Jumat, 10 Mei 2024

Raja Intel : mata dan teliga Suharto, riwayat Ali Murtopo

 


Ali Murtopo, sebuah nama yang pada masa ini sudah sangat jarang disebutkan namun pada masanya menjadi sangat diperhitungkan. Dia dikenal sebagai sang raja intel yang menjadi telinga dan mata suharto dalam rangka menjaga kestabilan politik masa orde baru. Nama Ali Murtopo dengan tangan dinginnya tak pandang bulu dalam menindak siapapun yang berani mengganggu kestabilan politik dan keamanan pada masa orde baru. Karena hal itulah sosok bekas jendral TNI ini sangat dekat dengan the smiling general, Suharto dan bertanggung jawab dalam langgengnya kekuasaan orde baru. Ali Murtopo lahir di Blora pada tanggal 23 September 1924 merupakan sosok yang tidak dapat dipisahkan dalam dunia intel khususnya di Indonesia. Ali mengawali karirnya sebagai prajurit dan tergabung dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang di tempatkan di bawah Kodam Diponegoro di bawah Jendral Ahmad Yani. Ali ktif di kesatuan Banteng Raider, sebuah pasukan elit yang berspesifikasi anti gerilya. Pada tahun 1956, Ali sudah berjasa pada Suharto ketika melakukan manuver untuk melanggengkan Suharto menjadi Pangdam Diponegoro. Dari dukungannya itu Ali dihadiahi jabatan Asisten teritorial oleh Suharto.

 



Setelah Suharto di pindah tugaskan Ali tetap mengabdi dalam rumpun Kodam Diponegoro sampai ketika pembentukan Cadangan Umum Angkatan  Darat (CADUAD) yang menjadi cikal bakal KOSTRAD dimana Suharto dipercaya sebagai Panglima Caduad dan Ali sebagai Asisten Kepala CADUAD. Masa berganti ketika Suharto naik kuasa ketika Sukarno dilengserkan. Sebagai anak buah yang patuh ali kembali dipilih Suharto untuk menjadi asistennya di pemerintahan. Ali dimasukan dalam Badan Koordinasi Intelejen Negara (BAKIN) cikal bakal BIN dan banyak melakukan misi intelejen tingkat tinggi. Ali dikenal memiliki sebuah satuan khusus yang dinamakan Operasi Khusus yang diguakan untuk memberangus lawan politik Suharto. Keberadaan Opsus ini bahkan juga ditentang oleh internal BAKIN yang menganggap bahwa Opsus Ali Murtopo sangat absolut dan menghalalkan segala cara. Sepak terjang opsus ini sangat mengerikan dan tidak ada yang bisa menghentikan mereka kecuali Suharto sendiri. Dalam sebuah memoarnya, Ali Murtopo mengatakan bahwa Opsus tidak bertanggung jawab pada BAKIN namun bertanggung jawab langsung terhadap presiden, untuk mengentikan Opsus perlu perintah langsung dari Presiden Suharto.

 Kiprah Opsus sudah bisa terendus sejak masa pemerintahan Sukarno. Ali Murtopo bersama Opsus secara diam-diam tanpa sepengetahuan Sukarno melakukan lobi dengan Tun Abdul Razak selaku mentri pertahanan Federasi malaysia. Aksi nya tersebut sangat menghianati Sukarno yang pada saat itu sedang melakukan konfrontasi dengan malaysia. Ali juga dianggap sebagai orang yang mempengaruhi Suharto untuk menyederhanakan partai di indonesia yang menurutnya akan lebih mudah diawasi dan diatur jika disederhanakan dalam beberapa partai saja. Ide ali ini terwujud pada tahun 1973 dimana partai melebur jadi 3 golongan partai saja dan pemerintahan mudah dikendalikan. Masa awal kekuasaan suharto terkenal dengan pembersihan PKI di berbagai daerah di indonesia. Suharto melalui Ali Murtopo berusaha menghimpun rakyat dari berbagai golongan untuk menumpas PKI sampai akarnya di berbagai daerah. Untuk melakukan itu perlu sumber daya yang besar dan mau membasmi PKI klarena suharto tidak dapat menggunakan tentara untuk melakukan pembasmian karena citra pemerintahannya di dunia akan tercoreng. Ali Murtopo menghimpun kekuatan yang berasal dari darul Islam untuk membantai PKI di daerah-daerah. Padahal ide ini sudah ditentang oleh Sumitro atasannya di BAKIN namun dia tidak mengindahkannya.





