Minggu, 29 Oktober 2023

Artidjo Alkostar SEBUAH KITAB KEADILAN

 



Oleh Hamid Basyaib

Gambaran apa yang muncul di benak Anda setiap mendengar profesi pengacara dan kepengacaraan? Apapun citra itu, Artidjo Alkostar menghancurkannya berkeping-keping. 

Sebagai pengacara hingga akhir 1990an, berkantor di bangunan semi-permanen berdinding gedek di pinggiran Jogja, ia tak pernah merundingkan biaya jasa kepada kliennya. Suatu kali seorang klien yang perkaranya menang, kebingungan. Ia merasa harus berterima kasih atas layanan hukum Artidjo. Ia berasal dari Madura, dan tinggal di Kulonprogo. Jika memberi uang, ia kuatir jumlahnya terlalu kecil dan bisa menyinggung perasaan si pengacara. Untuk memberi honor besar, ia tak punya cukup uang. Tiadanya kesepakatan mengenai besaran fee membuatnya repot dan serba salah. 

Akhirnya ia mendapat ide cemerlang: ia akan memberi sepotong jimat sebagai imbalan kepada si pengacara yang ia duga menyukai hal semacam itu, mengingat latar-belakang komunitas dan daerahnya, Madura-Situbondo. "Saya bilang kepada dia, kamu bawa pulang saja barang milikmu ini," tutur Artidjo kepada kawan-kawannya dengan terkekeh. "Saya tidak percaya dengan jimat-jimatan." 

Bagi Artidjo, jasa hukum bukanlah hal yang pantas dirundingkan, apalagi dengan tawar-menawar. Jika klien puas dengan layanan  jasanya, mereka boleh membayar seikhlasnya. Bila mereka tak membayar, tidak mengapa. 

Seorang dosen yang menjadi kliennya sangat bahagia karena menang di pengadilan. Dua mantan mahasiswa Artidjo yang bekerja di firma hukumnya berinisiatif menagih bayaran kepada klien yang gembira itu. Ini hal yang sepenuhnya lumrah. Semua orang mafhum belaka dengan adat istiadat di dunia bisnis jasa seperti lawyering, yang kemahalannya justeru cenderung dimaklumi. 

Dua pengacara muda itu sangat terkejut menerima akibat tindakan normal mereka. Si klien menelepon Artidjo dan memberitahu soal penagihan biaya pengacara. Artidjo kontan memecat dua pengacara itu. "Mereka bikin malu," katanya. "Kalau klien mau membayar, silakan saja. Tapi jangan ditagih-tagih!"

Meski kantor hukumnya sulit dibedakan dari yayasan amal, tak banyak klien yang meminta jasanya untuk mewakili mereka. Mereka tahu: jika menyerahkan perkara kepadanya, mereka harus lebih siap untuk kalah daripada menang. Mereka tahu: Artidjo tidak disukai oleh semua instansi hukum maupun lembaga-lembaga lain, sebagai ekor dari aksi-aksi pembelaan heroiknya yang "nekat" terhadap para korban "penembakan misterius" (petrus, pertengahan 1980an; suatu aksi ekstralegal di seluruh Indonesia yang dimulai di Jogja). 

Waktu itu ia direktur LBH Jogja, dan gencar mengecam tindakan ekstralegal yang sepenuhnya menginjak-injak tatanan hukum -- mayat para preman setiap hari ditemukan warga di sungai, sudut jalan dan tempat-tempat terbuka, dengan kepala dan tubuh penuh lubang peluru, setelah mereka diculik dari rumah atau diringkus di tempat-tempat hiburan. Tidak ada pihak yang menyatakan diri sebagai pelaku pembunuhan biadab itu, tapi Artidjo, seperti semua orang, tahu siapa yang memiliki kemampuan untuk melakukan operasi bersenjata semacam itu. 

Beberapa preman berhasil dilindungi dan diselamatkannya -- tindakan yang bagi hampir semua rekan seprofesinya tak terbayangkan untuk mereka sendiri lakukan. Ia tak pernah menunjukkan sikap sebagai pengacara yang paling berani. Tapi siapapun yang mengenalnya cukup dekat tahu: ia selalu mampu mengatasi rasa takutnya. 

Bahkan di masa yang genting dan mencekam itu, ia tak mengubah kebiasaannya: pergi ke mana pun dengan motor bebek dan tas kecil di pundak; bukan tanpa sadar bahwa ia selalu mungkin ditabrak oleh mobil besar “orang tak dikenal.” 

Pernah saya tanya: apakah ada pihak yang mengancamnya karena tidak menerima putusan-putusannya sebagai hakim? "Tidak ada," katanya. "Kalau sampai ada, saya akan balik mengancamnya dan saya akan kejar dia hingga tujuh turunan!" 

Sikap seperti itu bukan bentuk keberaniannya, tapi ekspresi keyakinan bahwa putusan apapun yang dibuatnya adalah atas dasar kebenaran hukum. Jika untuk itu ia harus menanggung harganya, ia tidak akan pernah segan untuk membayarnya. Dalam bentuk apapun. 

