Sabtu, 30 September 2023

Peristiwa G30S 1965, penumpasan PKI, dan hari-hari sesudahnya

Peristiwa Gerakan 30 September dan langkah pembalasannya meninggalkan luka begitu mendalam hingga hari ini.

Tanggal 30 September malam, sejumlah prajurit Tjakrabirawa pimpinan Letkol Untung bergerak menculik enam jenderal dan seorang kapten: Komandan TNI AD, Jenderal Ahmad Yani, Letnan Jenderal Suprapto, Letnan Jenderal MT Haryono, Letnan Jenderal S Parman, Mayor Jenderal DI Pandjaitan, Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, dan Kapten Pierre Tendean.

Jenazah mereka kemudian ditemukan di sebuah sumur di Lubang Buaya, Jakarta.

Panglima TNI Jenderal AH Nastion lolos, namun putrinya Ade Irma Suryani tewas, sementara ajudannya, Kapten Pierre Tendean, jadi korban, diculik bersama enam jenderal.

Panglima Kostrad, Mayjen Soeharto bergerak cepat, memadamkan pemberontakan. Perburuan pada para pelaku G30S dilakukan cepat. PKI dinyatakan berada di balik gerakan pengambil alihan kekuasaan dengan kekerasan. Para tokohnya diburu dan ditangkap.

Sebagian tokoh PKI diadili di mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), sebagian dijatuhi hukuman mati. Ketua PKI, DN Aidit yang dituding merancang gerakan ini bersama ketua Biro Chusus PKI, Sam Kamaruzzaman melarikan diri ke Jawa Tengah, namun kemudian bisa ditangkap, dan dibunuh.

Terjadi penangkapan besar-besaran terhadap para anggota atau siapa pun yang dianggap simpatisan atau terkait PKI, atau organisasi-organisasi yang diidentikan komunis, seperti Lekra, CGMI, Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia (BTI), Gerakan wanita Indonesia (Gerwani), dll.

Sebagian terbunuh. Sejumlah laporan menyebut, jumlah yang dibunuh begitu saja setidaknya mencapai 500.000 orang di berbagai daerah, khususnya di Pulau Jawa dan Bali.

Berbagai kelompok turun ke jalan, menuntut pembubaran PKI. Sebagian juga menghancurkan markas PKI di berbagai daerah, dan menyerang lembaga-lembaga, toko, kantor, juga universitas yang dituding terkait PKI.

Puluhan ribu orang dibuang ke Pulau Buru, dipekerjakan, tanpa pengadilan.

Dan akhirnya, G30S menandai naiknya Mayjen Soeharto dan jatuhnya Presiden Soekarno.

Pemerintah Orde Baru kemudian menetapkan 30 September sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September G30S dan tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

Begitu banyak versi, begitu banyak tafsir, begitu wacana. Juga begitu banyak korban, kebencian, dan saling tuding. Sampai sekarang berbagai upaya dan niat untuk menuntaskannya, tutup buku dari bab gelap sejarah Indonesia itu, tak kunjung berhasil.

Sebagian kalangan menganggap Soeharto memanfaatkan G30S untuk merebut kekuasaan, dan sesudahnya melakukan pembasmian terhadap para simpatisan komunis dan kalangan kiri.

G30S, PKI, komunisme, pembunuhan ratusan ribu orang itu kian lama justru kian jadi abstrak: topik yang muncul setiap waktu, khususnya bulan September, dan kini juga setiap ada pembicaraan tentang politik, pemilihan kepala daerah, juga pemilihan presiden.

Teori Evolusi: Manusia BUKAN Keturunan Monyet


Entah ada berapa juta manusia yang menganut salah paham ini. Mereka menganggap Teori Evolusi mengatakan bahwa manusia itu keturunan monyet. Padahal tidak ada pernyataan dalam teori evolusi yang mengatakan begitu? 

