Rabu, 30 Agustus 2023

Setiap Titik adalah Titik Balik

 


Banyak orang hidup terperangkap pada garis kehidupan yang ia buat sendiri. Ia menjalani hidupnya kini sebagai konsekuensi dari apa yang terjadi pada hidupnya di masa lalu. Hidup dia di masa depan hanyalah lanjutan garis lurus yang dihasilkan oleh suatu kejadian di masa lalu. Ia tidak bisa keluar dari arah yang sudah ditentukan oleh garis itu.
Ada orang yang hidup sambil terus meratapi kejadian atau kemalangan yang ia alami di masa lalu, dan akibat buruknya masih belangsung hingga sekarang. Ada yang menyesali keputusan atau pilihan yang ia buat di masa lalu, yang akibatnya harus ia tanggung sampai sekarang. Ada pula orang yang menyesali sesuatu yang seharusnya ia lakukan di masa lalu, tapi ia tidak lakukan. Ketika ia sadar bahwa itu harus dia lakukan, sudah terlambat.
Orang-orang ini hidup dalam dunia "sandainya". Seandainya dulu tidak terjadi anu, tentu hidupku tidak begini. Seandainya aku pilih anu, tentu hidupku tidak semalang ini. Seandainya aku dulu memilih anu, tentu hidupku akan lebih baik.
Orang-orang ini percaya bahwa hidup ditentukan oleh momen-momen besar yang datang secara acak, dan momen-momen itu menentukan hidup seseorang. Mereka percaya bahwa hidup hanya terdiri dari beberapa titik balik. Kalau ia bertemu titik balik positif dalam garis hidupnya, ia akan mendapat hidup yang baik. Bila tidak, ia akan mendapat hidup yang buruk.
Hidup bukanlah garis-garis lurus yang panjang. Bukan seperti melpas anak panah dari busur, sekali lepas maka arahnya sudah ditentukan dan tidak dapat diubah lagi. Tidak. Hidup adalah kesempatan untuk membuat perubahan pada setiap detik yang kita lalui. Garis kehidupan kita gambar pada setiap detik itu. Kita menentukan hidup kita di masa depan dengan setiap tindakan yang kita ambil saat ini, bukan olh hanya satu momen di masa lalu.
Artinya apa yang akan terjadi di masa depan, kita atur sendiri. Apakah keputusan yang kita ambil, atau pilihan yang kita buat saat ini akan membuat hidup kita lbih baik atau lebih buruk, tidak hanya ditentukan pada saat ini saja, tapi pada setiap tindakan yang kita lakukan pada setiap detik di masa depan.
Contoh menariknya adalah seorang pembalap bernama M. Fadli, yang beberapa waktu lalu diwawancara dalam acara Kick Andy. Tadinya ia seorang pembalap sepeda motor. Kecelakaan membuat kakinya diamputasi. Garis hidupnya sebagai pembalap putus sampai di situ.
Kita sering menemukan orang yang mengalami kemalangan seperti Fadli itu, lalu berhenti dengan hidupnya. Tak ada lagi yang bisa dilakukan. Maka ia tak menjadi apa-apa setelah itu. Tapi tidak demikian halnya dengan Fadli. Ia memilih untuk menjalani hidup baru sebagai pembalap sepeda, dengan memakai kaki buatan.
Ada orang yang terhenti karirnya, karena disingkirkan oleh orang lain. Atau, karena kesalahan yang ia buat. Ada yang hidupnya berhenti di situ. Tapi ada pula yang menjadikannya titik balik untuk memulai hidup baru.
Ketika lulus kuliah tahun 1994 saya diterima bekerja di perusahaan minyak, dengan gaji cukup tinggi. Tapi karena tidak disiplin, saya mengalami kecelakaan. Saya kemudian dipecat. Beberapa bulan sejak itu saya menjadi seorang peratap. Seandainya saya lebih berdisiplin, tentu saya masih bekerja dengan gaji tinggi.
Bagusnya, itu hanya sebentar saja. Saya lalu besemangat menjalani karir baru saya sebagai dosen. Kemudian saya mendapat beasiswa untuk kuliah ke Jepang.
Mendengar kisah saya itu, ada orang berkomentar bahwa kecelakaan itu berkah. Kalau tidak mengalami kecelakaan, maka saya kini akan jadi engineer di perusahaan minyak, bukan doktor lulusan Jepang. Saya bilang, bukan begitu.
Kecelakaan adalah kecelakaan. Ia tak bisa menjadi berkah. Berkah atau tidak, ditentukan oleh sikap saya setelah kecelakaan itu. Kalau tidak kecelakaan, mungkin saya akan jadi engineer terus. Atau, bisa saja saya berhenti pada suatu saat, kemudian beralih menekuni sesuatu yang lain. Demikian pula, bisa juga saya menjadi orang yang frustrasi pasca kecelakaan, lalu tak menjadi apa-apa.
Berkah atau tidaknya suatu kejadian tidak ditentukan oleh kejadian itu, tapi ditentukan oleh bagaimana kita menyikapinya.

kang hasan idea


Selasa, 29 Agustus 2023

Kenapa Wajah Bulan Yang Menghadap Ke Bumi Selalu Terlihat Sama?

  Kenapa Wajah Bulan Yang Menghadap Ke Bumi Selalu Terlihat Sama?


Sebagai satelit alami bumi Bulan bergerak mengelilingi Bumi. Pergerakan itu dinamakan revolusi. Revolusi Bulan mengelilingi Bumi lamanya 27 hari. Lebih tepatnya 27,322 hari. Bulan juga bergerak berputar pada sumbunya. Gerakan ini disebut rotasi. Rotasi Bulan lamanya juga 27 hari. 

Hanya satu sisi Bulan yang menghadap ke Bumi dikarenakan Bulan berotasi dengan kecepatan yang sama dengan waktunya mengorbit mengitari Bumi. Keadaan ini disebut rotasi sinkron. 

Beberapa satelit di planet lain juga mengalami hal yang sama.

Sisi dekat Bulan merupakan bagian dari Bulan yang secara permanen menghadap ke Bumi. Dan bagian Bulan yang selalu membelakangi Bumi adalah sisi jauh bulan.

Dilansir dari Astronomy.com Pada tahun 1959, Luna 3 Soviet pertama kali memotret sisi jauh, dan pada 1968, saat Apollo 8 NASA mengorbit Bulan, mata manusia pertama kali melihat sisi jauh Bulan. Sejak saat itu banyak satelit yang mengirim kembali gambar dan data lain yang menunjukkan bahwa sisi jauh Bulan berbeda dari sisi dekat. 