Ia membuka praktik pribadi seusai pensiun dari LBH dan setelah drama petrus berakhir. Citranya sebagai pengacara penentang aksi ekstralegal brutal itu terbentuk kuat, dan membuat calon klien menghindarinya. Beberapa kali saya mengunjungi kantornya, dan jadi mengerti bahwa ada alasan tambahan bagi klien untuk menghindarinya: satu-satunya yang menonjol di sana adalah timbunan koran tua, yang sebagian sampai menyundul plafon. Kondisi meja kerja dan ruang rapatnya jauh sekali dari kenormalan kantor sejenis. 

***

Sikap tak mau meminta ia ulangi ketika ia diangkat menjadi hakim agung pada awal 2000. Kami mengunjungi rumah kontrakannya di sebuah gang sempit di Kwitang -- disediakan oleh beberapa mahasiswanya -- dan saya terkejut karena kami harus duduk di lantai beralaskan tikar. Ia minta maaf karena belum sempat membeli kursi. Ia pergi-pulang ke kantor Mahkamah Agung dengan menumpang bajaj. 

Ketika saya rasa saatnya tepat, saya mulai "memprotes". Tidak pantas seorang hakim agung tinggal di gang sempit dan naik bajaj, saya bilang. "Saya dengar ada jatah rumah dan mobil dari kantor," katanya dengan datar. "Tapi saya tidak mau menghadap pejabat yang mengurusnya untuk meminta-minta. Kalau memang jatah itu ada, berikan saja. Tanpa perlu saya minta." 

Si pejabat rupanya sengaja menciptakan situasi yang mengharuskannya menghadap dan memohon; membuat Artidjo, sebagai "anak baru" yang wajib tahu diri dan harus tahu siapa yang berkuasa di instansi itu, berada dalam posisi "di bawah". Pejabat itu, saya masih ingat namanya karena Artidjo menyebutnya, tidak tahu dia sedang berhadapan dengan manusia jenis apa. 

Belakangan jatah apartemen itu ia dapatkan, dan ditempatinya hingga ia pensiun 18 tahun kemudian. Selama masa yang panjang itu, dalam obrolan ia tak pernah sekali pun menyinggung soal keinginan memiliki rumah baru, baik di Jogja apalagi di Jakarta. 

Ia mengisyaratkan apartemen fasilitas negara yang dinikmatinya sudah lebih dari cukup. Rumah kecilnya di kompleks sederhana di Sidoarum, Jogja, yang mulai dicicilnya 40 tahun lalu, dengan perabot yang tak berganti, pun tetap sama. 

Artidjo juga kemudian pergi-pulang ke kantor dengan mobil. Tapi saya tak tahan untuk tak mengusiknya. Mobil kecil buatan Korea itu tampak ganjil dan kocak karena bersupir. Saya bilang, pakailah mobil yang lebih layak bagi seorang hakim agung; tidak perlu mewah. Sebuah mobil menengah yang cukup besar tentu lebih pantas. Ia bilang, jatah uang mobil dari kantor hanya cukup untuk membeli mobil mini bekas itu. Saya dan kawan-kawan merasa percuma berdebat dengan dia tentang hal-hal yang menyangkut kelayakan hidup bagi pejabat negara setinggi dia. 

Ia memiliki berpuluh-puluh mantan mahasiswa dan junior yang menjadi pengacara sukses, yang mengenal dan dikenalnya dengan baik. Dan tak ada seorang pun yang berani menyinggung kasus yang sedang mereka tangani, jika kasus itu ia sidangkan di tingkat kasasi di Mahkamah Agung. 

Ia tak pernah eksplisit menyatakan sikapnya, tapi mereka semua bisa menangkap sinyal yang kadang dikirimnya: jika klien dari pengacara alumni UII memang bersalah, atau kasusnya terkait dengan figur HMI (organisasi yang ia banggakan dan selalu ia jaga integritasnya dengan caranya sendiri), ia akan menjatuhkan hukuman lebih berat. 

Baginya, predikat keislaman yang juga sangat dekat dengan emosinya itu wajib dijaga ekstraketat, dan karena itu pelanggarannya pun harus dihukum ekstraberat. Semua maklum belaka atas ketentuan tak tertulis dan tak pernah dibicarakan terbuka ini -- dan tak ada yang cukup punya nyali untuk menawar atau memohon sejenis kompromi kepada Artidjo. 

***

Setelah pensiun pada 2018, ia mengatakan tidak akan kembali ke habitat lamanya, dunia hukum, dalam kapasitas apapun. Ia ingin jadi petani di desa. Sejak lama ia memang gemar merawat bonsai dan memelihara ayam pelung. Dulu ia kadang membawa sendiri, dengan menumpang kereta api, beberapa ekor ayam yang memikat itu untuk hadiah bagi kawan-kawannya di Jakarta. Tapi bangsa Indonesia menilai ada tempat yang lebih patut dan diperlukan darinya daripada bertani. Ia kemudian menerima amanat baru: anggota Dewan Pengawas KPK. 