Lalu dari mana sumber anggapan itu? Mungkin dari gambar ilustrasi seperti ini. Gambar-gambar di bagian atas bagi orang awam adalah gambar monyet. Hanya dengan melihat gambar itu mereka menyimpulkan bahwa manusia itu keturunan monyet. 

Jadi, kita ini keturunan apa? Kita ini homo sapiens. Saya keturunan bapak saya, kakek saya, moyang saya. Mereka semua homo sapiens. Kita semua keturunan manusia. Homo sapiens adalah salah satu spesies dalam genus homo. Homo itu adalah manusia. Manusia tidak hanya terdiri dari satu spesies.

Spesies sebelum homo sapiens adalah homo neantherlansis. Ini pun manusia. Kalau kita urut terus ke masa yang lebih awal, ada homo habilis. Itu pun manusia. Homo habilis mulai ini hidup sekitar 2,5 juta tahun sebelum homo sapiens.

Jadi kalau kita lacak sampai 2,5 juta tahun yang lalu, nenek moyang kita adalah manusia. Sekali lagi, manusia.

Sebelum itu bagaimana? Makhluk yang ada sebelum itu adalah paranthropus robustus. Apakah ini monyet? Bukan. Apa dong? Ya paranthropus. Makhluk apa itu? Itu makhluk yang hidup di zaman purba. Bukan monyet? Bukan. Tapi apa? Ya paranthropus.

Monyet, orang utan, gorila, adalah nama awam yang diberikan manusia awam kepada sejumlah spesies makhluk hidup. Faktanya, ada entah berapa juta spesies makhluk hidup, yang tidak semuanya dikenal oleh orang awam. Karena tidak dikenal, tidak tersedia nama awam untuk makhluk-makhluk itu. Apalagi makhluk yang hidup jutaan tahun yang lalu. Yang tahu hanya ilmuwan. Tidak ada nama awamnya. Jadi kalau Anda bertanya, apa itu paranthropus, berharap ada nama awamnya, tidak ada.

Tapi kan, itu monyet? Bukan. Anda bisa saja menganggapnya monyet karena bentuknya seperti itu, tapi itu bukan monyet. Monyet menurut sains adalah makhluk yang berbeda daru paranthropus.

Jadi, yang terjadi adalah sesuatu yang tidak dirumuskan oleh sains, dibuat seolah dirumuskan oleh sains. Kemudian rumusan itu diejek. Orang-orang itu sebenarnya sedang mengejek kebodohannya sendiri.

Apa sebetulnya sumber keberatan orang soal evolusi ini? Mereka menganggap manusia itu bukan hewan. Itu soal dasarnya. Padahal bagi sains, manusia itu masuk dalam kerajaan hewan (animalia). Hanya ada 5 kerajaan makhluk hidup. Animalia adalah salah satunya. 

Jadi manusia itu adalah hewan. Keberatan? Ya silakan. Saran saya, buatlah klasifikasi sendiri. Bikinlah sains sendiri. Sama juga, kalau keberatan dengan Teori Evolusi, buatlah teori sendiri. Lha, bikin teori tidak bisa, tapi ribut mempersoalkan teori orang.