Sisi Dekat Bulan Lebih Gelap

Sisi dekat lebih gelap daripada sisi jauh, namun julukan untuk sisi jauh adalah "sisi gelap bulan" meskipun itu sebenarnya adalah sisi terang dari bulan. 

Pada sisi dekat, terdapat wilayah gelap di permukaan bulan. Wilayah gelap tersebut adalah dataran rendah di bulan yang disebut Mare atau dalam bahasa latin artinya 'Laut'. Mare terbentuk dari basalt sisa - sisa banjir magma miliaran tahun lalu yang mendingin dan memadat.

Sedangkan dataran tinggi di sisi jauh terbuat dari mineral berwarna terang yang disebut feldspar. 

Kerak pada sisi dekat lebih tipis dan lebih tebal di sisi jauh, sehingga lebih sulit bagi magma untuk mencapai permukaan sisi jauh dan akhirnya hanya sedikit Mare yang terbentuk.

Tabrakan asterois lebih mudah mematahkan kerak pada sisi dekat, memungkinkan magma naik untuk mengisi cekungan hasil tabrakan tersebut dan membentuk endapan Mare.

Sampai saat ini permukaan sisi jauh Bulan hanya dapat diamati menggunakan wahana antariksa khusus. Cek juga tentang alasan kenapa luar angkasa itu kelihatan gelap.

Mengapa Harus Tujuh Hari Dalam Satu Minggu?

  Mengapa Harus Tujuh Hari Dalam Satu Minggu?


Ilustrasi. Sumber: Di sini



Sejak zaman dahulu kala, manusia telah membagi waktu menjadi periode yang lebih kecil seperti hari, minggu, dan bulan. Namun, pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa kita memiliki tujuh hari dalam seminggu?

Sejarah menunjukkan bahwa konsep tujuh hari dalam seminggu pertama kali muncul di wilayah Mesopotamia, sekitar 4.000 tahun yang lalu. Mesopotamia, yang sekarang merupakan wilayah Irak modern, adalah salah satu dari peradaban tertua di dunia.

Penduduk Mesopotamia mempercayai bahwa tujuh planet di tata surya mereka dipimpin oleh tujuh dewa. Mereka juga membagi waktu menjadi tujuh periode yang disebut "shabbatu" dalam bahasa Akkadia, bahasa resmi Mesopotamia kuno.

Shabbatu ini awalnya diadakan untuk memperingati fase bulan baru, yang terjadi sekitar tujuh kali dalam satu siklus bulan. Perayaan tersebut dianggap sebagai waktu yang suci dan dihormati oleh penduduk Mesopotamia.

Ketika Kekaisaran Babilonia muncul di Mesopotamia pada abad ke-18 SM, mereka mewarisi tradisi ini dan memperkenalkan konsep tujuh hari dalam seminggu kepada dunia. Mereka memanggil hari-hari tersebut dengan nama planet yang dipimpin oleh dewa mereka, yaitu Shapattu, Sin, Shamash, Ishtar, Nabu, Marduk, dan Nergal.

Konsep tujuh hari dalam seminggu kemudian menyebar ke seluruh dunia melalui penjajahan dan perdagangan antar bangsa. Sistem penanggalan Julian yang diperkenalkan oleh Julius Caesar pada tahun 45 SM juga membagi waktu menjadi tujuh hari dalam seminggu.

Selain itu, agama-agama besar seperti Islam, Kristen, dan Yahudi juga menggunakan konsep tujuh hari dalam seminggu dalam praktek-praktek mereka. Pada hari ketujuh, masing-masing agama memiliki tradisi dan ritual yang berbeda.

Dalam agama Kristen, hari Minggu dianggap sebagai hari suci dan disebut sebagai hari Sabat. Ini diadopsi dari agama Yahudi, di mana hari Sabat dianggap sebagai hari suci dan hari istirahat. Sementara itu, hari Jumat adalah hari suci bagi umat Islam dan diperingati sebagai hari berpuasa.

Meskipun alasan pasti mengapa tujuh hari dipilih sebagai jumlah hari dalam seminggu masih belum diketahui, namun teori populer menyatakan bahwa ini mungkin terkait dengan fase bulan baru dan waktu yang dianggap suci oleh penduduk Mesopotamia.

Dalam kesimpulannya, konsep tujuh hari dalam seminggu memiliki akar yang dalam dalam sejarah dan kebudayaan manusia. Meskipun asal usulnya masih diperdebatkan, namun tetap menjadi bagian penting dari cara kita mengorganisir waktu kita dan merayakan hari-hari yang suci.

Sejarah dan Ukuran Waktu Mengapa 24 Jam Sehari dan 60 Menit dalam Satu Jam

  Sejarah dan Ukuran Waktu Mengapa 24 Jam Sehari dan 60 Menit dalam Satu Jam


Ilustrasi. Sumber: Di sini



Waktu adalah salah satu konsep fundamental dalam kehidupan manusia. Dari waktu yang dihabiskan untuk tidur hingga waktu yang dihabiskan untuk bekerja, waktu memainkan peran penting dalam segala aspek kehidupan kita. Namun, pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa ada 24 jam dalam sehari dan 60 menit dalam satu jam? Jawabannya sebenarnya terletak pada sejarah dan perkembangan manusia dalam mengukur waktu.

Sejarah mencatat bahwa orang Mesir Kuno adalah orang pertama yang mengembangkan sistem penanggalan berdasarkan siklus matahari. Mereka membagi hari menjadi dua belas jam siang dan dua belas jam malam. Namun, jumlah jam dalam satu hari bervariasi sesuai dengan musim. Pada saat musim panas, jam matahari lebih panjang, sedangkan pada musim dingin, jam matahari lebih pendek.

Kemudian, pada abad ke-2 SM, orang Babilonia menciptakan sistem waktu yang lebih presisi berdasarkan gerakan bintang. Mereka membagi satu hari menjadi 24 jam, dengan setiap jam terdiri dari 60 menit. Penemuan ini diadopsi oleh orang Yunani kuno dan dianggap sebagai sistem waktu yang paling akurat pada saat itu.

Namun, mengapa 24 jam? Orang Babilonia membagi satu hari menjadi 24 jam karena mereka mengamati bahwa bintang-bintang tertentu muncul pada waktu yang sama setiap malam selama periode satu tahun. Setiap pergerakan bintang-bintang ini disebut decan, dan ada 12 decan dalam satu putaran penuh bintang. Oleh karena itu, setiap decan menandai interval waktu dua jam, sehingga jumlah total menjadi 24 jam.

Dalam sistem waktu ini, 60 menit per jam juga diadopsi dari Babilonia, dan dianggap sebagai pembagian waktu yang paling presisi pada saat itu. Namun, mengapa 60? Ini berkaitan dengan penggunaan sistem bilangan kuno di Babilonia. Mereka menggunakan bilangan 60 sebagai basis sistem bilangan mereka, karena bilangan ini dapat dibagi oleh banyak bilangan bulat, termasuk 2, 3, 4, 5, dan 6. Hal ini memudahkan penggunaan sistem bilangan dalam perhitungan waktu.

Penggunaan sistem bilangan 60 juga diterapkan pada detik. Satu menit terdiri dari 60 detik, yang dipengaruhi oleh penggunaan sistem bilangan desimal. Penggunaan desimal telah menjadi standar dalam sistem bilangan modern kita, tetapi penggunaan bilangan 60 masih diterapkan pada waktu.

Pada akhirnya, perkembangan sistem waktu yang kita gunakan hari ini telah banyak dipengaruhi oleh peradaban manusia. Meskipun teknologi dan ilmu pengetahuan telah berkembang pesat, dasar-dasar waktu masih berakar pada sejarah dan budaya manusia. Bagi kita semua, pemahaman tentang sejarah dan perkembangan waktu membantu kita lebih menghargai waktu yang kita miliki dan memanfaatkannya dengan bijak.


Senin, 28 Agustus 2023

Runtuhnya Kedigdayaan Militer Indonesia Tahun 1960 an

 