Sebagai praktisi dan dosen Hukum Pidana, Artidjo tak pernah kehilangan minat akademisnya. Sejak pertama kali saya mengenalnya empatpuluh tahun silam, ketika ia memimpin lembaga penelitian di Fakultas Hukum UII dan sibuk mengikuti pelatihan riset oleh Himpunan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS) -- ia meneliti kaum tuna wisma, dan menerbitkan buku "Gelandangan: Insan Kesepian di Tengah Keramaian" -- ia tak berubah. Ia selalu menghargai ikhtiar keilmuan, selalu respek pada pencapaian prestasi keilmuan. 

Dalam usia tak lagi muda, ia berangkat ke Universitas Columbia, Amerika, untuk berlatih menjadi pengacara hak-hak azasi manusia -- pusat perhatiannya sepanjang hayat. Ia juga studi S2 di universitas lain di sana, lalu mendapat doktor hukum di Universitas Diponegoro dalam usia 59. 

Saya bangga pernah mendirikan Lembaga Pembela Hukum (LPH) bersamanya dan tiga kawan lain, untuk menampung para calon pengacara yang tak kebagian tempat berlatih di LBH dan LKBH FH-UII. Selama lima belas tahun pertama aktifitas LPH,  tampaknya lembaga itu cukup sukses menjalankan misinya dan mencetak sejumlah pengacara andal. 

Dunia boleh berubah setiap minggu, setiap tahun, setiap satu dekade, tapi Artidjo tidak. Dalam posisi apapun, menetap di mana pun, ia tetaplah sebuah monumen kejujuran dan sikap pantang menyerah. Dan ia tak pernah mengeluhkan situasi. Ia tahu betul betapa parah dunia hukum kita, sampai kadang menggoda banyak orang untuk putus asa. 

Tapi baginya berputus asa adalah puncak kesia-siaan sikap. Selalu mengupayakan perbaikan tanpa henti, dengan segenap daya terkecil yang ada -- inilah sikap yang tak pernah surut dipegangnya. "Yang perlu kamu lakukan hanya berusaha sebaik-baiknya," katanya selalu kepada mahasiswanya. "Jangan pikirkan hasilnya. Itu bukan urusan kita. Fokus saja pada ikhtiarnya."

Ia yang seumur hidup tak pernah kelebihan berat badan, mengidap problem jantung dan paru-paru menahun, dan tetap menolak keras dirawat di rumah sakit. Tiga mantan mahasiswanya yang telah dianggapnya sebagai anak -- Ari Yusuf Amir, Sugito Atma Pawiro dan Kun Wahyu Wardhana -- tak pernah lelah membujuknya untuk berobat secara layak. Setiap dua-tiga minggu sekali, mereka membawanya ke rumah sakit. 

Pada Selasa, 23 Februari, untuk ke sekian kalinya mereka membawanya, dan kali ini dokter bersikeras memintanya dirawat di sana karena kapasitas jantungnya dinyatakan tinggal 31 persen. Ia tetap menolak. Ia masih bisa makan enak, dan tiap hari masih bisa bekerja, katanya, menyanggah desakan untuk dirawat. 

Lima hari kemudian, pada pukul 9 pagi, supirnya mengetuk pintu apartemennya. Tak ada sahutan. Mungkin ia sedang beristirahat. Di hari Minggu ini tak ada kegiatan yang mendesak. Lima jam kemudian, karena tiada tanda-tanda kehidupan di apartemen pinjaman KPK di Kemayoran itu, dan anak kunci menancap di lubangnya, sejumlah orang mendobrak pintunya. Terlihat ia terkulai di tempat tidurnya. 

Kebisingan sejumlah orang yang berkerumun di kamar tidurnya tak membuatnya bereaksi. Ia rebah seorang diri dengan mata terpejam, jauh dari isterinya yang menetap di Semarang, tanpa anak. Tampaknya ia terkena serangan jantung yang keras, lebih keras daripada yang memukulnya enam bulan lalu di tempat yang sama. 

Mata saya terasa hangat, dan saya mengatupkannya, merelakan kepergian Bang Artidjo, seorang guru dan sahabat yang telah menyajikan begitu banyak teladan hidup yang amat mengesankan. Sebuah tonggak integritas berusia 72 tahun 9 bulan, yang kadang membuat saya malu karena terlalu sedikit contoh yang disuguhinya tanpa dia maksudkan untuk saya tiru, yang bisa saya tiru.

***

Ia lebih dari memenuhi syarat untuk mendapat tempat di makam pahlawan. Selama belasan tahun membereskan hampir duapuluh ribu perkara di Mahkamah Agung, bahkan tanpa menghitung masa puluhan tahun sebelumnya sebagai orang yang tak henti memperjuangkan keadilan, kehadirannya memercikkan sedikit harapan bahwa keadilan memang sesuatu yang mungkin terwujud di tanah air. 

Tapi ia tak mungkin dimakamkan di Kalibata. Ia tak pernah mengurus segala macam syarat administratif dan birokrasi yang memungkinkannya dikuburkan di sana. Ia tetap dia yang dulu: tak pernah menganggap penting segala macam predikat, apalagi status pahlawan bangsa. 

Sepanjang hidupnya ia mengamalkan kejujuran dan integritas tak kenal ampun. Bahkan kematiannya pun memahat sebuah prasasti keihklasan. ***


Berapa Lama Kepala Manusia Bisa Bertahan Setelah Di Penggal ?

Alat pemenggal sangat populer pada abad ke 18. Alat ini diciptakan oleh Dr. Joseph Ignace Guillotine. Dia menciptakan alat ini untuk menghukum para terpidana mati dengan lebih manusiawi. Karena pada era revolusi perancis para terpidana mati harus di hukum dengan cara di penggal menggunakan pedang atau kapak yang sering gagal. Sehingga alat ini sering di sebut dengan guillotine berdasarkan nama penemunya.

Berapa Lama Kepala Manusia Bisa Bertahan Setelah Di Penggal ?


Pada tahun 1793 seorang wanita bernama Charlotte Corday harus menerima hukuman di penggal karena terbukti membunuh seorang tokoh penting bernama Jean Paul Marrat.


Berapa Lama Kepala Manusia Bisa Bertahan Setelah Di Penggal ?


Proses hukuman mati berjalan dengan lancar dalam satu tebasan kepala corday dapat terpisah dari tubuhnya, Lalu algojo mencoba mengangkat memeriksa corday apakah masih hidup atau tidak. Diangkatlah kepala corday lalu ditamparnya. Ternyata kepala corday masih memberikan reaksi dengan MEMERAHNYA DI BAGIAN PIPI.


Berapa Lama Kepala Manusia Bisa Bertahan Setelah Di Penggal ?


Dikasus lain pada tahun 1794, Antoine Lavoiser harus berhadapan dengan alat pemenggal ini. Sama seperti corday hanya dalam satu tebasan kepalanya dapat terpisah dari tubuhnya. Pada kasus Antoine setelah ditebas kepala Antoine masih bisa memberikan reaksi dengan BERKEDIP SELAMA BEBERAPA DETIK sebelum pada akhirnya mati.




Berapa Lama Kepala Manusia Bisa Bertahan Setelah Di Penggal ?


Berapa Lama Kepala Manusia Bisa Bertahan Setelah Di Penggal ?


Terdapat sebuah catatan dari seorang ilmuwan bernama Dr, Beauriex yang menyaksikan secara langsung eksekusi pemenggalan kepala. Dan hasil penelitian nya sebagai berikut.
"Maka inilah yang dapat saya catat setelah pemenggalan kepala; kelopak mata dan bibir korban berkontraksi secara tidak teratur dalam 5–6 detik. Fenomena ini telah diingat oleh mereka yang berada disini untuk mengamati apa yang terjadi setelah pemenggalan."
"Saya menunggu beberapa detik, gerakan spasmodik berhenti, wajahnya rileks, kelopak matanya setengah tertutup hanya menyisakan putihnya. Persis seperti orang sekarat yang sering kita jumpai di kehidupan sehari-hari. Saat itulah saya memanggil dengan suara yang keras "Languille" Saya melihat kelopak mata perlahan-lahan terangkat tanpa kontraksi spasmodik, seperti orang yang baru terbangun dari tidurnya"
"Lalu mata languille dengan jelas menatapku. Saya seperti tidak berhadapan dengan tatapan kusam yang samar-samar tanpa ekspresi apapun. Saya berhdapan dengan mata yang hidup yang menatap saya juga. Setelah beberapa detik kelopak mata menutup lagi secara perlahan. dan kepala itu memiliki penampilan yang sama seperti sebelum saya memanggilnya."
"Lalu saya mencoba memanggilnya lagi, kepala itu beraksi. perlahan-lahan kelopak mata terangkat tetapi dengan penetrasi yang kurang dari sebelumnya. Disana ada kelopak mata tetapi terasa kurang lengkap. Saya mencoba untuk memanggilnya lagi namun tiada reaksi lebih lanjut."
"Saya baru saja menceritakan kepada anda apa yang saya amati semua berlangsung selama 25–30 detik"


Berapa Lama Kepala Manusia Bisa Bertahan Setelah Di Penggal ?


Interpretasi Makna Palu dan Arit

  Interpretasi Makna Palu dan Arit

foto via: arahindonesia.wordpress.com

Lambang Palu dan Sabit yang menjadi simbol dari komunis memiliki sejarah yang tidak ada hubungannya dengan komunisme. Simbol palu mewakili para buruh dan sabit mewakili para petani. Setelah revolusi industri di Eropa, kaum buruh dan petani semakin terpinggirkan dan tertindas. Simbol palu dan sabit yang menyilang muncul sebagai bentuk pengkomunikasian bersatunya kaum buruh dan petani dalam revolusi Bolshevik tahun 1917 di Rusia.

Di tahun-tahun berikutnya, lambang palu dan sabit menjadi simbol pemberontakan, bahkan sampai sekarang. Revolusi para pekerja yang tergolong kalangan bawah tersebut mengundang perhatian dunia. Mereka yang menyepelekan kaum pekerja tidak mengira akan kekuatan yang dimiliki oleh persatuan kaum buruh dan petani.
Pihak komunis-sosialis, yang sebelumnya menggunakan bendera merah atau sering dikenal dengan tentara merah, memanfaatkan simbol pekerja tersebut sebagai lambang bendera partai komunis.

Tahun 1922 penggunaan lambang palu dan sabit menyilang dengan latar belakang merah diresmikan menjadi bendera komunis di seluruh dunia.



Makna Simbol
Simbol merupakan kode untuk berkomunikasi atau pertukaran informasi dalam interaksi sosial. Dari uraian diatas, simbol muncul dalam bentuk lambang palu dan sabit, berupa artefak bendera, atribut, dan lainnya. Peran Artefak dalam Pertukaran Informasi yaitu:
-Sebagai simbol wilayah kekuasaan & sosial
-Sebagai simbol penguat kesatuan etnik
-Sebagai simbol pemeliharaan dan penguatan jaringan pencarian pasangan hidup
-Sebagai simbol penguatan hubungan antar masyarakat
-Sebagai simbol kedudukan struktura

Pada awalnya, para buruh dan petani menyampaikan eksistensi mereka dalam revolusi melalui simbol palu dan
sabit. Simbol ini kemudian menjadi identitas para pekerja kasar sebagai solidaritas, pemersatu dan penguat hubungan antar masyarakat. Apabila revolusi yang dilakukan tidak memunculkan simbol, maka akan sulit untuk menunjukkan keberadaan kaum buruh dan petani di mata dunia, serta sulit untuk menggerakkan kaum pekerja yang lain.
Dengan demikian simbol palu dan sabit memiliki arti penting dalam penyampaian pesan revolusi. Besarnya pengaruh revolusi palu dan sabit mengakibatkan orang mengidentikkan lambang palu dan sabit sebagai simbol pemberontakan.

Dalam perkembangannya, simbol palu dan sabit tidak hanya digunakan oleh kaum pekerja tapi juga kaum borjuis (pelajar) saat menolak kebijakan pemerintah. Simbol ini juga digunakan oleh kaum sosialis yang menjunjung tinggi kesetaraan status.

Tahun 1922, tentara merah meresmikan simbol palu dan arit yang menyilang dimasukkan ke dalam lambang bendera partai politiknya. Lambang ini memiliki makna bahwa partai komunis menjunjung tinggi para pekerja kasar. Dari sini diharapkan pendukung partai dapat dihimpun dari para buruh dan petani yang cenderung memiliki massa lebih banyak.

Simbol palu dan sabit berubah fungsi dan makna sesuai dengan perkembangan jaman. Makna yang semula dikomunikasikan melalui simbol palu dan sabit berubah interpretasinya sesuai dengan kondisi jaman dan pengalaman sejarah.

di Indonesia
Di Indonesia, sejak peristiwa G 30 S PKI, simbol palu dan sabit menjadi tabu karena diinterpretasikan dengan komunis yang ingin menghancurkan Indonesia dari dalam. Namun setelah lengsernya pemerintahan orde baru, simbol palu dan sabit mulai bermunculan lagi dalam berbagai bentuk dan lambang. Interpretasi orang saat ini bisa beraneka macam terhadap simbol tersebut. Ada yang mengartikan sebagai penganut komunis, penganut sosialis, lambang revolusi, bentuk protes terhadap pemerintahan, dan lainnya. Semua,makna tidak salah, kembali ke pengertian simbol yang memiliki banyak arti, dan hanya dipahami oleh manusia, sehingga yang bersangkutan dituntun untuk memahami objek untuk mengetahui makna yang terkandung dalam simbol tersebut.


Interpretasi Makna Palu dan Arit
bendera Uni Soviet (1923-1991)

Interpretasi Makna Palu dan Arit
Bendera Partai Komunis Tiongkok

Interpretasi Makna Palu dan Arit
Bendera Partai Komunis Vietnam

Interpretasi Makna Palu dan Arit
Bendera Partai Komunis Kamboja

Interpretasi Makna Palu dan Arit
Bendera Partai Komunis Lebanon

Interpretasi Makna Palu dan Arit
Bendera Partai Komunis Rumania

Interpretasi Makna Palu dan Arit
Logo Partai Komunis (Swedia)

Interpretasi Makna Palu dan Arit
Logo Partai Komunis Meksiko

Interpretasi Makna Palu dan Arit
Logo Partai Komunis Chili

Interpretasi Makna Palu dan Arit
Bendera Oblast Bryansk

Interpretasi Makna Palu dan Arit
Bendera Partai Komunis India (Marxis) dan Partai Komunis India

Interpretasi Makna Palu dan Arit
Bendera Partai Komunis Peru (Jalan Terang)

Interpretasi Makna Palu dan Arit
Bendera Partai Bolshevik Nasional (Rusia)

Interpretasi Makna Palu dan Arit
Bendera Partai-Barisan Pembebasan Rakyat Revolusioner

Interpretasi Makna Palu dan Arit
Emblem Partai Komunis Brasil

Interpretasi Makna Palu dan Arit
Emblem Partai Revolusioner Rakyat Etiopia

Interpretasi Makna Palu dan Arit
Logo Partai Komunis Indonesia




















Blackwater, Perusahaan Militer Swasta

  Mengenal Blackwater, Perusahaan Militer Swasta

Blackwater adalah perusahaan militer swasta Amerika yang didirikan pada tahun 1997 oleh mantan perwira Navy SEAL Erik Prince. Perusahaan ini kemudian berganti nama menjadi "Xe Services" pada tahun 2009 dan dikenal sebagai "Academi" sejak 2011 setelah perusahaan tersebut diakuisisi oleh sekelompok investor.

Perusahaan ini menerima ketenaran pada tahun 2007, ketika sekelompok karyawannya membunuh 17 warga sipil Irak dan melukai 20 di Nisour Square, Baghdad , di mana empat penjaga dihukum di AS, tetapi kemudian diampuni pada 22 Desember 2020 saat itu oleh Presiden AS Donald Trump.

Blackwater menyediakan layanan keamanan kepada pemerintah federal Amerika Serikat berdasarkan kontrak. Sejak tahun 2003, kelompok tersebut telah memberikan layanan kepada Central Intelligence Agency. Pada tahun 2013, anak perusahaan Blackwater menerima kontrak sekitar $92 juta untuk penjaga keamanan Departemen Luar Negeri.

Pada tahun 2014, Blackwater menjadi divisi dari Constellis Group bersama dengan Triple Canopy dan perusahaan keamanan lainnya yang merupakan bagian dari Constellis Group sebagai hasil akuisisi.

Blackwater USA (1997)
Mengenal Blackwater, Perusahaan Militer Swasta
Blackwater USA dibentuk pada tahun 1997, oleh Al Clark dan Erik Prince di North Carolina , untuk memberikan dukungan pelatihan kepada organisasi militer dan penegak hukum. Dalam menjelaskan tujuan Blackwater, Prince menyatakan: "We are trying to do for the national security apparatus what FedEx did for the Postal Service". Setelah bekerja dengan tim SEAL dan SWAT, Blackwater USA menerima kontrak pemerintah pertamanya setelah pemboman USS Cole di lepas pantai Yaman pada Oktober 2000.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Pusat pelatihan dibuka (1998)
Prince membeli sekitar 7.000 acres (28 km2) rawa luas di perbatasan Carolina Utara–Virginia yang sekarang sebagian besar merupakan suaka margasatwa nasional, dari eksekutif Dow Jones Sean Trotter. "Kami membutuhkan 3.000 hektar untuk membuatnya aman," kata Prince kepada reporter Robert Young Pelton. Di sana, ia menciptakan fasilitas pelatihan pribadinya dan perusahaan kontraktornya, Blackwater, yang ia beri nama untuk air rawa yang berwarna gambut.
Mengenal Blackwater, Perusahaan Militer Swasta
Blackwater Lodge and Training Center resmi dibuka pada 15 Mei 1998 dengan lahan seluas 6.000 hektar, dipimpin oleh J Milam. Fasilitas $6,5 juta. Fasilitas pelatihan terdiri dari: indoor, outdoor, urban reproductions, sebuah danau buatan; dan jalur mengemudi Camden dan Currituck .

Perusahaan mengatakan itu adalah fasilitas pelatihan terbesar di negara ini. Konsep ini tidak sukses secara finansial namun masalah ini teratasi oleh penjualan dari saudara perusahaan tersebut "Blackwater Target Systems".

Perusahaan Keamanan Blackwater (2002–2007)
Jeremy Scahill telah mengklaim bahwa Blackwater Security Company (BSC) adalah gagasan dari Jamie Smith, mantan perwira CIA yang menjadi Wakil Presiden Blackwater USA dan Direktur Pendiri Blackwater Security Company, dia memegang kedua posisi secara bersamaan.

Namun, klaim ini ditolak oleh Prince dan eksekutif Blackwater Gary Jackson yang menggambarkan pemecatan Smith dari posisinya sebagai administrator tingkat rendah untuk "non-kinerja" setelah kontrak 30 hari. Selain itu, Smith telah dituduh semakin memperindah catatan militer dan kontraknya untuk menipu investor di SCG International Risk.

Kontrak pertama (2003–2006)
Tugas pertama BSC adalah menyediakan 20 orang dengan izin rahasia untuk melindungi markas besar CIA dan pangkalan lain yang bertanggung jawab untuk memburu Osama bin Laden.

Blackwater adalah salah satu dari beberapa perusahaan keamanan swasta yang dipekerjakan setelah invasi AS ke Afghanistan. BSC awalnya dibentuk sebagai Delaware LLC dan merupakan salah satu dari lebih dari 60 perusahaan keamanan swasta yang dipekerjakan selama Perang Irak untuk menjaga pejabat dan instalasi, melatih tentara dan polisi baru Irak, dan memberikan dukungan lain untuk pasukan koalisi.

Smith meninggalkan Blackwater untuk memulai perusahaannya sendiri, SCG International Risk, pada tahun 2003. Blackwater juga dipekerjakan selama pasca Badai Katrina oleh Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat untuk melindungi fasilitas pemerintah, serta oleh klien swasta, termasuk komunikasi, petrokimia, dan perusahaan asuransi. Secara keseluruhan, perusahaan menerima lebih dari US$1 miliar dalam kontrak pemerintah AS. Perusahaan ini terdiri dari sembilan divisi dan anak perusahaan, Blackwater Vehicles.

Pada bulan Agustus 2003, Blackwater menerima kontrak Irak pertamanya, kontrak $21 juta untuk Detasemen Keamanan Pribadi dan dua helikopter untuk Paul Bremer, kepala pendudukan AS di Irak.

Pada Juli 2004, Blackwater dipekerjakan oleh Departemen Luar Negeri AS di bawah kontrak payung Worldwide Personal Protective Services (WPPS) Biro Keamanan Diplomatik, bersama dengan DynCorp International dan Triple Canopy, Inc. untuk tujuan menyediakan layanan perlindungan di Irak, Afganistan, Bosnia, dan Israel. Kontrak tersebut berlaku selama dua tahun dan berakhir pada 6 Juni 2006. Kontrak tersebut memberi wewenang kepada 482 personel, dan Blackwater menerima $488 juta untuk pekerjaannya.

Pada tanggal 1 September 2005, setelah Badai Katrina, Blackwater mengirim tim penyelamat dan helikopter untuk mendukung operasi bantuan. Blackwater memindahkan sekitar 200 personel ke daerah yang terkena dampak Badai Katrina, sebagian besar (164 karyawan) bekerja di bawah kontrak dengan Layanan Perlindungan Federal untuk melindungi fasilitas pemerintah, tetapi perusahaan mengadakan kontrak dengan klien swasta sebagai baik. Kehadiran Blackwater setelah Katrina merugikan pemerintah federal $240.000 per hari.

Pada Mei 2006, Departemen Luar Negeri AS memberikan WPPS II, penerus kontrak keamanan diplomatik sebelumnya. Berdasarkan kontrak ini, Departemen Luar Negeri memberikan Blackwater, bersama dengan Triple Canopy dan DynCorp, sebuah kontrak untuk keamanan diplomatik di Irak. Berdasarkan kontrak ini, Blackwater diberi wewenang untuk memiliki 1.020 staf di Irak. Tanggung jawab Blackwater termasuk kedutaan Amerika Serikat di Irak.
Mengenal Blackwater, Perusahaan Militer Swasta
Kepemimpinan
Cofer Black, wakil ketua perusahaan dari 2006 hingga 2008, adalah direktur Pusat Kontraterorisme (CTC) CIA pada saat serangan 11 September 2001. Dia adalah koordinator Departemen Luar Negeri Amerika Serikat untuk kontraterorisme dengan pangkat Ambassador-at-Large dari Desember 2002 hingga November 2004. Setelah meninggalkan layanan publik, Black menjadi ketua perusahaan pengumpulan-intelijen milik swasta Total Intelligence Solutions Inc sebagai wakil ketua Blackwater.

Robert Richer adalah wakil presiden intelijen hingga Januari 2007, ketika ia membentuk Total Intelligence Solutions. Dia sebelumnya adalah kepala Divisi Near East CIA.

Pusat pelatihan baru (2006–2007)
Pada November 2006, Blackwater USA mengumumkan bahwa mereka telah mengakuisisi fasilitas seluas 80 acre (32 ha) 120 mil (190 km) barat Chicago di Mount Carroll, Illinois , yang disebut Impact Training Center. Fasilitas ini telah beroperasi sejak April 2007 dan melayani lembaga penegak hukum di seluruh Midwest.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Blackwater mencoba membuka fasilitas pelatihan seluas 824-acre (3,33 km 2 ) tiga mil di utara Potrero, sebuah kota kecil di pedesaan timur San Diego County, California, terletak 45 mil (72 km) timur San Diego, untuk latihan militer dan penegakan hukum. Pembukaan itu menghadapi tentangan keras dari penduduk setempat, penduduk di sekitar San Diego, anggota Kongres setempat Bob Filner, dan organisasi lingkungan dan anti-perang. Oposisi berfokus pada potensi peningkatan kebakaran hutan, kedekatan fasilitas yang diusulkan dengan Hutan Nasional Cleveland , polusi suara, dan penentangan terhadap tindakan Blackwater di Irak.

Sebagai tanggapan, Brian Bonfiglio, manajer proyek untuk Blackwater West, mengatakan: "Tidak akan ada pelatihan bahan peledak dan tidak ada amunisi pelacak. Peluru timah tidak memicu kebakaran." Pada bulan Oktober 2007, ketika kebakaran hutan melanda daerah tersebut , Blackwater melakukan setidaknya tiga pengiriman makanan, air, produk kebersihan pribadi dan bahan bakar generator ke 300 penduduk di dekat lokasi pelatihan yang diusulkan, banyak dari mereka telah terjebak selama berhari-hari tanpa pasokan. Mereka juga mendirikan "kota tenda " untuk para pengungsi. Pada tanggal 7 Maret 2008, Blackwater menarik permohonannya untuk mendirikan fasilitas di San Diego County.

Blackwater Worldwide (2007–2009)
Mengenal Blackwater, Perusahaan Militer Swasta
Pada bulan Oktober 2007, Blackwater USA memulai proses perubahan namanya menjadi Blackwater Worldwide dan meluncurkan logo baru. Perubahan tersebut mengurangi penekanan pada tema reticle, sehingga sedikit menyederhanakannya.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Pada 21 Juli 2008, Blackwater Worldwide menyatakan bahwa mereka akan mengalihkan sumber daya dari kontrak keamanan karena risiko yang luas di sektor itu. Pendiri dan CEO perusahaan tersebut, Erik Prince, mengatakan, "Pengalaman yang kami alami tentu akan menjadi penghambat bagi perusahaan lain mana pun yang ingin masuk dan mempertaruhkan seluruh bisnis mereka."

Xe Services LLC (2009–2010)
Mengenal Blackwater, Perusahaan Militer Swasta
Pada Februari 2009, Blackwater mengumumkan bahwa namanya akan diubah sekali lagi, kali ini menjadi "Xe Services LLC", sebagai bagian dari rencana restrukturisasi seluruh perusahaan. Selanjutnya, ia mereorganisasi unit bisnisnya, menambahkan program tata kelola dan etika perusahaan, dan membentuk komite independen yang terdiri dari para ahli dari luar untuk mengawasi struktur kepatuhan.

Prince mengumumkan pengunduran dirinya sebagai CEO pada 2 Maret 2009. Dia tetap sebagai ketua dewan tetapi tidak lagi terlibat dalam operasi sehari-hari. Joseph Yorio ditunjuk sebagai presiden dan CEO baru, menggantikan Gary Jackson sebagai presiden dan Prince sebagai CEO. Danielle Esposito diangkat sebagai chief operating officer dan wakil presiden eksekutif yang baru.

Pada tahun 2009, Prince mengumumkan bahwa dia akan melepaskan keterlibatannya dalam bisnis sehari-hari perusahaan pada bulan Desember, bersama dengan beberapa hak kepemilikanny

Academi (2010–2014)
Mengenal Blackwater, Perusahaan Militer Swasta
Pada tahun 2010, sekelompok investor swasta membeli fasilitas pelatihan Xe di North Carolina dan membangun "Academi", sebuah perusahaan baru, di sekitarnya. Dewan Direksi "Academi" termasuk mantan Jaksa Agung John Ashcroft , mantan Penasihat Gedung Putih dan Wakil Kepala Staf Kepresidenan Jack Quinn , pensiunan Laksamana dan mantan Direktur NSA Bobby Ray Inman, dan pengusaha Texas Red McCombs , yang menjabat sebagai Ketua Dewan. Quinn dan Ashcroft adalah direktur independen, tanpa afiliasi lain dengan Academi.

Pada Mei 2011, Academi menunjuk Ted Wright sebagai CEO. Wright mempekerjakan Suzanne Rich Folsom sebagai kepala peraturan dan kepatuhan dan wakil penasihat umum Akademi. Tim Regulasi dan Kepatuhan Akademik memenangkan Penghargaan Kantor Kepatuhan Korporat Tahun 2012 dari Jurnal Hukum Nasional.

Pada tahun 2012, pensiunan Brigadir Jenderal Craig Nixon diangkat sebagai CEO baru Akademi.

Constellis Holdings (2014–sekarang)
Mengenal Blackwater, Perusahaan Militer Swasta
Penggabungan antara Triple Canopy dan Academi, bersama dengan perusahaan lain yang merupakan bagian dari paket Grup Constellis, sekarang semuanya berkumpul di bawah payung Constellis Holdings, Inc. Transaksi ini menyatukan berbagai perusahaan keamanan termasuk Triple Canopy, Constellis Ltd, Strategic Social, Tidewater Global Services, National Strategic Protective Services, ACADEMI Training Center, dan International Development Solutions.

Pada tahun 2015 enam tentara bayaran Kolombia dilaporkan oleh media lokal dipekerjakan oleh Akademisi tewas di Yaman. Tentara bayaran itu dipimpin oleh seorang komandan Australia yang diyakini telah disewa oleh Uni Emirat Arab untuk memerangi pemberontakan Houthi.

Pada tahun 2016, Ali al-Houthi, mantan Presiden Komite Revolusi, sebuah badan yang dibentuk oleh militan Houthi, melaporkan bahwa rudal Tochka menghantam pusat komando yang dipimpin Saudi di Ma'rib yang mengakibatkan kematian lebih dari 120 tentara bayaran, termasuk 55 orang Saudi(9 perwira), 11 UEA dan 11 komandan asing Blackwater pada 17 Januari serta kerugian materi lainnya.

Juga pada tahun 2016, dua ratus tentara bayaran Sudan dari Blackwater dan komandan mereka Kolonel AS Nicolas Petras tewas di Yaman dalam serangan oleh pasukan Yaman pada 31 Januari dengan rudal Tochka yang berdampak pada berkumpulnya pasukan Saudi di pangkalan militer al-Anad di provinsi Lahij menurut sumber Houthi dan Iran.

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Blac...ater_(company)