G-30-S AMERIKA

.
Pemerintah Amerika Serikat (AS) menganggap Sukarno adalah tokoh menjengkelkan yang harus disingkirkan dari panggung dunia. Presiden pertama Indonesia itu diaggap terlalu lunak terhadap komunisme dan terlihat dekat dengan Moscow serta Beijing. Hal itu yang membuat Pemerintah Eisenhower (1952-1960) ingin memecah Indonesia menjadi negara-negara kecil dan mengisolasi Jawa yang dianggap telah dikuasai PKI karena memenangkan Pemilu Daerah 1957 dengan perolehan suara 27%. 
.
Ketika pemberontakan di Sumatera dan Sulawesi memanas, AS merasa mendapat kendaraan sempurna untuk mengisolasi Jawa. AS memberikan dukungan kepada para pemberotak dengan mengirim uang, persenjataan, dan serangan udara. Pada Oktober 1957 CIA mengirim uang sebesar $50.000 dan persenjataan kepada Kolonel Simbolon sebagai pemimpin Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Utara. Pada Maret 1957, AS mendukung pemberontakan di Sulawesi yang menamakan diri Perjuangan Semesta Alam (Permesta) pimpinan Letnan Kolonel Sumual dengan mengirim delapan pesawat tempur untuk memborbadir kapal perang dan pangkalan udara Indonesia di kawasan Timur. 
.
Allen Dulles, kepala CIA dalam sidang National Security Council (NSC) AS pada Maret 1957 mengatakan dengan optimis “proses disintegrasi Indonesia terus belanjut sampai pada tahap tinggal Jawa saja yang masih di bawah kekuasaan pemerintah pusat (Jakarta).” Namun AS salah, tak membutuhkan waktu lama tentara Indonesia mampu menggulung pemberontakan di Sumatera dan Sulawesi. Skenario AS mengisolasi Jawa berantakan, CIA segera menyadari kesalahannya, ternyata para tentara yang dikerahkan untuk melawan pemberontakan di dua pulau tersebut adalah para perwira antikomunis. Sejak saat itu pemerintah AS melalui CIA dan kedutaan AS di Jakarta mulai membuat kontak dan membangun kerja sama dengan para perwira antikomunis di Angkatan Darat (AD) untuk melibas PKI.
.
Demi melancarkan usahanya, sejak 1958 sampai 1965 AS telah mengeluarkan $10-20 juta bantuan kepada AD. Program pendidikan perwira telah meluluskan 2.800 perwira AD sejak 1950 sampai 1965, khususnya dari pusat pendidikan militer AS di Fort Bragg dan Fort Leavenworth. Pemerintah AS juga mengembangkan program civic action, suatu program keahlian sipil (pendidikan, pertanian, transportasi, kesehatan, sanitasi, dll) untuk para prajurit AD agar mereka siap jika sewaktu-waktu berhasil merebut kekuasaan. Kolonel Goerge Benson, atase militer Kedutaan AS di Jakarta menjadi orang kepercayaan Jenderal Yani dalam program civic action di AD. Pada Desember 1961, NSC menyetujuai pengeluaran biaya civic action dan menyebutnya sebagai “pelatihan rahasia bagi personel militer dan sipil terpilih yang akan ditempatkan pada kedudukan-kedudukan kunci.”
.
Pada Januari 1965, Jenderal Yani mulai bertemu dengan Jenderal Suprapto, Jenderal Haryono, Jenderal Parman, dan Jenderal Sukendro, mereka dikenal sebagai kelompok “brain trust” (kekompok pemikir). Kelompok ini yang oleh D.N Aidit, Ketua Commite Central PKI disebut sebagai Dewan Jenderal. 
.
Dokumen rahasia AS/NSC yang telah diterbitkan menyebut para jenderal itu bertemu secara rutin dan rahasia. Howard Jones, Duta Besar AS yang mendapat informasi dari salah seorang informannya di AD segera mengirim kawat ke Washington “AD sedang menyusun rencana untuk mengambil alih pemerintah pada saat Sukarno turun panggung.” 
.
Pada Maret 1965, Howard Jones dalam rapat tertutup dengan para pejabat Departemen Luar Negeri AS di Filipina mengatakan “dari sudut pandang kita, percobaan kup yang gagal oleh PKI kiranya menjadi perkembangan efektif untuk mengubah kecenderungan politik di Indonesia.” Jones menganggap kudeta yang gagal dari PKI merupakan dalih efektif untuk mengubah kiblat politik Indonesia. 
.
Gagasan menjebak PKI dalam skenario kudeta gagal sebenarnya telah tersebar di kalangan korp diplomatik negara-negara sahabat AS sebelum Jones berbicara di Filipina. Edward Peck, Wakil Menteri Luar Negeri Inggris menyarankan “barang kali banyak yang harus dibicarakan untuk mendorong PKI melakukan kup prematur selagi Sukarno masih hidup.” Menjawab Peck, Komisaris Tinggi Selandia Baru di London pada Desember 1964 mengatakan “boleh jadi merupakan cara penyelesaian yang paling berguna bagi Barat, asal kup itu gagal.” Duta Besar Paksitan di Eropa, setelah mendapat infomasi dari perwira intelijen Belanda yang bertugas di NATO, melaporkan kepada atasannya di Islamabad bahwa kup komunis premature yang sengaja dirancang untuk gagal akan memberikan kesempatan yang sah dan memuaskan bagi AD untuk menghancurkan komunis dan membuat Sukarno sebagai tawanan.”
.
Januari 1965 CIA meramalkan bahwa perjuangan untuk menggantikan Sukarno akan dimenangkan oleh AD dan elemen-elemen nonkomunis. Maret 1965 Komisi NSC/AS menyetujui proposal untuk operasi-operasi rahasia. Proposal itu juga menyebutkan bahwa sejumlah dana disalurkan kepada para tokoh-tokoh nasionalis melalui saluran-saluran aman agar merintangi jalan PKI. Dukungan besar itu membuat AS meminta imbalan AS dalam bentuk jaminan kepada sekutunya di Indonesia. Pada Juli 1965 Goerge Benson mendapatkan jaminan dari Jenderal Yani, menurut Benson Mengpangad itu mengatakan “Kami memiliki senjata, kami tidak akan membolehkan senjata jatuh ke tangan mereka (komunis). Karenanya jika terjadi bentrok, kami akan membersihkan mereka semua.” Setahun sebelumnya, pada maret 1965 Jenderal Nasution juga telah memberikan kepastian kepada Howard Jones tentang kesiagaan tentara menghadapi tantangan apabila saatnya tiba.    
.
Mendekati Oktober 1965 AS menempuh dua jalan; mengintensifkan operasi intelijen sekaligus melakukan low-posture policy (kebijakan merunduk). Operasi intelijen “menciptakan kondisi” untuk mendorong PKI bertindak gegabah mulai digas; operasi black letter (surat kaleng) dan operasi media untuk menggambarkan PKI sebagai penentang Sukarno yang ambisius dan berbahaya semakin ditingkatkan. Pada saat yang sama kedutaan AS menarik personil dan hanya menyisakan POS CIA yang beranggotakan 12 orang.
.
Setelah pecah G-30-S, AS terus mendorong AD untuk menuntaskan kemenangannya melawan PKI. Pada 5 Oktober Pos CIA di Jakarta menyatakan “AD harus bergerak cepat jika hendak memanfaatkan kesempatan melawan PKI.” Pada tanggal yang sama Duta Besar AS di Jakarta mengirim telegram ke Washington untuk mengusulkan agar AS membantu Jenderal Nasution dan Jenderal Suharto membasmi PKI. 
.
Desember 1965, AS mengirim perangkat komunikasi (mobile radio) yang canggih dari Pangkalan Udara Clark di Filipina ke Markas Kostrad untuk memudahkan komando pengganyangan PKI di daerah. AS juga menggelontorkan jutaan rupiah kepada kelompok sipil; Green, Duta Besar AS yang baru di Jakarta menggantikan Jones memberikan 50 juta rupiah kepada Adam Malik sebagai wakil Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September (KAP-Gestapu). Robert Martens, seorang anggota seksi urusan politik Kedutaan Besar memberikan daftar berisi ribuan nama anggota PKI yang disebutnya sebagai daftar “pemimpin dan kader senior”. 
.
Berapa jumlah korban jiwa akibat propaganda pengganyangan PKI? Tim pencari fakta yang dibentuk Presiden Soekarno, yang dipimpin oleh Menteri Negara Oei Tjoe Tat menyebut 78 ribu orang terbunuh. Laporan Komando Operasi Pemulihan dan Ketertiban (Kopkamtib) bentukan Soeharto menyebut satu juta jiwa melayang. Sarwo Edhie Wibowo, Mantan Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) menyebut tiga juta orang terbunuh (Buku Pengakuan Algojo 1965-Tempo Publishing).
----------------------------------------
Sumber buku “Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September & Kudeta Suharto” karya John Roose. Sebagian besar data tentang keterlibatan AS dalam kemelut G-30-S yang menjadi rujukan Roose berasal dari data-data rahasia Pemerintah AS yang telah dibuka untuk umum. Gambar dari posbagus.com.


Kamis, 28 September 2023

JENDERAL BODOH

.
Sebelum pecah peristiwa G30S (Gerakan 30 September) 1965, dalam tubuh Angkatan Darat (AD) terdapat empat faksi; 1) Kubu Jenderal Nasution; 2) Kubu Jenderal Yani; 3) Kubu Jenderal Suharto; dan 4) Kelompok perwira binaan Biro Khusus PKI. Keempat kelompok itu saling bermusuhan, secara terang-terangan maupun diam-diam.
.
Januari 1965 Letnan Jenderal Yani, saat itu Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) memerintahkan Mayor Jenderal Suprapto, salah seorang deputinya untuk menangkap Jenderal Nasution yang saat itu menjabat Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan Kepala Staf ABRI (Menko Hankam Kasab). Menanggapi rencana itu, seperti dituturkan Brigadir Jenderal Abdul Kadir Besar kepada Salim Said dalam “Gestapu 65: PKI, Aidit, Sukarno, dan Suharto”, kubu Nasution telah menyiapkan senjata untuk melawan secara fisik jika Jenderal Nasution jadi ditangkap atas perintah Jenderal Yani. Bentrok dua kekuatan ini batal terjadi setelah sejumlah jenderal senior ikut melerai.
.
Rencana penangkapan Jenderal Nasution oleh Jenderal Yani itu bukan peristiwa pertama yang menunjukkan permusuhan kedua kubu tersebut. Di penghujung 1964 Jenderal Yani juga pernah menunjukkan permusuhannya dengan cara menarik pasukan AD yang berjaga di rumah Jenderal Nasution. Jenderal Muchlas Rowi dalam “Catatan Perjalanan Hidup, Pemikiran, dan Pemahaman M. Muchlas Rowi” memberikan kesaksian tentang ketidaksukaan Jenderal Yani kepada Jenderal Nasution. Jenderal Yani mengatakan kepada Jenderal Rowi "Asal Kamu tahu saja, bahwa saya tidak respek lagi kepada Jenderal Nasution, karena dia berani menentang perintah Presiden. Saya tidak akan menginjakkan kaki lagi di kantor Menko Hankam.” 
.
Jenderal Yani juga menjadi sasaran kritik dan ketidaksukaan para perwira binaan Biro Khusus PKI, khususnya para perwira yang bertugas di Jawa Tengah. Banyak perwira yang tidak suka dengan gaya hidup Menpangad yang disebut mewah dan jauh dari sederhana di banding mereka yang berada di daerah.
.
Pada 1956 Jenderal Nasution, saat itu sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) berusaha membersihkan AD dari korupsi, Kolonel Suharto menjadi salah satu yang diperiksa oleh Inspektorat Jenderal AD dalam rencana bersih-bersih tersebut. Brigadir Jenderal Sungkono, orang yang memimpin pemeriksaan keuangan Kodam IV/Diponegoro menemukan penyelewengan yang dilakukan Kolonel Suharto selaku panglima Kodam. Menurut Jenderal Pranoto Reksosamudro dalam "Catatan Jenderal Pranoto Reksosamudro", Suharto telah melakukan barter liar gula dengan beras Thailand, dia juga melakukan monopoli cengkih dari asosiasi pabrik rokok di Jawa Tengah, dan penjualan besi tua. 
.
Akibat temuan Inspektorat Jenderal AD, Kolonel Suharto hampir dipecat Jenderal Nasution, karena campur tangan Jenderal Gatot Subroto, saat itu wakil KASAD, Kolonel Suharto tak jadi dipecat dari militer. Suharto akhirnya “dibuang” di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SEKOAD) di Bandung. Peristiwa itu membuat Suharto tak terlalu suka kepada Jenderal Nasution. Menurut Salim Said, Jenderal Nasution menyebut Jenderal Suharto sebagai oportunis sejak zaman revolusi.
.
Pada saat Yani diangkat menjadi KASAD menggantikan Jenderal Nasution, Jenderal Suharto sangat kecewa sebab Yani hanya seorang kolonel sedangkan dirinya sudah Brigadir Jenderal.  Seperti ditulis oleh Daud Sinyal dalam “34 Wartawan Istana Bicara Tentang Pak Harto”, Suharto mengadukan kekecewaanya itu kepada Jenderal Gatot Subroto. Saat itu Jenderal Gatot hanya bisa menghibur dengan mangatakan “Waktumu akan sampai, malah akan mencapai kedudukan yang lebih tinggi.” 
.
Salim Said menulis bahwa Yani atau orang-orang sekitar Menpangad menilai Suharto sebagai “jenderal bodoh.”  Mungkin Suharto tahu bahwa dirinya diolok-olok oleh kubu Jenderal Yani, mengingat jenderal dari Kemusuk itu dikelilingi oleh para prajurit-intelijen cerdas seperti Ali Murtopo, Sudjono Humardani, Yoga Sugama, dan lain-lain. 
.
Tidak seperti ketidaksukaan Jenderal Yani kepada Jenderal Nasution yang ditunjukkan secara terang-terangan. Alih-alih menunjukkan ketidaksukaan kepada orang lain, Jenderal Suharto justru menyembunyikan ketidaksukaannya kepada Jenderal Nasution maupun kepada Jenderal Yani dengan sangat rapi. 
.
Sejarah kemudian mencatat bahwa orang yang hampir dipecat oleh Jenderal Nasution dari dinas ketentaraan dan dijuluki sebagai “jenderal bodoh” oleh kubu Jenderal Yani ternyata mampu memenangkan perebutan kekuasaan pasca G30S. Salim Said benar, bahwa sebelum Gestapu sikap kelompok Suharto terhadap Sukarno dan PKI memang tak mudah dicium. Termasuk sikapnya kepada kubu Jenderal Nasution dan Jenderal Yani yang tak pernah ditunjukkan warnanya. Alfatiha untuk arwah para jenderal dan para korban lainnya. 

.

Oleh :
Makinuddin Samin 
Pemerhati sejarah dan penulis buku


"RADÈN AYU TAN PENG NIO" 'Mulan' dari Tanah Jawa’


Awal September 2020, Studio Disney merilis film ”Mulan”. 

Di Jawa, pada 1740 ada kisah serupa. Seorang gadis Tionghoa ikut berperang melawan VOC atau kompeni Belanda dalam Perang Geger Pacinan.

Mulan yang diperankan artis Yifei Liu.

Film Mulan, bercerita tentang pahlawan perempuan dalam sejarah China abad ke-4 hingga ke-6 Masehi yang menyamar menjadi lelaki untuk menjalani dinas militer dan berperang.

Di Pulau Jawa, pada 1740 ada kisah serupa. 

Seorang gadis Tionghoa yang kelak menikah dengan bangsawan Jawa ikut berperang melawan VOC atau kompeni Belanda dalam Perang Geger Pacinan.

Perempuan tersebut adalah Raden Ayu (RA) Tan Peng Nio, istri dari KRT Kolopaking III. 

Novelis Seno Gumira Aji Darma menyebut Tan Peng Nio sebagai ”Mulan van Java”.

Tan Peng Nio disebut-sebut sebagai kerabat Kapitan Sepanjang, Panglima Pasukan Tionghoa yang bertugas di bawah Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning dalam perang gerilya melawan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur semasa itu.

Keberadaan Tan Peng Nio sebagai petempur perempuan memberi warna dalam historiografi Nusantara dan Jawa tentang hubungan antara masyarakat Jawa dan Tionghoa sebagai teman seperjuangan.

Sejarawan dari Pura Mangkunegara, KRMH Daradjadi Gondodiprodjo, yang menulis buku Geger Pacinan 1740 - 1743 

Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC menjelaskan, Tan Peng Nio menjadi bagian dari pasukan Kapitan Sepanjang dan bertempur di garis depan dalam perang gerilya masa itu.

Para prajurit Tionghoa yang bergerak bersama para prajurit Mataram (Jawa) sama-sama mengenakan busana hitam-hitam dan bergerak lincah dari satu mandala pertempuran ke wilayah lainnya membuat pihak kompeni Belanda berikut pasukan-pasukan bantuan yang didatangkan, terutama dari Sumenep, Madura, kewalahan.

Kisah tentang prajurit perempuan dan kepiawaian mereka dalam berperang diabadikan dalam beragam tari Bedhaya di Surakarta dan Yogyakarta.

Sebagai contoh tarian Retno Tinandhing, diilhami olah gerak prajurit perempuan Jawa, masih ditampilkan di Keraton Surakarta.

Sejarawan Ann Kumar dalam buku Prajurit Perempuan Jawa mengutip keterangan utusan VOC dari Batavia, Rijklof van Goens pada pertengahan abad ke-17 di Keraton Mataram di Kartasura telah menyaksikan kepiawaian ”Prajurit Estri”, yakni 150 serdadu perempuan dalam menggunakan senjata, menyanyi, menari, dan memainkan alat musik.

Selang kemudian pada abad ke-18, semasa berjuang dalam Perang Geger Pacinan, Tan Peng Nio berkenalan dengan KRT Kolopaking III alias Sulaiman Kertowongso. 

Keluarga Kolopaking adalah keluarga bangsawan yang berkuasa di wilayah Banyumas, dekat perbatasan Jawa Barat.

Sejarawan Universitas Oxford, Peter Carey, yang mempelajari sejarah Pangeran Diponegoro sejak 1971, mengatakan, keturunan keluarga Kolopaking pasca-Perang Geger Pacinan pada masa Perang Diponegoro 1825-1830 ikut bertempur bersama Diponeogoro. 

Keberadaan prajurit perempuan di Jawa, menurut Peter Carey, juga dikenal dengan kemampuan mereka berkuda dan menggunakan senjata.

Setelah Perang Geger Pacinan berakhir, diketahui Tan Peng Nio yang dinikahi KRT Kolopaking III diberi gelar Raden Ayu sebagai bagian dari keluarga bangsawan Jawa yang menetap di Kutowinangun, Kebumen. 

Di batu nisan RA Tan Peng Nio disebut anak dari pernikahan dengan KRT Kolopaking III adalah:
KRT Endang Kertawangsa, 
RA Mulat Ningrum, 
dan menantu RA Jati Arum, 
R Tjondro Dahono, 
R Kertalaksana. 

Para cucu: 
R Kertawangsa Gandawijaya, 
R Kertawangsa Tjandrawijaya, 
RA Eguningrum, 
R Bintara Ajiwijaya, dan 
R Harjo Jadmiko.

KRT Kolopaking III memiliki wilayah kekuasan di daerah Panjer, Kebumen.

Makam RA Tan Peng Nio di Desa Jatimulyo, Kecamatan Alian, Kabupaten Kebumen, dibangun dengan gaya makam Tionghoa. 
Makam tersebut terletak di tengah persawahan dan masih diziarahi hingga kini.

Raden Ayu Tan Peng Nio adalah istri kedua dari K.R.A.T. Kolopaking III (Sulaiman Kertowongso). 