Pada tahun 1969 pada saat Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Irian Barat (kini Papua), Suharto melalui tangannya yaitu Ali Murtopo memerintahkan Opsus untuk memenangkan Pepera lewat berbagai cara. Mereka antara lain Letkol Ngaeran, Letkol P. Soedarto, dan Letkol Soegianto. Perwira-perwira intel ini berperan dalam mengerahkan mahasiswa dan pemuda dari Jawa ala Peace Corps untuk menggalang rakyat Papua bergabung ke dalam RI. Rakyat dimobilisasi dengan seruan-seruan nasionalisme dan janji-janji yang memabukkan. Hasil operasi ini sangat bagus dengan keputusan Papua untuk bergabung dalam NKRI. Kemenangan ini sekaligus kemenangan Ali Murtopo dengan operasinya.  Opsus juga memobilisasi masa khususnya mereka yang berlatar belakang agama untuk memilih dan mendukung golkar. Manuvernya ini juga berlaku untuk golongan pegawai negri sipil negara dengan kampanye yang terkenal yaitu pegawai negeri adalah golkar dan harus memilih golkar. Hasilnya Golkar menang telak pada pemilu tahun 1971.
 


Sepak terjang Ali Murtopo tentu mendapat tentangan khususnya dari atasannya sendiri yaitu Sumitro, kepala BAKIN. Sumitro pernah mengusulkan pembubaran Opsus namun dengan jelas Suharto menolak karena Suharto masih memiliki kepentingan di dalam Opsus. Tidak berhenti disitu, Sumtro melakukan perlawanan melawan pengaruh ali yang merupakan bawahannya sendiri. Sumitro menyarankan Ali untuk diangkat menjadi mentri penerangan saja, Suharto menyetujuinya namun Ali menolaknya. Ali sadar jika menjadi penerangan kewenangannya terbatas dan opsus akan dibubarkan tanpa dirinya. Sumitro juga menyebarkan desas desus bahwa Ali berusaha mengguncangkan Suharto dan merebut kekuasaan sebagai presiden. Sumitro berusaha mengimbangi kekuasaan Ali dengan melakukan gerakan yang mengunjungi kampus kampus yang mengkampanyekan sikap kritis mahasiswa terhadap pemerintah. Sumitro juga menggalang nasionalisme dikalangan mahasiswa yang menolak investor dari luar yang diibaratkan sebagai penjajahan jenis baru. ampanye Soemitro berhasil. Di kalangan mahasiswa, popularitas Soemitro cukup tinggi. Citranya lekat sebagai reformator di tengah kemuakan terhadap “jenderal politik” dan “jenderal uang” yang bernaung di bawah lembaga Aspri. Mahasiswa yang kesal dengan jendral-jendral uang menggeruduk kediaman Ali yang dianggap sebagai salah satunya, sebelumnya juga pasukan penjaga rumah Ali ditarik oleh Sumitro yang memungkinkan mahasiswa melakukan kerusuhan di rumah Ali.

 



Ali yang merasa diserang martabatnya melakukan serangan balik, ali menyadari gerakan mahasiswa akan semakin besar dan menentang pemerintahan Suharto. Hal tersebut dibuat skenario oleh Ali yang bertepatan dengan kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka. Melalui Opsus, Ali meyakinkan mahasiswa bahwa dengan kedatangan Perdana Mentri Jepang akan menimbulkan wujud penjajahan baru berkedok investasi. Ali membuat skema aksi mahasiswa disertai kerusuhan yang mana sebelumnya sudah diketahui oleh Ali. Namun Ali tidak mencegah hal tersebut malah menambah besar. Puncak perseturuan Ali dan Sumitro pecah ketika terjadi kerusuhan Malari. Presiden Soeharto ikut merasa dipermalukan, ia marah besar dan menganggap maslah ini tidak perlu terjadi jika intel dapat mengetahui terlebih dahulu. Suharto kehilangan investor potensialnya yang menjadi sumber dana untuk pembangunan. Kerusuhan itu menempatkan Soemitro sebagai pejabat negara yang paling bertanggung jawab.





Ali merasa siasatnya berhasil terbukti dengan mundurnya Sumitro dari jabatannya dan memutuskan pensiun dini beserta jajaran pendukungnya yang rata-rata dimutasi sebagai duta besar maupun lembaga lainnya. Namun suharto insyaf dan menyadari berbahayanya pengaruh Ali dengan Opsusnya dan memutuskan memberangus Ali juga. Opsus milik Ali dikebiri dengan wewenangnya yang dikurangi. Selain itu Suharto juga menemukan orang yang lebih baik dan lebih terpercaya yaitu Benny Moerdani. Karir ali Moertopo di habisi oleh tuannya sendiri dan tidak pernah lagi menempati jabatan strategis. Jabatan tertinggi Ali Moertopo yaitu mentri Penerangan selama satu periode setelah itu karirnya mandek dan diasingkan oleh Suharto karena Suharto menyadari berbahayanya Ali dan mencegah Ali menyerang dirinya. Ali meninggal pada usia 59 tahun, meninggal di Jakarta, 15 Mei 1984. Sumbangsihnya yaitu ia mendirikan CSIS (Centre for Strategic and International Studies) yang merupakan lembaga penelitian kebijakan pemerintahan. Pada tahun 1972, ia menerbitkan tulisan Dasar-dasar Pemikiran tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun yang selanjutnya diterima MPR sebagai strategi pembangunan jangka panjang (PJP).




 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar