ajaran selain islam”
“ Loh, katanya Pancasila tidak bertentangan dengan Islam.”
“ Saya tanya babo sekarang. Apakah Babo ikhlas agama islam berganti Pancasila “
“ Pancasila bukan agama. Pancasila pandangan hidup bernegara da berbangsa, yang kita akui tidak berbeda dengan Islam. Menerima pancasila bukan berarti pindah agama.  Paham ya.”
“ UU Ormas, Pasal 61, pembubaran harus melalui proses peringatan tertulis, penghentian kegiatan, dan pencabutan status badan hukum.”
“ Benar. Itu kalau FPI statusnya ormas legal. Kan sejak Juni 2019 udah engga ada izin. Mendagri tidak memperpanjang SKT karena  bertentangan dengan UU Ormas 2017. Artinya kan sekarang FPI bukan ormas lagi. Tidak berlaku pasal 61 UU Ormas.” 
“ Tetapi selama ini kita aman saja. Kenapa baru sekarang dibubarkan.”
“ Tidak dibubarkan bukan berarti boleh. Pemerintah berharap FPI menghormati UU. Harusnya FPI kalau tidak ingin ubah AD/ART, ya bubarkan sendiri saja. Hentikan semua aktifitas atas nama FPI. Kan selesai masalahnya. Engga perlu ribut, dan bikin pemeritah repot.”
“ Kalau FPI dibubarkan, kan bisa buat ormas lagi.”
“ Silahkan. Tetapi kalau AD/ART tidak Pancasila, maka semua aktifitasnya ilegal.”
“ Emang dilarang orang kumpul kumpul ?“
“ Engga dilarang. Tetapi izin keramaian harus ada. Polisi dan aparat pemerintah pasti tidak akan keluarkan izin kalau ormas yang ajukan tanpa izin atau tidak berasaskan Pancasila..”
“ Pancasila lagi! Ah sudahlah. Saya hanya kasihan nasip Babo diakhirat nanti. Neraka tempatnya. Tobatlah.”
“ Terimakasih. Udahan ya.”

Senin, 28 Desember 2020

Our Man in Damascus


Eliahu ben Shaoul Cohen lahir di Mesir (1924) dari orangtua Yahudi kelahiran Aleppo, Suriah, yang kemudian hijrah ke Mesir, sebelum akhirnya menetap di Israel. Ia fasih berbahasa Ibrani, Arab, Inggris, dan Perancis. 

Suriah sejak awal -hingga kini- merupakan negara Arab yang paling gigih menentang pendirian Israel di atas tanah Palestina, sementara negara-negara Arab lain memilih berdamai dengan Israel. Eli direkrut Mossad untuk menjadi mata-mata di Suriah. Ia diberi berbagai jenis training, termasuk training bahasa Arab dialek Suriah. ‘Kehebatan’ Eli membuatnya mampu tampil sempurna sebagai Kamal Amin Ta’abet : lahir di Beirut dari orangtua muslim asal Suriah; yang pada tahun 1948, pindah ke Argentina, dan di sana mereka menjelma sebagai pedagang tekstil Suriah yang sangat sukses.

Tahun 1961, Eli dikirim ke Argentina untuk memulai penyamarannya. Dengan cepat dia berhasil mendapat tempat di tengah para imigran Suriah di Argentina dan dikenal sebagai anak bangsa Suriah yang sukses, dermawan, pintar, dan menyenangkan. Eli pun berhasil menjalin kontak erat dengan para diplomat Suriah, termasuk Jenderal Amin Al Hafez, pentolan Partai Sosialis Baath Suriah. 

Eli berhasil mengambil hati orang-orang partai ini dan aliran dana besar dari Eli membuatnya dianggap sebagai ‘tokoh masa depan Partai Baath’. Pada tahun 1961, Partai Baath naik ke puncak kekuasaan di Suriah. Eli pun datang ke Damaskus sebagai seorang pengusaha sukses yang ingin mengabdi pada tanah airnya. Uniknya, Eli bisa membuat situasi bahwa dia datang ke Damaskus justru setelah dibujuk dan didesak oleh teman-temannya, orang-orang elit Suriah. 

Di Damaskus, dia segera populer sebagai pengusaha kaya yang baik hati dan dekat dengan pejabat. Ketika Amin Al Hafez menjadi Perdana Menteri, Eli bahkan sudah dipertimbangkan untuk diangkat sebagai Deputi Menteri Pertahanan karena pengetahuannya yang luas di bidang militer. Sedemikian besar kepercayaan para pejabat Suriah terhadapnya, sampai-sampai Eli dengan bebas mendatangi kawasan militer yang sangat rahasia di Golan.

Eli adalah orang yang memberi saran kepada militer Suriah agar Dataran Tinggi Golan ditanami pohon-pohon kayu putih, alasannya, agar pohon-pohon itu bisa menjadi tempat berlindung bagi pasukan Suriah. Padahal, sebenarnya tujuan penanaman pohon itu adalah agar tentara Israel tahu di mana letak persembunyian pasukan Suriah. 

Posisi strategis yang dimiliki Eli membuat ia mampu mengirim berbagai informasi penting kepada Israel pada rentang waktu 1962-1965. Informasi berupa foto, sketsa denah pertahanan militer, nama-nama tentara, hingga strategi militer Suriah itu kemudian digunakan Israel dalam mengalahkan pasukan Arab dalam Perang Enam Hari (Juni 1967). Akibat perang itu pula, Dataran Tinggi Golan milik Suriah jatuh ke tangan Israel. Israel sejak awal memang mengincar Golan karena selain strategis dari sisi militer, kawasan ini juga amat subur dan kaya sumber air (kini menyuplai 30% air di Israel). 

Pada tahun keempat misinya, Eli lupa bahwa Kedutaan India pindah ke dekat apartemennya. Sebagaimana layaknya kedutaan lain, Kedubes India sering mengirim berita dengan kawat. Eli pun, secara teratur mengirim informasi ke Israel dari apartemennya. Orang-orang Kedubes India heran, mengapa pada saat-saat tertentu, selalu saja ada gangguan pengiriman kawat. 

Setelah mereka melapor pada pihak keamanan Suriah, barulah terungkap sebuah rahasia besar: anak emas PM Suriah ternyata seorang mata-mata Mossad! Pada tahun 18 Mei 1965, Eli dijatuhi hukuman gantung di pusat kota Damaskus. 