Pada awal 1960 an, militer Indonesia merupakan salah satu yang terkuat di Asia. Di era tersebut, Indonesia memiliki perlengkapan termaju yang umumnya hanya dapat dilihat pada Parade Hari Kemenangan di Moskow atau satuan tempur di dekat perbatasan kedua Blok di Eropa. Memiliki alutsista selengkap itu jelas merupakan suatu kemewahan, terlebih lagi bagi sebuah negara nonblok yang baru merdeka dua dekade sebelumnya. Indonesia juga merupakan satu dari lima negara yang memiliki pengebom strategis pada era itu dan satu dari delapan negara di dunia yang pernah mengoperasikannya.
Menggunakan kekuatan militernya secara langsung dan sebagai penguat daya tawar, Indonesia berhasil merebut Papua Barat dari tangan Belanda dan bahkan menekan India dalam Perang Indo-Pakistan 1965. Indonesia juga menantang Australia dengan infiltrasi jet pengebomnya serta memaksa Inggris menyimpan bom nuklir di kawasan Asia Tenggara untuk memastikan keunggulan mereka dari Indonesia selama Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Banyak alutsista atau persenjataan yang didatangkan dari Soviet, tetapi beberapa yang tercanggih di antaranya ada pada lampiran gambar [angkanya bervariasi dari sumber ke sumber].
Di darat, Angkatan Darat dan Korps Marinir memiliki 175+ tank amfibi PT-76B, 275 tank ringan AMX-13 serta 66 kendaraan angkut personel BTR-50P/PU, dan 200 AMX-13VCI/PDP. Sementara itu, Angkatan Udara dan Angkatan Laut menikmati penguatan dan konsolidasi alutsista yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Keduanya menerima perlengkapan dari Soviet dalam jumlah besar dan dengan tingkat teknologi yang tergolong tinggi pada masanya. Tak hanya itu, sejumlah perlengkapan dari era sebelumnya yang masih terawat juga turut memperkuat TNI, seperti North American P-51D Mustang, B-25J Mitchell, A-26B Invader, Alvis Saracen, Alvis Saladin, dll.
Sayangnya, hampir seluruh kekuatan militer itu hilang hanya dalam waktu satu dekade. Mayoritas dari alutsista yang disebutkan di atas, terutama pesawat, terpaksa di grounded dan dipensiunkan pada tahun 1970an. Lalu bagaimana bisa negara dengan kekuatan seperti ini kehilangan kedigdayaannya hanya dalam beberapa tahun?
Latar Belakang
Zaman keemasan militer Indonesia pada akhir 1950 an dan awal 1960 an berawal dari kondisi TNI di tahun-tahun sebelumnya yang sedang dalam kondisi kurang baik. Sementara pertempuran melawan pemberontakan yang terus berkobar memberikan pengalaman kontra gerilya yang tidak ada bandingannya, TNI sangat kekurangan persenjataan dan tidak mampu menghadapi musuh dengan kekuatan setara, apalagi yang lebih kuat seperti Belanda. Sukarno tidak senang akan hal ini, terlebih hubungan Indonesia-Belanda semakin memburuk akibat permasalahan di Papua Barat yang tak kunjung mencapai titik terang.
Disimpulkan bahwa cepat atau lambat, Indonesia akan mengalami konflik kepentingan dengan negara lain di kawasan. Menjadi jelas bahwa TNI harus diperkuat sebisa mungkin jika Sukarno benar-benar ingin “bermain” dengan “Politik Bebas Aktif”-nya. Sebenarnya, Uni Soviet bukanlah satu-satunya negara besar yang didekati oleh Indonesia pada zaman itu. Pemerintah Indonesia juga berupaya mendekati Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis demi mendapatkan kekuatan militer yang didambakan. Pada tahun 1959 misalnya, Mayor (AU) Ir. Kusudiarso Hadinoto diutus oleh Sukarno untuk mengakuisisi rudal hanud MIM-3 Nike Ajax dari Amerika Serikat. Sayangnya, misi ke Washington itu tidak membuahkan hasil. Lain halnya dengan lawatan ke Inggris yang menghasilkan kontrak pembelian 18 unit Fairey Gannet pada tahun yang sama dan mulai datang ke Indonesia pada tahun berikutnya.
Meski demikian, ini bukan berarti AS sama sekali tidak memberikan bantuan kepada Indonesia. Menurut National Security Council Report of the U.S. Policy on Indonesia 1960, berdasarkan Mutual Security Act 1954 dinyatakan bahwa bantuan militer untuk Indonesia tidak akan melebihi $22 juta pada tahun 1959, $20 juta pada tahun 1960, dan $20 juta pada tahun 1961. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa mayoritas bantuan tersebut diberikan kepada Angkatan Darat untuk dibelikan senjata ringan dengan pertimbangan bahwa itu adalah angkatan tempur yang terbaik dalam menjaga stabilitas dan kewaspadaan anti komunis di Indonesia. Jumlah dan cakupan bantuan militer ini sangat dibatasi karena politik dalam negeri Indonesia dianggap kurang stabil dan AS tidak ingin bantuan tersebut disalahgunakan untuk melawan Belanda.
Indonesia baru mampu memboyong alutsista dalam jumlah besar dari AS setelah Allen Pope, pilot black-ops CIA, tertangkap setelah pesawat B-26 yang dikendalikannya ditembak jatuh oleh P-51 TNI AU. Untuk membebaskan Allen Pope dan sekaligus memperbaiki hubungan dengan Indonesia, AS bersedia mengirimkan sejumlah pesawat seperti C-130B Hercules, B-25J Mitchell, A-26B Invader, dll dengan perjanjian tertulis bahwa semua senjata bantuan dari AS tidak akan digunakan untuk melawan Belanda dalam konflik Papua Barat. Para pejabat Indonesia merasa tidak puas akan hal ini (terutama Sukarno) dan akhirnya memutuskan untuk lebih mendalami hubungan diplomatik dan bantuan militer dengan Uni Soviet dan bloknya.
Kontrak alutsista dengan Blok Soviet dimulai pada tahun 1957, tetapi kontrak yang besar baru dilakukan pada tahun selanjutnya. Pada tahun 1958 saja, Indonesia menyepakati kontrak senilai lebih dari $170 juta yang termasuk pengadaan jet tempur terbaru dari Cekoslovakia dan Polandia. Kontrak dengan negara satelit Pakta Warsawa ini menunjukkan posisi mereka sebagai perantara sebelum Soviet melakukan kontrak dengan Indonesia secara langsung. Ini dilakukan untuk menghindari kecaman dan penolakan dari negara-negara Barat kepada negara yang membeli senjata dari Soviet. Proses pengirimannya berlangsung dengan cepat, pesawat latih jet MiG-15UTI datang pada bulan Agustus 1958, diikuti oleh pengebom Il-28 Beagle pada bulan Oktober. Pada bulan yang sama, empat unit kapal pemburu kapal selam Project 122bis atau kelas Khronshtadt juga tiba di Indonesia. Di samping itu, melalui Perdana Menteri Zhou Enlai, China menawarkan produksi lisensi pesawat Shenyang J-5 (versi China dari MiG-17 Fresco buatan Soviet) di Bandung. Tawaran tersebut ditolak oleh kepala LAPIP pada kala itu, Nurtanio Pringgoadisuryo, karena masalah ekonomi yang begitu pelik hingga pada saat adanya kunjungan teknisi dari Polandia, semua karyawannya berhenti bekerja untuk mengantri untuk minyak tanah dan membuat para tamu teheran-heran.
Tibalah Fresco pertama dari Polandia (sebagai Lim-5P) pada Februari 1959. Pada bulan September, dua kapal pertama dari kapal selam kelas Whiskey, yaitu KRI Tjakra (401) dan KRI Nanggala (402) diresmikan oleh TNI AL. Pada bulan berikutnya, sekitar 8 buah pesawat latih Il-10 Beast dan pengebom ringan Tu-2 Bat datang dari China. Ini adalah hasil dari kontrak kredit sebesar $21 juta dengan China pada tahun 1958, yang terbesar setelah kontrak dengan Cekoslovakia dan Polandia.
Tahun 1960 adalah tahun yang signifikan bagi perkembangan hubungan Indonesia dan Soviet, di mana Nikita Khrushchev selaku pemimpin Uni Soviet mengunjungi Indonesia dengan berbagai tujuan. Meski begitu, kontrak persenjataan tak mungkin luput dari bahasan dalam kunjungan tersebut. Kunjungan ini memastikan pembangunan kekuatan militer Indonesia akan berlanjut hingga tahun-tahun berikutnya. Menurut informasi yang dihimpun atase militer AS di Indonesia pada bulan Maret, sebuah kapal penjelajah, sebuah kapal penyelamat kapal selam, sebuah pangkalan kapal selam, dan berbagai kapal lainnya akan disiapkan untuk tahun selanjutnya. Kontrak untuk TNI AL ini diperkirakan senilai $277 juta.
Kontrak selanjutnya disepakati pada bulan Januari 1961, senilai $244 juta, sementara satu kontrak lainnya pada bulan Juni. Kontrak ini sangatlah signifikan karena pengebom strategis Tu-16 Badger, pesawat tempur MiG-21 Fishbed, dan rudal SA-2 Guideline termasuk di dalamnya. Berkat kontrak inilah Indonesia menjadi satu dari delapan negara di dunia yang pernah memiliki pengebom strategis. Kedua kontrak ini difasilitasi oleh skema kredit dengan nilai lebih dari $400 juta. Pada bulan Juli, dua buah Tu-16KS Badger-B dari total empat belas unit mendarat di Bandara Kemayoran. Pesawat ini dilengkapi dengan rudal anti kapal Raduga KS-1 Komet yang dapat mengenai musuh dari jarak 90-100 km. Hingga bulan Desember, empat kapal selam kelas Whiskey bergabung dengan TNI AL setelah berangkat dari pangkalan Soviet di Vladivostok.
Pembangunan kekuatan TNI tidak berhenti pada tahun 1962, karena alutsista yang dipesan pada tahun-tahun sebelumnya baru datang di tahun tersebut. Rudal hanud SA-2 sudah mencapai kesiapan pada akhir tahun dan dibagi menjadi tiga baterai yang melindungi Kota Jakarta. KRI Irian (201), sebuah kapal penjelajah kelas Sverdlov, bersama dengan dua kapal perusak kelas Skoryy tiba di Surabaya pada bulan Oktober tahun itu, tepat setelah usainya Operasi Trikora. Pada bulan Desember, enam kapal selam kelas Whiskey terakhir akhirnya tiba dan diresmikan, diakuisisi melalui kontrak cepat beberapa bulan sebelumnya. Kapal-kapal selam itu diiringi oleh kapal perawat kapal selam Project 233 atau kelas Atrek.
Pada tahun 1962, MiG-21F-13 Fishbed dan MiG-19 Farmer yang termasyhur dikirim oleh Soviet, walaupun tanggal pastinya tidak diumumkan. Militer Indonesia sendiri sebenarnya tidak merasa harus membeli MiG-19, tetapi Soviet menekankan bahwa jika Indonesia ingin membeli MiG-21, mereka juga harus membeli MiG-19 terlebih dahulu atau secara bersamaan. Pada bulan November 1963, kontrak tambahan senilai $52 juta disetujui oleh Soviet, dengan TNI AL sebagai angkatan dengan porsi anggaran terbesar, diikuti oleh TNI AU dan TNI AD secara berurutan. TNI AU mendapatkan tambahan enam An-12 Cub, bersama dengan sejumlah Mi-6 dan Il-28.
Tahun 1964 adalah tahun terakhir di mana Indonesia melakukan kontrak persenjataan dengan Blok Soviet. Dari beberapa negosiasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, sekitar $200 juta berhasil direalisasikan meski harus menawar setengah mati dan tidak diberikan tambahan kredit lagi, akibat kegagalan pembayaran kredit sebelumnya. Menariknya, Indonesia sekali lagi mencoba mendekati negara satelit Soviet, khususnya Cekoslovakia yang sebelumnya telah “dipinggirkan”. Pesawat latih standar Pakta Warsawa, L-29 Delfin buatan Ceko, memenangkan kontrak akuisisi dengan jumlah 18 unit pada bulan Juni. Hingga pertengahan 1965, semua pesawat L-29 sudah berada di Indonesia, hanya beberapa bulan sebelum tragedi G30S. Alutsista lain yang layak disebut adalah radar peringatan dini 2D E/F-band P-30 Khrustal yang juga tiba pada tahun 1964. Radar peringatan dini sekaligus GCI dengan daya yang kuat ini melengkapi radar Nysa dan Decca yang sudah beroperasi beberapa tahun sebelumnya.
Komplikasi dan Masalah
Sementara kekacauan politik internal dan eksternal merupakan kontributor utama dari kemunduran Angkatan Bersenjata Indonesia era ini, faktor ekonomi dan teknis juga tidak dapat diabaikan. Indonesia berkali-kali mengalami kegagalan pembayaran kredit alutsistanya yang telah jatuh tempo, membuat Soviet kesal dan mempertimbangkan kembali kelanjutan pemberian kredit bantuan.
Karena sejumlah konflik perbatasan dan perbedaan ideologi yang tidak dapat ditoleransi lagi, pada tahun 1961 Republik Rakyat China secara resmi menyatakan bahwa komunisme Uni Soviet adalah sebuah hasil dari “pengkhianat revisionis”. China menyatakan bahwa mereka adalah pemimpin sebenarnya dari kubu komunis, yang masih “murni”. Pernyataan ini menyebabkan perpecahan Sino-Soviet dan turut memecah Blok Komunis menjadi dua. Setelah perpecahan keduanya, pada tahun 1964, Sukarno dengan dukungan dan persetujuan PKI secara lantang menyatakan bahwa Indonesia akan memihak China melalui Poros Jakarta-Peking-Pyongyang. Langkah tersebut semakin menjauhkan Indonesia dari Uni Soviet dan membuat kontrak alutsista serta suku cadang yang berikutnya menjadi lebih sulit lagi.
Indonesia mengubah fokus militernya pada tahun 1963 dari Papua Barat menuju Semenanjung Malaya dan Kalimantan Utara. Operasi Dwikora dicanangkan dengan tujuan “membebaskan” rakyat Malaya, Singapura, Sabah, dan Sarawak dari pembentukan Federasi Malaysia. Inggris beserta persemakmurannya menentang keras langkah ini, dan dengan cepat memobilisasi militernya sebagai persiapan jika konflik benar-benar pecah juga sebagai penggentar supaya Indonesia tidak menyerang wilayah protektoratnya dengan semena-mena. Untuk mengimbangi kekuatan Indonesia yang mengkhawatirkan, Inggris mengerahkan pengebom strategis Avro Vulcan dan Handley Page Victor beserta bom nuklir Red Beard dengan daya ledak 15-25 kiloton, setara dengan bom Little Boy dan Fat Man era Perang Dunia II. Untuk mencegat potensi serangan udara TNI AU, Inggris menyiapkan ratusan pesawat tempur jet Gloster Javelin, Hawker Hunter, dan English Electric Lightning di Singapura dan Malaysia. Ini belum ditambah juga dengan puluhan jet CAC Sabre milik Australia yang juga dikerahkan. Untuk matra laut, Inggris mengandalkan lima buah kapal induk kelas Centaur, Illustrious, dan Audacious beserta dua perusak kelas County yang dilengkapi dengan rudal hanud dan beberapa kapal perang lainnya.