Israel pun memuji-muji jasa Eli dan menyebutnya sebagai “Our Man in Damascus”.

---
Foto: tahun 1987, kisah Eli Cohen difilmkan dengan judul “Impossible Spy”
..

Dina Sulaiman

Kamis, 24 Desember 2020

NATAL DI MESIR


Mesir adalah negara Islam terkemuka. Di samping negeri Piramida di sana ada Universitas Islam tertua di dunia dan sangat terkenal; Al-Azhar. Semula ia adalah Jami’, masjid. Panglima Perang, dari dinasty Fatimiy yang Syi’ah, Jauhar dari Sicilia, pembangunnya, menjadikan masjid itu bukan hanya sebagai tempat shalat, tetapi juga pusat belajar, seperti fungsi masjid zaman Nabi. Tak lama kemudian ia berubah menjadi Universitas (al Jami’ah). Universitas ini menjadi pusat keilmuan Islam Internasional sejak lebih dari 1000 tahun dan telah melahirkan ratusan ribu ulama besar. Pikiran-pikiran dan buku-buku mereka menjadi rujukan masyarakat muslim di seluruh dunia sepanjang masa. Dalam kurun waktu yang cukup panjang itu, otoritas keagamaan al Azhar, tak pernah terusik untuk meruntuhkan peradaban non muslim yang penuh pesona itu. Hari ini ada sekitar 7000 mahasiswa Indonesia yang belajar di sana. 

Di negara ini banyak masjid yang berdiri berdampingan dengan gereja. Ini menunjukkan hidup berdampingan antar umat beragama dalam relasi saling menghormati berlangsung dalam suasana damai. 

Ketika Natal tiba, seluruh warga negeri ini seakan larut dalam kegembiraan bersama. Mereka memperlihatkan dengan nyata makna kebersamaan dan persaudaraan, meski dengan keyakinan dan agama berbeda. Di sana juga ada semacam tradisi di mana pemimpin tertinggi agama Islam dan pemimpin tertinggi agama Kristen saling mengucapkan selamat dan menyampaikan simpati pada hari raya masing-masing. Pemimpin Islam mengucapkan “selamat hari Natal” dan pemimpin tertinggi Kristen mengucapkan “selamat Idul Fitri”. Mereka tetap dalam keyakinan dan keimanannya masing-masing. Grand Syeikh Al-Azhar, pemimpin Islam tertinggi, selalu hadir dalam perayaan Natal umat Kristen (Koptik) di sana. Ini moment penting bagi perwujudan persaudaraan umat manusia, dan perdamaian bangsa dan penghormatan atas segala jenis perbedaan.

Al-Syeikh Al-Akbar Al Azhar University, Prof Dr Ahmad Al Tayeb. Dua hari menjelang natal, mengunjungi Katedral Gereja Koptik untuk bersilaturrahim dengan Pemimpin Tertinggi Koptik, Paus Tawadrous II yang oleh rakyat Mesir menyapanya Baba Tawadrous.

"Sesungguhnya ziarah ke Kaderal ini untuk menyampaikan selamat Natal kepada Baba Tawadrous dan saudara-saudara Koptik," kata Syeikh yang disiarkan secara luas oleh media massa di Timur Tengah.

"Dengan hati yang tulus saya sampaikan Selamat Natal kepada Baba Tawadrous, dan harapan terbaik untuk seluruh saudara Koptik dalam rangka peringatan Natal," tulisnya. 

Pemimpin tertinggi Al Azhar tersebut juga menyinggung kedekatan hubungan dan langkah-langkah bersama dalam mendukung rasa persaudaraan dan persatuan.

Dalam Bulan Desember suasana Natal begitu terasa di mana-mana. Restoran penuh dengan dekorasi Natal disertai ucapan Natal : "Id Milad al-Masih al-Majid". Di balik kaca penutup meja makan semua restoran juga ada selebaran-selebaran yang mengajak setiap tamu yang datang untuk ikut bersyukur kepada Tuhan atas kelahiran Nabi Isa atau Yesus. Pemilik restoran banyak yang beragama Islam. Betapa indahnya kebersamaan relasi antar umat beragama dengan kekokohan keyakinan diri masing-masing.

Keadaan seperti di atas tidak hanya terjadi di Mesir, melainkan juga di negara-negara Islam yang lain seperti Suriah, Lebanon, Irak dan Qatar, Kuwait, Turki dan lain-lain. 

Selamat Natal untuk umat Kristiani. Damai di hati, Damai di bumi. Semoga Kasih Sayang antar umat manusia terjalin selama-lamanya, sepanjang zaman. 

(Ini adalah sebagian tulisan tentang Natal yang pernah ditulis di sini beberapa tahun lalu). 

24.12.19
24.12.20
HM

Rabu, 23 Desember 2020

Dr. TERAWAN.


Saya mulai mengikuti berita tentang dirinya saat ilmunya untuk penyembuhan stroke tak diakui IDI ( ini kekonyolan di Indonesia ada ilmu kedokteran luar yg tidak bisa diakui, sementara universitas kedokteran paling Joss Unair hanya di ranking di 501-600 dunia ), ada ketololan kolektif menurut saya, semoga saya salah.

Sebelum jadi menteri saya dapat cerita langsung dari teman saya Aldy yg di rawat dr Terawan. Ceritanya thn 2018 dia kena stroke di Selandia Baru, dua Minggu dirawat disana tidak ada perubahan, diterbangkan pulang ke Jakarta, dia dapat prioritas ditangani langsung ( kebetulan bossnya ada jalur, kl tidak ngantrinya bs 2 bulan ).
Aldy bernasib mujur, 2 hari dirawat dia sudah bisa berdiri, 7 hari pakai tongkat, sebulan dia sudah ngantor. Ini fakta.

Kemudian dr. Terawan diangkat menteri oleh presiden, IDI ribut lagi, mereka tidak mengakui. Kalau saya bilang IDI ini hampir 11-12 dgn MUI, seolah semua urusan kesehatan mereka yg punya hak mengatur, bagaimana kemajuan ilmu kedokteran yg belum kita serap. Bagaimana harga obat yg muahalnya selangit vs Malaysia yg harga obatnya hanya 20-30 % saja dibanding Indonesia. Maaf saya hafal karena saya rutin kesana min 6 bln sekali.

Dr. Terawan adalah tipikal orang gak banyak ngomong, dia pekerja, dia penolong, dia pakai ilmunya di tempat yg benar. Dia tidak cocok jd menteri yg banyak duri politik, jadi dia akan kembali mengabdi sesuai habitatnya, dan pasti ilmunya sangat berguna.

Welcome back dr. Terawan, Tuhan memberimu kemuliaan dgn tanganmu yg ringan membantu, bukan jabatan yg justru membuatmu terus di ganggu. Karena disana lebih banyak pedagang obat daripada yg punya niat untuk menolong orang yg berobat.

Terima kasih Dr. Terawan, engkau adalah menteri yg sehat lahir batin, bukan yg sehat lahir sakit batin. GBU, SELAMAT NATAL.
.
.
.
Iyyas Subiakto

Minggu, 20 Desember 2020

Vaksin dan Ocehan Cing Mi


Waktu pemerintah Indonesia memutuskan untuk melakukan uji klinis vaksin Covid19 buatan Cina, kaum Cing Mi (cacing kremi) mengejek: "Mau aja dijadikan kelinci percobaan." Bukang, Cing. Itu manusia percobaan. Uji klinis itu harus dilakukan terhadap manusia. Tidak lagi bisa terhadap hewan. Itu kamu anggap rendah? Ya karena cacing kremi nggak paham uji klinis. Tanpa uji klinis kita tidak akan pernah punya vaksin. Jadi memilih jadi manusia percobaan itu bukan tindakan rendah. 

Lalu kaum Cing Mi menyebar berita "Cina kekurangan monyet untuk uji vaksin". Dengan imajinasi mereka, dikaranglah cerita seolah orang Cina tidak mau disuntik pakai vaksin mereka sendiri. Cuma pakai monyet doang. Itu lagi-lagi kebodohan. Sejak bulan Juli Cina sudah menyuntikkan ratusan ribu  vaksin ke rakyatnya, sebagai penggunaan darurat. Ini bukan tes, Cing, penggunaan!

Memang penggunaan itu dikritik sebagian ilmuwan. Kok sudah dipakai sebelum uji klinis selesai? Ya, karena darurat.

Kenapa Indonesia sudah beli? Ya, karena darurat juga. Kalau kita baru beli setelah semuanya beres, mungkin kita tidak kebagian. Keadaan darurat sering kali memerlukan tindakan darurat yang tidak bisa dinilai pakai nalar normal.

Jadi sebenarnya bagaimana? Kalau memang ingin tahu, ya tunggu. Saya barusan baca pendapat seorang ahli, maaf nggak ketemu lagi link-nya. Mana yang lebih bagus vaksinnya? Modena, Pfizer, atau Sinovac? Jawab dia,"time will tell." Cina mengembangkan vaksin pakai metode lama. Apakah metode itu kurang ampuh? Belum tentu, dan belum tahu. 

Sementara kita belum tahu, ya tunggu. Lha ini belum tahu kok sudah mencela. Basis celaan itu pakai apa? Pakai nalar cacing kremi.

Saya bukan pemuja pemerintah. Tapi usaha yang dilakukan pemerintah untuk menangani Covid19 ini perlu didukung. Kalau tidak mendukung, tutup mulut sajalah. Jangan menebar keraguan berbasis pada nalar cacing kremi. 

Adakan yang perlu kita waspadai? Ada banyak. Kemungkinan korupsi dari vaksin ini menganga. Kita harus kritis soal itu. Tapi ingat, kritis itu harus berbasis data, bukan prasangka.

Menyambut Natal di Timur Tengah


Oleh Sumanto Al Qurtuby
Direktur Nusantara Institute, dosen King Fahd University, dan senior fellow Middle East Institute

Bagi sebagian umat Islam di Indonesia, khususnya kelompok konservatif, pernik-pernik yang diidentikkan atau disimbolkan dengan Kristen (atau yang biasa dipakai oleh umat Kristen) dianggap haram sehingga harus dimusnahkan dari muka bumi dan muka mereka. 

Karena itu jangan heran kalau mereka alergi, kejang-kejang, dan antipati dengan, misalnya, salib, lonceng, Santa, pohon cemara, lilin, patung, dlsb. Sekedar “mengucapkan Natal” pun haram. Mereka takut “menjadi Kristen” atau minimal khawatir “mengakui keimanan Kristen”. 

Lain ladang lain belalang, lain tempat lain habitat, lain Indonesia lain pula Timur Tengah. Jika sebagian umat Islam Indonesia alergi dengan simbol-simbol dan pernak-pernik Kristen, sebagian umat Islam di Timur Tengah justru memproduksi simbol-simbol dan pernik-pernik itu. 

Seperti di foto ini, sekelompok perempuan Muslimah di Desa Ummul Nasser, Palestina, tampak sedang sibuk membuat boneka santa, sementara yang lain membikin pohon Natal. Mereka diperkerjakan oleh perusahaan (industri/kerajinan rumahan) Zaina Cooperative. 

Direktur Eksekutif Zaina Cooperative Hanin Rizk al-Sammak mengatakan kalau kerajinan rumahan ini dimaksudkan untuk membantu menciptakan pekerjaan pada kaum perempuan. “Kami membuat pernak-pernik Natal ini dengan penuh kecermatan dan suka-cinta,” paparnya. Kerajinan rumahan ini bukan hanya membuat pernak-pernik umat Kristen tetapi juga Muslim dan Yahudi. 

Produk kerajinan ini kemudian dijajakan atau dijual pada para turis domestik maupun mancanegara (umat Kristen atau siapa saja) di Yerusalem yang menjadi menjadi salah satu destinasi “wisata reliji” terkenal di Timur Tengah. 

Pernak-pernik Kristen yang dibuat oleh umat Islam di Yerusalem ini kurang lebih sama dengan “pernak-pernik Islam” yang dijual untuk jamaah haji/umroh di Makah, Madinah dan sentero Arab Saudi (seperti sajadah, tasbih, peci haji, surban, abaya, boneka onta, dlsb) yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan China. 

Tidak seperti pandangan sebagian kaum Muslim di Indonesia yang overdosis terhadap simbol-simbol dan pernak-pernik Kristen, bagi mereka di Palestina (dan Timur Tengah pada umumnya), pernak-pernik itu tidak lebih hanyalah “benda profan-sekuler” produk kebudayaan manusia seperti layaknya benda-benda lain yang bisa dibuat oleh siapa saja, dijual kepada siapa saja, dan dimiliki oleh siapa saja. 

Apa sih bedanya antara boneka Santa, Santo, dan Santi? Apa sih bedanya antara pohon cemara dengan pohon jengkol? Apa sih bedanya antara rusa dan onta? Karena itu sangat berlebihan dan mengada-ada kalau mereka cemas, khawatir dengan simbol dan pernak-pernik yang biasa dipakai oleh umat agama tertentu.

Memiliki pernak-pernik Kristen itu bukan berarti secara otomatis, by default, “menjadi Kristen”, sama seperti orang yang memakai hijab (baik yang syar’i, syar’i, atau tidak syar’i) bukan berarti secara otomatis "menjadi Muslimah", atau memelihara jenggot berarti secara otomatis menjadi Muslim karena Mbah Santa juga berjenggot qiqiqi eh salah hohoho.

Jabal Dhahran, Jazirah Arabia

Jumat, 18 Desember 2020

"Dokter Gelandangan" Michael Leksodimulyo


Oleh Sumanto Al Qurtuby 
Direktur Nusantara Institute, dosen King Fahd University, dan senior fellow Middle East Institute 

Bagi warga dan arek-arek Surabaya dan sekitarnya mungkin tidak asing lagi dengan nama Michael Leksodimulyo yang populer dengan sebutan "Dokter Spesialis Gelandangan". Julukan ini disematkan kepadanya lantaran Dokter Michael, melalui "klinik keliling", menyediakan pelayanan dan pengobatan gratis pada kaum dhuafa atau fakir-miskin yang tinggal di kompleks-kompleks kumuh, kolong jembatan, area pemakaman dlsb. 

Karena aktivitas sosial dan dedikasi kemanusiaan yang ia lakukan bersama Yayasan Pondok Kasih, dokter Katolik-Tionghoa ini berhasil meraih sejumlah penghargaan dari Kementerian Kesehatan RI hingga WHO (World Health Organization). 

Tadi malam, Dokter Michael diundang sebagai narasumber (narsum) diskusi (via Zoom) oleh Perkumpulan Boen Hian Tong, Semarang, yang dikelola oleh sahabatku Pak Harjanto Halim. Karena tertarik, saya sempatkan untuk mengikuti diskusi bertema "Tionghoa Mengabdi" ini. 

Dari awal hingga akhir saya mendengarkan dengan seksama kisah-kisah heroiknya selama 13 tahun belakangan ini dalam mengabdi pada kemanusiaan, khususnya para manusia yang hidup mereka tidak beruntung secara finansial-ekonomi, yaitu kaum fakir-miskin, khususnya kaum fakir-miskin kota, baik yang balita maupun lansia, dari berbagai latar belakang etnis dan agama. 

"Saya melayani siapa saja yang membutuhkan pengobatan dan pertolongan dari etnis dan agama mana saja: Katolik, Protestan, Muslim, Buddha dan bahkan mereka yang tak beragama atau tidak mengakui Tuhan sekalipun," paparnya. Dokter Michael yang bernama Tionghoa Tan Kian Gwan ini (mohon maaf kalau saya salah menulisnya) juga melayani kaum fakir-miskin di wilayah atau "kantong-kantong" konservatif-agama. 

Awalnya, tak jarang dia dimaki-maki oleh sejumlah orang dituduh melakukan "Kristenisasi" atau dituduh "Cino medit metitit" (pelit) karena hanya memberi sembako, mi instan, atau makanan. Bukan hanya itu saja. Ia juga pernah diusir, dilempar dengan makanan yang ia berikan, atau bahkan diludahi. 

Tapi Dokter Michael bergeming. Ia tak memperdulikan semua itu. Ia tetap tersenyum, sabar, tabah, dan terus datang & melayani mereka yang membutuhkan hingga akhirnya mereka menyadari kalau apa yang Dokter Michael lakukan adalah murni pelayanan dan pengabdian kemanusiaan yang didasari pada spirit cinta-kasih tanpa embel-embel ormas, parpol, dan agama tertentu. "Mereka yang dulu sempat mencurigai, membenci, dan memusuhiku, kini jadi mendukungku," katanya. 

Bahkan di era awal Covid (sekitar Maret - Juni, 2020) di saat banyak dokter dan suster tiarap tak mau memberi pelayanan karena takut, ia rela "blusukan" ditemani istri tercintanya yang selalu mendukungnya. "Ditemani istriku, saya keliling membagikan sembako maupun memberi pengobatan gratis pada warga miskin di masa-masa awal Covid," ungkapnya. "Sekarang ada lebih dari 360an yang menjadi relavan," tuturnya. 

Dokter Michael dan Yayasan Pondok Kasih bahkan tidak hanya bergumul di bidang pengobatan gratis saja tetapi juga bergerak di kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya yang dihadapi warga fakir-miskin kota. Misalnya, membantu usaha mandiri kecil-kecilan, berternak atau bercocok tanam sistem hidroponik dlsb. Ia juga memprakarsai pendirian mushala, sekolah dan “tempat ngaji” untuk anak-anak Muslim yang tinggal di kompleks kumuh. “Saya sering memberi ‘sekolah Minggu’ disini tapi bukan untuk mengkristenkan mereka melainkan untuk berbagi tentang pentingnya cinta-kasih pada sesama umat manusia dan makhluk Tuhan,” terangnya.   

***

Apa yang menyebabkan dokter Michael memilih jalan menjadi "dokter gelandangan"? Momen apa yang membuatnya pindah haluan menjadi “dokter keliling” melayani warga miskin kota? Peristiwa apa yang membuat dokter Michael memilih mundur dari jabatannya sebagai wakil direktur RS Adi Husada, Surabaya, dan memilih sebagai “dokter blusukan”? 

“Suatu saat,” dokter Michael mengisahkan, “Saya diajak jalan-jalan oleh Ibu Hana Amalia Vandayani, Ketua Yayasan Pondok Kasih, untuk mendatangi warga miskin yang tinggal di tempat-tempat kumuh, kolong jembatan, atau kompleks pemakaman yang sulit mendapatkan akses kesehatan. Di tengah jalan kami memergoki orang tua berpenampilan lusuh dan berjalan “ngesot” terseok-seok mencoba menyeberang jalan raya. Seketika Ibu Hana minta turun dari mobil. Ia kemudian berlari menuju orang tua itu kemudian memeluknya erat dengan penuh kasih. Ibu Hana kemudian mengatakan padaku, orang tua ini dan fakir-miskin lain adalah mutiara Tuhan. Jika kamu merasa mencintai Tuhan, maka cintailah mereka dengan segenap hati dan pikiran.” 

Momen itu telah meruntuhkan hati doker Michael. Sesampai di rumah dia menangis sesenggukan hingga sang istri bertanya-tanya. Ada apa? Dipecat dari Rumah Sakit? Dokter Michael kemudian mengisahkan pengalamannya pada istri tercinta. Tak lupa ia mengutarakan maksudnya untuk mengajukan pengunduran diri sebagai wakil direktur RS Adi Husada supaya lebih fokus melayani masyarakat miskin kota yang membutuhkan pertolongan kesehatan dan pengobatan. Maka begitulah ia kemudian bergabung dengan Yayasan Pondok Kasih. 

Selama ini, sebelum bergabung dengan Yayasan Pondok Kasih, dokter Michael merasa bersalah karena belum memenuhi “janji seorang dokter” dan belum mengabdi secara maksimal pada warga fakir-miskin. Padahal, ia sendiri berasal dari keluarga miskin. Orang tuanya adalah penjual pakaian di Pasar Turi, Surabaya. Karena itu mereka hanya bisa menangis saat Micahel remaja mengutarakan niatnya ingin kuliah di Fakultas Kedokteran yang tentunya sangat mahal. Meski orang tua membujuknya untuk mengurungkan niatnya karena tak mampu membiayainya, Michael bergeming. Ia bersikeras ingin menjadi dokter. 

Tuhan pun akhirnya mendengar – dan mengabulkan – niat dan keinginannya. Maka, ia pun mendapat beasiswa untuk kuliah di Universitas Sam Ratulangi, Manado. Tetapi karena tidak punya uang cukup untuk biaya perjalanan, akhirnya ia pun naik kapal barang dan terlunta-lunta di lautan. Di Manado pun ia sempat bekerja sebagai pembantu rumah tangga supaya dapat tempat untuk tinggal dan makan.  

Kini dokter Michael sudah memenuhi janjinya. Ia pun merasa lebih bahagia dengan jalan barunya yang ia tempuh itu. Tak lupa ia berterima kasih pada warga fakir-miskin yang telah membukakan mata-hatinya dan menunjukkan jalan baginya untuk mendapatkan “mutiara-mutiara” Tuhan yang terpendam di tempat-tempat kumuh, panas, dan pengap, bukan di tempat-tempat ibadah yang indah, ber-AC, dan megah. 

Jabal Dhahran, Jazirah Arabia

Minggu, 13 Desember 2020

TENTANG HRS: JANGAN BERGEMBIRA TERLALU DINI I


Publik harusnya bertanya, mengapa HRS sedemikian mudah menyerahkan diri. Jawaban paling praktis selalu pada ia sudah ditinggalkan bohirnya. Lalu spekulasi akan muncul di belakangnya. Sebenarnya siapa sebenarnya bohirnya? Jawaban paling gampang akan mengarah pada Aliansi 3C. Ketiganya mengarah pada tiga dinasti yang berbeda itu. Yakin? 

Saya kok tidak. Mereka memang satu kepentingan, tapi sesungguhnya tiga kepentingan yang tak pernah ketemu. Saling memanfaatkan, tapi sesungguhnya saling tidak suka dan sebenarnya juga sulit akan bersatu di satu kubu. Saya bayangkan kalau, mereka bersatu itu. Ibaratnya HRS dan FPI itu seolah event organizer yang ngadain Pensi, lalu ketiganya jadi sponsor gitu? Kok enak. 

Sependek yang saya tahu, Cendana itu baru bergerak bila harta kekayaan tinggalan Suharto diutak-atik. Cikeas itu akan mulai menunjukkan sungutnya, kalau kasus2 korupsi dibicarakan lagi. Sedangkan JK bereaksi ketika utang2nya tak terbayar. Makanya, indikasi terkuat mengarah pada JK, yang memang harus menghadapi tuntutan ini itu dari berbagai pihak. Itu pun, tidak secara langsung megarah pada dirinya. Keluarga besarnya sih iya.

Lalu siapa...

Masalahnya publik itu kadang melihat politik praktis juga kadang terlalu praktis. Contoh paling akhir adalah kasus Sigi. Sejauh yang saya amati dan pelajari, tak ada indikasi atau bukti apa pun sejauh ini bahwa Kelompok MIT pimpinan Ali Kalora adalah pelakunya. Tapi publik lalu membelokkan kasusnya, pada kenapa Jokowi lambat bereaksi. Atas tuntutan publik, lalu tiba2 Jokowi bereaksi dan upaya pengejaran siapa yang dianggap teroris bergerak. 

Polisi dan TNI lalu mengamini. Ikut ngombyongi bahwa teroris ini jahat dan keji, dsb-nya. Referensi-nya adalah peristiwa beberapa tahun sebelumnya. Tak pernah ada bukti sama sekali, bahwa itu pelakunya adalah siapa yang dituduhkan itu. Saya pikir, stigma publik memang luar biasa. Kadang ngawurnya juga sama keterlaluannya, saat menanyakan dimana suara Komnas HAM. Lah Komnas HAM itu justru harus hadir jika ada indikasi aparat negara terlibat dalam suatu kasus.

Lah siapa pun yang terlibat dalam kasus Sigi bukankah yang dituduh adalah teroris, yang jelas itu wilayah kriminal. Lah kalau Komnas HAM akhirnya turun, tentu atas desakan publik. Oleh siapa yang kadang sombong, dengan gaya bahasa sok iye: kemana uang pajakku yang digunakan para komisioner HAM itu? Namun bukankah dengan bergerak mereka, harusnya muncul kecurigaan "jangan2 ini permainan intelejen"? Pekok berjamaah!

Pun dalam kasus HRS ini? 

Pertanyaannya, harusnya kenapa sejak dari kepulangannya dia dibiarkan terus menerus membuat kesalahan. Jemaahnya membuat kerusakan di fasilitas publik. Lalu justru ditoleransi oleh pihak PT Angkasa Pura. Lalu mengadakan pesta hajatan besar2an yang dibiarkan Gubernur dan Polda-nya. Dan atas nama apa pun akhirnya terselenggara. Dan terakhir adalah kucing2an yang terjadi atas nama protokol kesehatan. Pemeriksaan Covid yang akhirnya menyasar banyak orang juga.  

Dan ujungnya adalah peristiwa penembakan 6 orang yang dianggap menyerang polisi yang menguntitnya. Lepas dari tak adanya rekaman, atau pun rekonstruksi peristiwa. Menunjukkan semua sesuai skenario yang direncanakan, semua menjadi utuh dan sempurna. Karena itu, sangat bisa dipahami mengapa akhirnya HRS betul2 habis dan menyerahkan diri tanpa kawalan. Sebuah anti-klimaks yang luar biasa.

Bagian yang publik tidak tahu. Baiklah saya sedikit ceritakan, walau saya sadar bahwa hal ini akan dibantah....

Posisi PDI-P akhir2 selalu diam, tapi sesungguhnya justru menunjukkan kematangan dan kecerdasan yang luar biasa dalam bermain politik. Ia sangat menguasai dan memanfaatkan kekuatan intelejen yang menjadi alat permaianannya. Ia tahu bahwa kekuatan negara adalah bdengan bagimana menjalankan kekuatan telik sandinya. 

Salah satu buktinya, apakah ia bereaksi keras ketika kadernya JPB ditangkap KPK? Pimpinan partai tahu, tiba2 JPB jadi sangat serakah, jumlah duit yang dikorup itu tak hanya sekedar 17 M sebatas di DKI Jakarta. Tapi nyaris, belasan trilyun. Kemana larinya? Nah itu, cerita lain. Kata kunci-nya justru di lingkaran hobi lamanya itu.

Bukti lain, kemenangan di banyak Pilkada yang sebelumnya bikin heboh publik dengan apa yang dituduhkan "politik dinasti".  Dimana disinyalir 53 peserta Pilkada 2020 yang merupakan keluarga atau kerabat pejabat. Dimana sebagian besar memang adalah kader partai ini. Sialnya bukti lainnya juga muncul, bahkan ketika dikeroyok pun, seperti di Pilkada Kota Surabaya tetap menang telak. Dan tak bisa disanggah, PDI-P menang besar...

Lalu apa yang terjadi pada HRS kaitannya PDI-P? 

Tersiar kabar, bahwa kalau tidak dipakai lagi oleh Sidikasi 3C itu. FPI dan HRS akan digunakan oleh PDI-P sebagai "ice breaker",  pemecah suara umat Islam. Ia akan diberi ruang sedemikian rupa oleh partai paling besar dan berkuasa, secara langsung maupun tidak langsung untuk merangkul kelompok2 Islam konservatif. Artinya untuk menyaring kelompok Islam ini, harus dicarikan "musuh bersama". Dan tampaknya itu berhasil...

Indikasinya apa? Ia hanya dituduh melanggar protokol kesehatan. Yang jelas hukumannya paling minimal. Jangan2 malah cuma denda. Tak lama, ia akan dibebaskan. Tentu dengan berbagai deal2 baru tentu saja. Lalu, bohir-nya berpindah tangan. Sementara bohir lamanya tumbang, tersandera, atau bahkan gulung tikar. Untuk yang terakhir saya tidak yakin, tak pernah ada "bohir politik" benar2 gulung tikar di Indonesia. Tak ada, sebut satu saja!

Yang ada adalah anak wayang yang lenyap atau dilenyapkan. Dalang tetaplah ada, karena mereka tetap dibutuhkan sebagai "teman sepersalahan".  Ia akan punya peran baru dengan bohir baru. Itu strategi dahsyat, banjir bandang segara asat. Apakah itu benar PDI-P. Saya enggan menjawab...

Bagi saya cara memahami FPI dan HRS itu, dengan cara melihat foto di bawah ini. Glorifikasi mimpi mereka adalah punya pasukan gagah dengan pesawat tempur canggih. Sayangnya hanya terwujud dalam panggung karnaval. 

Begitu dirinya, begitu pula coro2nya. Selamanya alat, selamanya wayang!
.
.
Andi Setiyono Mangunprasojo

Sabtu, 12 Desember 2020

Jokowi Ajak Elon Musk Luncurkan Roket SpaceX di RI

 Elon Musk Akan Luncurkan Roket SpaceX di RI



CEO Tesla Elon Musk berbicara dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Didampingi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Jokowi ngobrol bareng Elon Musk lewat telepon.

Dalam keterangan Kemenkomarves, Jokowi dan Luhut melakukan pembicaraan melalui telepon bersama Elon Musk pada Jumat kemarin. Pembahasannya mengenai peluang investasi perusahaan mobil listrik Tesla.

"Pembicaraan ini membahas mengenai peluang investasi perusahaan mobil listrik Tesla di Indonesia," bunyi keterangan tersebut, dikutip Sabtu (12/12/2020).

Jokowi dan Elon Musk bertukar informasi mengenai industri mobil listrik dan komponen utama baterai listrik.

Selain itu, Jokowi juga mengajak Tesla untuk menjadikan Indonesia sebagai tempat landasan alias launching pad roket Space X.

"Presiden RI Joko Widodo juga mengajak Tesla untuk melihat Indonesia sebagai launching pad Space X," dikutip dari keterangan tertulis tersebut.

Elon Musk pun menanggapi undangan Jokowi itu, dia berencana mengirimkan timnya ke Indonesia pada bulan Januari 2021 untuk menjajaki semua peluang kerjasama tersebut.


SUMBER

Beda Pilihan Politik Pilkada, Rumah Warga di Manggarai Dibongkar

 Beda Pilihan Politik Pilkada, Rumah Warga di Manggarai Dibongkar

Keterangan foto: Rumah milik Albertus Poing, warga Desa Lante yang dibongkar karena beda pilihan politik Pilkada Manggarai, 9 Desember 2020. Foto: Engkos Pahing.
RUTENG - Dikarenakan berbeda pilihan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 di kabupaten Manggarai, Albertus Poing, warga Dusun Tanah Rata, Desa Lante, Kecamatan Reok Barat, terpaksa memindahkan rumahnya.

Pemilik lahan tidak senang Albertus Poing memilih calon lain. Penyebabnya, dia menempati tanah milik Yustinus Samar yang berbeda pilihan pada Pilkada di kabupaten itu.


Pembongkaran rumah tersebut terjadi pada, Jumat (11/12/2020) Siang, dua hari setelah pemilihan Bupati dan Wakil di Kabupaten itu.