Secara mengejutkan, Operasi Dwikora justru kurang disukai dan cukup ditentang oleh Uni Soviet. Soviet sudah cukup kewalahan mensponsori Vietnam dalam melawan Amerika Serikat, mereka tidak dapat mendanai dan mendukung “Vietnam” lainnya. Tentu saja, Soviet mempertimbangkan jalur logistik Soviet-Indonesia yang jaraknya lebih jauh dan lebih mudah diputus oleh Inggris dan persemakmurannya daripada jalur logistik Soviet-Vietnam yang cukup terbantu oleh efek daya gentar dari China. Faktanya, pasukan Amerika Serikat secara keras dilarang menyerang daerah Vietnam Utara yang berbatasan dengan China untuk mencegah kejadian di Perang Korea terulang kembali. Hal ini dimanfaatkan oleh pejuang Vietnam Utara untuk mengobati pasukannya yang terluka dan menyimpan sebagian persenjataannya di dekat perbatasan karena akan aman dari serangan udara Amerika. Indonesia sama sekali tidak memiliki kemewahan ini dan akan mengalami kesulitan ketika mengisi ulang amunisi, mendapatkan suku cadang, serta mengganti alutsistanya yang hancur dalam konflik. Terlebih lagi, Uni Soviet tidak ingin terlibat konflik langsung dengan negara NATO, dalam hal ini Inggris dan persemakmurannya. Khrushchev sendiri di kemudian hari dalam memoarnya menyatakan, “Kami mendukung Sukarno dalam media massa, tetapi tidak lebih dari itu.”
Indonesia mulai mengalami kesulitan pembayaran kredit sejak tahun 1963, di mana seharusnya pada tahun tersebut menjadi waktu jatuh tempo dari kontrak di tahun-tahun sebelumnya. Soviet berusaha mengurangi beban kredit ini dengan melakukan pengaturan pembayaran berupa perpanjangan jangka pembayaran hingga tahun 1969 dan memberikan diskon untuk kontrak yang telah disepakati. Sayangnya, ini masih terlalu berat bagi Indonesia. Per tahun 1965, Indonesia baru membayar sekitar $60 juta dan menyisakan hutang kredit sebesar $800 juta. Situasi dengan Cekoslovakia dan Polandia tidak lebih baik, dimana Cekoslovakia terpaksa menunda proyek bantuan ekonomi karena Indonesia gagal memberikan DP dan pembayaran kredit dari kontrak pengadaan alutsista tahun 1958. Cekoslovakia dan Polandia tidak se-”murah hati” Soviet yang memberikan keringanan berupa diskon karena ekonomi mereka tidak sekuat Soviet, tetapi periode pembayaran berhasil diperpanjang hingga tahun 1970 untuk meringankan beban ekonomi Indonesia.
Pada tahun 1964, Pemimpin Uni Soviet Nikita Khrushchev menolak permintaan Indonesia untuk memberikan perlengkapan yang diperlukan untuk Operasi Dwikora. Khrushchev kemudian menginformasikan kepada Jenderal A.H. Nasution bahwa Soviet tidak akan menyetujui kontrak alutsista lebih lanjut karena ketidakjelasan mengenai tunggakan pembayaran kredit dari kontrak-kontrak sebelumnya. Soviet juga menolak permintaan untuk membangun pabrik perakitan senjata dan amunisi di Indonesia karena alasan yang sama. Memang, sejak tahun 1964 pula suplai suku cadang dari Soviet mulai berkurang. Semua masalah ini berujung pada kesiapan Angkatan Bersenjata Indonesia yang secara umum berkurang.
Sebagai contohnya, tidak lebih dari 20% dari keseluruhan MiG-17 yang dapat dipakai, 50% untuk MiG-15UTI, dan 40% untuk Il-28, menurut intel dari CIA. Ini sesuai dengan pernyataan Menpangau Omar Dhani, yang berkata bahwa dirinya diperintahkan pergi ke China untuk mengamankan pengganti potensial dari pesawat Soviet yang mulai tidak terawat pada pertengahan 1965. Ini tidak mengejutkan, sebab Indonesia mulai mendekati poros China sejak tahun 1963 dan menunjukkan secara gamblang keberpihakannya pada tahun 1964. China bersedia untuk mengirimkan sejumlah perlengkapan militer hingga membuat Sukarno merasa yakin bahwa China akan mengirimkan bom nuklir ke Indonesia pada akhir 1965, yang mana tidak terjadi [dan tidak akan terjadi, akan dibahas secara mendetail di artikel lainnya].
Situasi semakin memburuk dengan terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965 PKI. Gerakan PKI ini melakukan pemberontakan bersenjata dan mengeksekusi enam perwira tinggi TNI AD. Upaya pemberontakan dan kudeta ini mendapatkan perlawanan yang sengit dari semua kalangan, hingga ketika upaya tersebut berhasil dipadamkan, terjadi pertumpahan darah besar-besaran dalam pembersihan negara dari segala unsur PKI, termasuk anggota dan simpatisannya. Bahkan, Menpangau Omar Dhani tidak aman dari sentimen ini dan ditahan setelah salah memahami gerakan tersebut dan mengeluarkan pernyataan yang keliru. Dengan pembersihan kubu komunis di Indonesia, secara praktis mengakibatkan pemutusan hubungan diplomatik—dan karenanya, bantuan teknis—dengan Uni Soviet dan China.
Pada tahun 1967, Suharto menggantikan Sukarno sebagai presiden. Suharto, seorang jenderal AD dan tokoh anti komunis, membuat normalisasi hubungan dengan Soviet sebagai hal yang sangat sulit dilakukan. Pemutusan suplai suku cadang dan bantuan teknis dari Soviet mengakibatkan pemensiunan dan pembesituaan sebagian besar alutsista TNI. Akan tetapi, pada tahun yang sama sempat dilaksanakan dialog darurat bersama Soviet untuk memperpanjang umur alutsista TNI, sayangnya hasilnya tidaklah bagus. Soviet setuju untuk menyediakan suku cadang senilai $10 juta, tetapi harus dibayar tunai tanpa adanya skema kredit. Indonesia hanya membayar $5 juta dan tidak melakukan pengadaan apapun lagi sejak saat itu. Meski begitu, Soviet memenuhi permintaan keringanan pembayaran kredit menjadi pembayaran dengan jangka 30 tahun sejak 1970, tentunya dengan penyesuaian suku bunga. Keseluruhan hutang yang sangat masif ini baru dapat dilunasi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dari sisi teknis, masalah keandalan juga sangat terkait dengan filosofi desain dari pesawat Soviet dan standar manufaktur Soviet itu sendiri. Berbeda dari pesawat buatan barat yang perawatannya dilakukan oleh tenaga terlatih dan khusus, pesawat Soviet dirancang untuk dapat dirawat oleh tenaga wajib militer dengan pelatihan minim. Pemikiran ini juga didasari oleh kemampuan Soviet dalam membangun dan memindahkan depo perawatan besar di garis depan yang terbatas. Karena itulah, kesederhanaan rancangan dan kekokohan manufaktur menjadi salah satu unsur yang diminta oleh petinggi Soviet dalam desain-desain pesawat mereka.
Semua perawatan kecil akan dilakukan di garis depan dan ketika situasinya mengharuskan suatu perawatan besar atau pesawatnya memasuki “umur efektif minimum”, pesawat tersebut harus ditarik ke garis belakang untuk dibongkar di pabriknya. Sebagai contoh, sebuah pesawat Soviet memiliki umur terbang 2.000 jam. Kemudian, umur efektif minimum pesawat dinyatakan dalam jam dan ditentukan sebesar 1.000 jam. Setelah terbang selama 1.000 jam, pesawat tadi akan dikirim ke garis belakang dan digantikan sementara oleh pesawat yang masih benar-benar baru. Pengganti ini juga akan dikirim ke garis belakang ketika sudah mencapai batas tersebut, begitupun seterusnya. Dengan demikian, pesawat tempur di garis depan akan selalu berada dalam kesiapan yang tinggi, tetapi dengan dua syarat.
Untuk mengimplementasikan doktrin Soviet ini, suatu angkatan udara harus mengakomodasi sejumlah besar suku cadang dan pesawat cadangan untuk mempertahankan angka kesiapan. Atau dengan kata lain, memiliki jaringan logistik yang kuat dan terorganisir. Inilah masalah yang dihadapi oleh TNI AU karena perubahan doktrin jelas membutuhkan waktu yang lama. Ketidakefisienan dalam birokrasi militer sudah dapat ditebak, lalu prosedur yang panjang dan rumit juga menyulitkan teknisi dalam meminta suku cadang yang memadai untuk dikirim ke garis depan. Tumpukan suku cadang tercecer di berbagai penjuru negeri, semakin memberatkan masalah yang dihadapi. Kalau itu masih belum cukup, suku cadang buatan Soviet juga dikenal memiliki reputasi yang buruk di kalangan teknisi TNI AU akibat kendali mutu yang buruk dalam manufaktur. Terkadang, mereka bahkan harus mengamplas atau memanipulasi suku cadangnya secara manual supaya dapat dipasang pada pesawat.
Sebagai perbandingan, pesawat buatan barat—khususnya Amerika Serikat—tidak harus mengalami prosedur seperti pesawat Soviet karena AS memiliki kemampuan angkut udara/laut yang memadai untuk membawa peralatan untuk perawatan besar dan banyak teknisi terlatih. Katakan, sebuah pesawat buatan AS memiliki umur terbang 2.000 jam. Ketika pesawatnya hampir mencapai angka tersebut, akan dilakukan perawatan besar untuk memperpanjang umur pesawat [misal, menjadi 4.000 jam], biasanya disebut dengan SLEP (Service Life Extension Program). Seperti yang dikatakan sebelumnya, model perawatan ini membutuhkan tenaga terlatih dan kemampuan angkut udara/laut yang signifikan untuk memboyong peralatan perawatan dan suku cadang ke garis depan dan memindahkannya secara cepat dalam garis depan yang terus berubah-ubah. Bukan hal yang aneh jika kontraktor sipil juga dipekerjakan untuk membantu upaya perawatan pesawat.
Masalah teknis seperti ini juga dialami oleh TNI AL. Bagi kapal laut, ada faktor tambahan yang menyulitkan perawatan dan menjaga kesiapan armada, yaitu perbedaan iklim laut tropis dari iklim laut subarktik di Soviet. Dalam kasus KRI Irian misalnya, modifikasi untuk iklim tropis yang seharusnya dilakukan oleh TsKB-17 di Leningrad ditolak oleh Indonesia karena kekurangan biaya dan dikejar oleh waktu. Akibatnya, kapal besar itu menjadi lebih cepat rusak. Pada bulan November 1962 saja, tercatat bahwa tiga dari enam boiler KRI Irian mengalami kerusakan akibat suhu yang panas dan kelembaban yang tinggi. Kerusakan terus terjadi hingga Irian secara praktis tidak dapat melakukan tugasnya dan harus dikirim ke galangan kapal Dalzavod di Vladivostok untuk diperbaiki pada Maret 1964.
Para teknisi kapal Soviet terkejut saat melihat kondisi kapal yang begitu parahnya. Banyak perawatan kecil yang seharusnya dilakukan oleh awak kapal justru tidak dilakukan. Penyebabnya, Indonesia kekurangan teknisi yang terampil dan suku cadang yang memadai untuk perawatan kapal. Pada bulan Agustus, Irian kembali ke Indonesia bersama dengan kapal perusak KRI Sisingamangaraja. Benar, tak hanya Irian saja yang mengalami masalah. Satu kapal selam dikabarkan mengalami kerusakan mesin saat naik ke permukaan dan sebuah kapal perusak mengalami kerusakan parah pada bagian buritannya. Ini bukan satu-satunya kejadian, sebab KRI Sawunggaling juga dikirim ke Vladivostok untuk diperbaiki dan kembali ke Indonesia pada Januari 1965.
Akhir Kisah
Hingga awal 1970 an, sebagian besar pesawat TNI AU telah di grounded dan kapal TNI AL sudah tidak layak berlayar lagi. Tanpa adanya pilihan lain, pemerintah Indonesia memutuskan untuk memperbaiki hubungan dengan Amerika Serikat dan sekutunya demi kestabilan negara dan perbaikan ekonomi negara yang kacau. Sejumlah 13 unit MiG-21F-13 Fishbed dikirim ke Amerika Serikat dengan penukaran 12 unit pesawat latih Lockheed T-33 T-Bird, 12 unit helikopter Sikorsky S-58T, dan selanjutnya 16 unit pesawat tempur F-5E/F Tiger II dan 16 unit OV-10F Bronco. Perbaikan hubungan dengan Amerika Serikat ini juga menjadi awal mula kebangkitan TNI AU di tahun 1980 an dengan perbelanjaan alutsista fantastis yang tak kalah nilainya dari kontrak-kontrak alutsista Soviet era Sukarno.
MiG-MiG yang dikirim ke Amerika Serikat kemudian dimasukkan Skuadron Pengujian dan Evaluasi ke-4477 “Red Eagles”, sebuah skuadron agresor di Lapangan Uji Tonopah. Sisa-sisa MiG lainnya, baik MiG-15UTI, MiG-17, MiG-19, maupun MiG-21 dipajang di berbagai museum, sebagai penjaga gerbang, atau dipamerkan sebagai monumen di seluruh penjuru Indonesia. Setelah kehilangan alutsista Soviet, TNI AU dan AL sempat mendapatkan alutsista ala Amerika Serikat berupa 18 unit pesawat tempur CAC Sabre (lisensi Australia untuk F-86F Sabre) dari Royal Australian Air Force (RAAF) dan 4 unit kapal fregat kelas Claud Jones. Angkatan Udara Pakistan yang mahir dalam menggunakan F-86 mendapat tanggung jawab untuk melatih pilot Indonesia dalam mengendalikannya dan membantu beberapa aspek logistik dari pesawat tersebut dengan penukaran berupa pengiriman 5-6 unit pesawat MiG-19S Farmer-C untuk membantu Pakistan dalam Perang Indo-Pakistan 1965. Sementara untuk hanud SA-2, terdapat cerita yang cukup menarik. Setelah dialog yang panjang dengan CIA, Indonesia setuju untuk mengirimkan radar SNR-75 Fan Song beserta dokumen teknisnya ke Amerika Serikat pada tahun 1969-70. Tentara-tentara terkait juga diwawancara secara intensif untuk mendapatkan intel yang sangat berharga mengenai sistem hanud yang dihadapi oleh Amerika Serikat di Vietnam.
Nasib kapal terbesar TNI AL tidak lebih baik dari pesawat tempur atau rudal hanud. KRI Irian akhirnya dibesituakan di Kaohsiung, Taiwan pada tahun 1972 setelah kondisinya rusak parah dan kebanjiran akibat minimnya perawatan. Hal lainnya yang patut dicatat adalah ketika CIA mengambil beberapa rudal anti kapal P-15 Styx pada kapal kelas Komar bersamaan dengan SA-2. Secara tak terduga, Indonesia ternyata juga setuju untuk melakukan uji penembakan rudal P-15 aktif terhadap sebuah kapal perusak kelas Skoryy dengan pengawasan AS dari jarak jauh. Data telemetri rudal tersebut diawasi dari sebuah pesawat ELINT milik AS yang tidak terbang di atas wilayah Indonesia atau mendarat di Indonesia dengan alasan kerahasiaan misi. Kapal-kapal yang lebih kecil seperti kelas Komar atau Bolshevik tak luput dari masalah perawatan dan harus dipensiunkan juga pada medio 1970 an hingga awal 1980 an bersama kapal-kapal buatan Soviet lainnya. Dari 104 unit kapal yang dibeli dari Soviet, sekitar setengahnya sudah tidak aktif lagi per tahun 1976.
Kesimpulan
Indonesia memiliki militer yang diperhitungkan di Asia pada awal 1960 an, walaupun pada dekade sebelumnya sempat mengalami banyak kekurangan. Dengan tujuan utama untuk menyingkirkan Belanda dari Papua Barat, Indonesia dengan segera membangun persenjataannya untuk menutupi kekurangan yang ada.
Sayangnya, Indonesia kehilangan mayoritas dari alutsista canggihnya pada akhir 1960 an dan dekade berikutnya. Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan hal ini. Dilanda krisis ekonomi dan politik, diperparah dengan pengadaan alutsista yang terburu-buru, Indonesia mengalami kesulitan dalam melakukan perawatan perlengkapan militer yang aktif dalam tugas. Penguatan TNI yang dilakukan secara cepat memang dapat membantu Indonesia mencapai tujuan internasionalnya, tetapi hal itu pula yang menjadi awal mula keruntuhannya. Indonesia tidak memiliki infrastruktur perawatan dan pemeliharaan yang ekstensif dan kekurangan personil yang terlatih untuk melakukan perawatan pesawat yang berat seperti dalam doktrin Soviet. Begitupun dengan kapal laut, semua pemeliharaan berat untuk kapal-kapal utama masih harus dilakukan di Vladivostok. Dengan kata lain, hidup-mati TNI sangat bergantung pada bantuan dan dukungan dari Soviet.
Jika saja pembangunan militer yang masif ini dilakukan dalam kondisi ekonomi dan politik dalam negeri yang stabil, hasilnya mungkin akan lebih baik atau bahkan mungkin Indonesia akan sukses bertransformasi menjadi negara dengan kekuatan yang besar di kawasan untuk jangka waktu yang panjang dengan bantuan dan panduan Soviet, layaknya China yang mulai mandiri dengan industri pertahanannya pada tahun 1980 an dan 1990 an. Sayangnya, ekonomi Indonesia yang saat itu kacau balau tidak mampu menopang militer super besar yang jelas-jelas memakan banyak anggaran negara, bahkan sekedar untuk memeliharanya saja. Dengan demikian, sebenarnya tidak begitu mengherankan apabila Indonesia hanya dapat mempertahankan kekuatan sebesar itu selama beberapa tahun saja.
Sumber:
- Adjie, H. (2018, May 29). Sebelum Pilihan Ke SA-2, Soekarno Ternyata Mengincar Rudal Hanud Jarak Jauh “Nike”. Indomiliter.com.
- Blackman, B. R. V. (1959). Jane’s Fighting Ships 1959–1960. McGraw-Hill Book Co.
- Blackman, B. R. V. (1965). Jane’s Fighting Ships: 1964–65. Jane’s International.
- Blackman, B. R. V. (1960). Jane’s Fighting Ships 1960–61. Jane’s International.
- Central Intelligence Agency. (1957). Part 9: Current Intelligence Bulletin 1 January-31 December 1957. Central Intelligence Agency. https://www.cia.gov/.../currentcentral-intelligence-bulletin. Retrieved 12th of July 2021.
- Central Intelligence Agency. (1958). Part 10: Central Intelligence Bulletin 2 January-31 December 1958. Central Intelligence Agency. https://www.cia.gov/.../currentcentral-intelligence-bulletin. Retrieved 12th of July 2021.
- Central Intelligence Agency. (1964). Central Intelligence Agency Bulletin, 1958–1964.Central Intelligence Agency. https://www.cia.gov/.../currentcentral-intelligence-bulletin. Retrieved 14th of July 2021.
- Central Intelligence Agency. (1964). Sino-Soviet Block Economic Activities in Underdeveloped Areas Biweekly Report, 1958–1964. Central Intelligence Agency.
- Central Intelligence Agency. (n.d.). Intelligence Memorandum: Soviet Military Aid Diplomacy in the Third World. Central Intelligence Agency.
- Dinas Sejarah, TNI Angkatan Udara. (1977). Catur Windu TNI-AU, 1945–1977: Sejarah Bergambar.
- Flightglobal Insight. (1971). World Air Forces 1971. Flightglobal Insight. https://www.flightglobal.com/.../1971/1971%20-%201047.html. Retrieved 15th of July 2021.
- Flightglobal Insight. (1987). World Air Forces 1987. Flightglobal Insight. https://www.flightglobal.com/.../1987/1987%20-%202514.html. Retrieved 15th of July 2021.
- Isnaeni, H. F. (2020). Operasi Rahasia CIA di Indonesia: Sejak Awal Kemerdekaan Hingga Kini. Penerbit Buku Kompas.
- Khrushchev, N. S. (2004). Memoirs of Nikita Khrushchev. Penn State Press.
- Lawler, D. J. (2006). National Security Council Report on Foreign Relations of the United States, 1969–1976: Southeast Asia 1969–1972. (E. C. Keefer, Ed.) (Vol. XX). United States Government Printing Office.
- Mahendra, D. P. (2018). Perbedaan Perspektif Perawatan Pesawat Tempur Soviet/Rusia dan US. Lightning II-Chan.
- McMahon, R. J. (1994). Foreign Relations of the United States, 1958–1960: Indonesia. (G. W. LaFantasie, Ed.) (Vol. XVII). United States Government Printing Office.
- Ministry of Foreign Affairs Republic of China (Taiwan). (1983). Going for Broke: The ROC’s Shipbreaking Industry. Taiwan Today. https://taiwantoday.tw/news.php?unit=29%2C45&post=36728&. Retrieved 16th of July 2021.
- Moore, J. E. (1974). Jane’s Fighting Ships 1974–75. MacDonald and Jane’s.
- Pavlov, A. (1998). Cruiser for Indonesia. World Affairs.
- Poernomo, R. P. (2009). 50 Tahun pengabdian Hiu Kencana, 1959–2009. Panitia Penerbitan Buku 50 Tahun Pengabdian Hiu Kencana.
- Stockholm International Peace Research Institute. (2017). Trade Registers. http://armstrade.sipri.org/armstrade/page/trade_register.php. Retrieved 12th of July 2021.
- Subdisjarah Diswatpersau. (2004). Sejarah TNI Angkatan Udara: 1960–1969.
- TNI Angkatan Udara. (2012, February 27). TU-16 Pesawat Pembom Super Yang Pernah Dimiliki Indonesia. TNI Angkatan Udara. https://tni-au.mil.id/tu-16-pesawat-pembomsuper-yang.../. Retrieved 13th of July 2021.
- United States Department of Defense. (n.d.). Soviet Design Policy and its Implications for U.S. Combat Aircraft Procurement. United States Government Printing Office.