Informasi yang dihimpun media ini, Albertus Poing, yang menumpang membangun rumah diatas tanah milik keluarganya di Dusun Tanah Rata, Desa Lante, kecamatan Reok Barat disuruh untuk membongkar rumahnya.


Kepada media ini, Egiyana Triastuti istri dari Albertus Poing menjelaskan pada tanggal 9 Desember 2020 tepatnya pada pukul 14.00 Wita, pemilik lahan menemui suaminya di rumah milik Dame Mbajang dan mendesak segera bongkar rumah.


“Saya bersama suami memang bagi suara untuk dukung dua kandidat, itu alasannya pemilik lahan usir kami,” jelas Egiyana Triastuti kepada media ini.


ADVERTISEMENT

Pembongkaran rumahnya tersebut, kata Egiyana, atas perintah pemilik lahan. Saat itu, ia diminta secepatnya pindah karena kesal tidak ikut mendukung calon dukungan pemilik lahan.


Menurut warga yang enggan dimediakan namanya mengatakan pemilik tanah menyuruh membongkar rumah Albertus Poing karena beda pilihan pada Pilkada kabupaten Manggarai.


”Poing terpaksa bongkar dan pindahkan rumah. Itu gara-gara beda pilihan dengan sang pemilik tanah,” Jelas warga desa Lante.


Saat ini rumah milik Albertus Poing yang selama ini ditempati di lokasi milik Yustinus Samar dipindahkan ke tanah milik warga Fransiskus Juang di Desa Lante.


Rumah semi permanen milik Albertus Poing tersebut dibongkar, dan dibantu beberapa warga sekitar untuk bisa diangkat ke lokasi yang baru berjarak kurang lebih 300 meter.

Ia beruntung masih ada warga yang mau meminjamkan tanahnya untuk ditempati sementara.

[url]https://kumparan.com/florespedia/beda-pilihan-politik-pilkada-rumah-warga-di-manggarai-dibongkar-1ul6F3RVJFK/full [/url]

Politik Dinasti atau bukan?


Jokowi itu bukan pelopor politik dinasti. Politik begitu sudah ada sebelumnya. Ia cuma meneruskannya. Ia jadi sorotan, karena tadinya dicitrakam berbeda. Ternyate, same aje.

-------
Politik Dinasti atau bukan?

"Jadi, kalau yang namanya dinasti politik di mana dinasti politiknya. Saya juga bingung kalau orang bertanya seperti itu. Ya saya kan ikut kontestasi, bisa memang bisa kalah, bisa dicoblos bisa tidak. Jadi, tidak ada kewajiban untuk mencoblos saya dan ini kan kontestasi bukan penunjukan."
Itu adalah ucapan Gibran Rakabuming Raka soal statusnya sebagai calon Wali Kota Solo. Ada yang beropini bahwa status itu membuat Presiden Joko Widodo menjalankan politik dinasti, dengan memasukkan anggota keluarganya ke kancah politik. Menurut Gibran, dengan alasan yang dia kemukakan tadi, ini bukan politik dinasti. Ini politik biasa saja.

Gibran memang bukan orang pertama yang jadi politikus dengan modal bapak atau kakek. Di Indonesia hal itu sudah lama ada. Presiden kelima RI Megawati adalah anak Presiden Soekarno. Lalu anak Megawati sekarang jadi Ketua DPR. Agus Harimurti Yudhoyono dicalonkan oleh partai bapaknya dalam Pilkada DKI pada 2017. Masih ada banyak lagi contoh lain. Kasus Gibran sama sekali tidak istimewa.

Yang membuat pencalonan Gibran ini istimewa adalah pernyataannya sendiri. Setahun yang lalu ia membuat pernyataan tentang politik dinasti itu. Waktu itu ia bicara soal kemungkinan dia terjun ke politik. Menurut dia, kalau itu terjadi, maka itu adalah politik dinasti. Tapi sekarang dia terjun ke politik, dan dia mengatakan bahwa ini bukan politik dinasti. Gibran sudah mengubah pendiriannya. Itu sebuah modal besar untuk jadi politikus. Politikus harus pandai mengubah-ubah pendirian.

Tapi benarkah terjunnya Gibran ke politik adalah praktik politik dinasti? Atau, benarkah kalau prosesnya adalah pemilihan maka itu bukan praktik politik dinasti seperti kata Gibran?

Dalam sistem politik kita sekarang tak mungkin seseorang jadi kepala daerah tanpa pemilihan. Kalau alasan yang disampaikan Gibran tadi dipakai, maka tak mungkin ada politik dinasti di negeri ini. Artinya, kalau ada orang-orang yang menduduki jabatan sekeluarga atau turun-temurun, maka itu pun tak boleh disebut politik dinasti.

Kalau sekadar berpegang pada formalitas, seandainya Gibran ditunjuk oleh bapaknya menjadi menteri pun sebenarnya tak salah. Menunjuk menteri adalah hak prerogatif presiden. Siapa pun yang ditunjuk presiden, bila sesuai dengan syarat-syarat formal, maka ia sah menjadi menteri. Tapi tentu masyarakat akan ada yang berpendapat bahwa itu adalah politik dinasti. Artinya, untuk menentukan ini politik dinasti atau bukan, pembahasan dalam tingkat formal saja tak cukup.

Lalu, apa parameter yang mau kita pakai untuk menilai? Ini tidak mudah. Dalam politik kita masih belum ada kejelasan soal jalur kaderisasi. Yang membuat seseorang terpilih jadi pengurus partai atau kandidat untuk posisi politik baik di legislatif atau eksekutif bukan hal-hal substansial seperti apa kontribusi dia untuk pembangunan masyarakat.

Bahkan partai politik sendiri juga tidak jelas dalam soal kontribusi itu. Partai politik kita sangat pragmatis. Yang dicalonkan adalah orang-orang yang berpotensi menang. Ketika partai berkoalisi dalam pilkada atau pilpres pun kriterianya sama. Tak ada pertimbangan ideologi.

Alasan inilah yang paling cocok untuk menggambarkan Gibran. Kalau dituding bahwa ia menggunakan kekuasaan bapaknya untuk memenangkan kontestasi awal, penilaiannya bisa iya, bisa tidak. Tapi soal kalau ia menggunakan popularitas bapaknya sebagai modal untuk meraih suara, sulit untuk membantahnya. Siapa Gibran kalau ia bukan anak presiden? Apa kontribusi sosial politik dia sebelum ini sehingga ia bisa dinilai layak menjadi Wali Kota Solo?

Tidak sulit untuk menduga bahwa PDIP menetapkan Gibran sebagai calon karena ia semacam kartu truf untuk memenangkan pemilihan Wali Kota Solo. Di hadapan pragmatisme politik seperti itu, segala macam dalil kaderisasi atau kontribusi sangat tidak penting.

Kita sudah melihat berbagai contoh kasus politik dinasti ini. Ada satu keluarga yang anak, istri, ipar, dan sebagainya menjadi pejabat negara. Semuanya, tentu saja, terpilih melalui proses formal yang sah. Parahnya, banyak dari praktik itu berawal dari politik korup, dan berkelanjutan karena terus memelihara praktik korup itu. Apa yang membuat mereka lestari? Pragmatisme tadi. Partai tidak peduli pada soal-soal substansial tadi. Yang penting partai bisa melanggengkan kekuasaan, dengan prinsip pragmatis tadi.

Perdebatan soal boleh-tidaknya kerabat pejabat negara menjadi politikus dan calon pejabat negara hanya akan menjadi debat kusir kalau hanya terpaku pada soal boleh dan tidak boleh saja. Faktanya, di berbagai negara praktik itu biasa terjadi. Itu salah satu dalil pembenar praktik itu.

Persoalan kita yang sebenarnya bukan soal anak siapa menjadi apa. Tapi soal bagaimana partai-partai politik bekerja melalui mekanisme yang lebih substansial. Bagian ini tidak sederhana. Substansi hanya bisa dicapai bila pemilih membuat pertimbangan berbasis pada hal-hal yang substansial. Kenyataannya tidak demikian. Pemilih masih memilih berdasarkan ikatan-ikatan primordial, persepsi yang dibangun atas rekayasa pencitraan, bahkan dengan politik uang.

Jadi, apa boleh buat, praktik politik seperti ini masih akan mendominasi politik kita 20-30 tahun lagi.Mendewasakan pemilih adalah agenda yang sangat penting untuk dilakukan oleh siapa saja yang peduli pada kemajuan Indonesia.

Jumat, 11 Desember 2020

Media Sosial dan Penggiringan Opini


Dulu waktu kuliah saya pernah ikut diskusi buku Noam Chomsky tentang bagaimana media menggiring opini publik. Intinya, media tidak hanya membentuk cara orang berpikir, tapi juga memilihkan apa yang kita pikirkan, dan apa yang tidak perlu kita pikirkan.

Sekarang zaman media sosial. Efek itu lebih dahsyat lagi. Persepsi orang bisa dengan mudah dibangun. Hoax bisa dianggap kebenaran. Kenapa bisa begitu? Itu biarlah orang komunikasi yang menjelaskannya. Saya hanya bisa menyumbangkan pemikiran soal bagaimana membentengi diri kita dari penggiringan.

Resepnya sederhana, tapi tidak mudah. Kuncinya, pilah dengan teliti mana fakta dan mana yang bukan. Contohnya begini. Alex berkata bahwa udara di Jakarta panas. Itu fakta atau bukan? Bukan. Itu persepsi. Panas, dingin, cantik, jelek, dan sebagainya itu adalah persepsi. Faktanya apa? Suhu di Jakarta 35 derajat. 

Fakta adalah sesuatu yang objektif dan terukur. Kita tidak bisa berbeda pendapat soal itu. Suhu udara di suatu titik di Jakarta 35 derajat celcius, siapa pun yang mengukurnya harus sama hasilnya. Kalau berbeda, berarti ada yang salah ukur. 

Kalau ada orang bicara soal sesuatu, segeralah memilahnya. Udara panas. Itu persepsi dia. Berikutnya, adakah dasarnya? Kalau suhu udara 39 derajat celcius, sudah jamak kalau kita katakan bahwa udara panas. Artinya persepsi itu punya dasar. Tapi kalau suhu udara 22 derajat dikatakan panas, kita bisa anggap itu informasi yang keliru.

Apakah semua data itu fakta? Hati-hati. Gambar video itu data. Kalau bukan hasil editan, itu adalah data yang sahih. Tapi ingat, pesan yang disampaikan dengan video tidak serta merta sesuai dengan isi video. Jadi jangan terkecoh. 

Pada waktu kerusuhan di Papua tempo hari beredar video berisi gambar polisi sedang digebuki. Tanpa narasi apa-apa, di tengah situasi rusuh, orang segera menghubungkannya dengan situasi saat itu. Kesimpulan: itu adalah situasi Papua saat itu. Padahal bukan. Itu video kerusuhan beberapa tahun sebelumnya.

Tadi saya lihat video orang-orang berseragam FPI sedang "digorok" dengan golok. Yang posting dan komentar menganggap FPI sedang berlatih menggorong orang. Anggapan itu sepertinya terkait dengan pidato RS tempo hari, soal memenggal kepala orang. Bagaimana saya melihatnya? Berbasis pengalaman saya, kesimpulan saya tentang video itu adalah, itu acara pamer ilmu kebal. Mungkin acara yang diselenggarakan oleh FPI, tapi itu bukan  latihan menggorok orang. Hal seperti itu biasa dilakukan di perguruan silat. Apakah itu ada kaitannya dengan pidato RS tadi? Kita tidak tahu. Kita tidak tahu kapan video itu diambil.

Nah, salah satu yang sering menyesatkan adalah ketidaktahuan kita soal detil situasi yang tergambar. Tapi otak kita segera mendahului membangun persepsi dan menyimpulkan. Itu bukan karena kita bodoh, tapi otak kita memang cenderung begitu. Karena itu sadari, dan kritiklah kesimpulan yang dibuat otak kita itu. Dalam hal ini sangat penting untuk memakai prinsip "Six Thinking Hat" yang diajarkan Edward de Bono. 

Jadi, kuncinya itu. Ketika kita membuat kesimpulan atas apa yang kita lihat di media sosial, uji kesimpulan itu. Tanya diri kita, apa iya? Apa betul? 

Berbasis pada cara berpikir itu kita bisa menilai banyak hal. Keterangan orang, siapa pun, jangan langsung dianggap fakta. Ada buktinya pun perlu kita kritisi. Bukti selalu disajikan bersama narasi. Jangan serta merta menerima narasi itu. Sangat sering bukti dan narasi tidak nyambung.