Keempat istri Kolopaking III adalah: 

1. Raden Ayu Sekar Mayang Sari (putri Kyai R.
Ngabei Reksoprojo II), 

2. Raden Ayu Tan Peeng Nio (putri dari Champa,
anak dari Jenderal Tan Wan Swee), 

3. Raden Ayu Ambini (putri K.R.T. Arung Binan II), 

4. Raden Ajeng Sekar Lasih (putri K.R.A. Aryo
Danurejo II) 

®️ Ringkasan. 

Tan Peng Nio adalah anak dari Jenderal Tan Wan Swee yang berselisih pendapat dan melakukan pemberontakkan yang gagal terhadap Kaisar Kien Long dari Dinasti Qing, Manchuria . 

Jenderal Tan Wan Swee lalu menitipkan putrinya yang bernama Tan Peng Nio kepada sahabatnya, Lia Beeng Goe, seorang ahli pembuat peti mati dan ahli bela diri. 

Saat kudeta gagal, Tan Peng Nio menjalani pelarian bersama Lia Beeng Goe ke Singapura kemudian ke Sunda Kalapa (Jakarta).

Pada saat terjadi huru-hara yang terkenal dengan Geger Pecinan (pada tahun 1740) dimana terjadi pembantaian etnis Tionghoa oleh VOC, diceritakan bahwa Lia Beeng Goe dan Tang Peng Nio mengungsi ke arah Timur hingga tiba di Kutowinangun dan bertemu dengan Kiai Honggoyudho yang mahir membuat senjata. 

Ketika terjadi peperangan dan penyerbuan selama 16 tahun oleh Pangeran Garendi, yaitu dari tahun 1741 - 1757, maka Tan Peng Nio dikabarkan bergabung dalam 200 pasukan K.R.A.T. Kolopaking II yang dikirimkan untuk membantu pasukan Pangeran Garendi. 

Tan Peng Nio dikabarkan menyamar menjadi prajurit laki-laki. 
Paska peperangan berakhir di meja perundingan Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755.

Putra K.R.A.T. Kolopaking II, yaitu Raden Sulaiman Kertowongso, yang pernah tergabung dalam 200 pasukan Panjer Rinå yang dikirim dan bergabung dengan Pangeran Garendi, pada akhirnya menikahi Tang Peng Nio dan kemudian menggantikan ayahnya menjadi K.R.A.T. Kolopaking III. 

Source: 
R. Tirto Wenang Kolopaking dalam catatan Sejarah Silsilah Wiraseba Banyumas, Kiai Geng Mangir – Kolopaking – Arung Binang, Trah Kolopaking, 2005:256).

Makamnya ada ditengah sawah di Jatimulyo Kebumen.

https://headtopics.com/id/raden-ayu-tan-peng-nio-mulan-dari-tanah-jawa-bebas-akses-15482829


Rabu, 27 September 2023

BANGSA INI MEMANG SUSAH DIAJAK MAJU





 Konon ciri pokok bangsa ini, hanya dua yang abadi: latah dan amuk. Latah bisa diperpanjang maknanya sebagai suka tiru2, bukan inovator. Orang Jawa menyebutnya dengan istilah paling jelek, inferior dan kampungan sebagai "ngumumi". Supaya tidak dianggap "ora umum". Ngumumi itu diterjemahkan tidak beda dengan yang lainnya, jadi ora umum adalah istilah untuk menyebut mereka yang tidak bisa sama dengan yang lainnya. 

Berbeda itu hina di mata masyarakat agraris kita. Tapi itu ukuran zaman dulu. Namun, nyatanya ketika kita meloncat nyaris tanpa melewati periodisasi industri, ujug2 sampai di era sosial media. Kita tetap sama: hanya sebagai bangsa yang latah. Dengan hoax dan desas-desus sebagai alat pelestarinya.  Konon, di lingkungan bangsa dengan peradaban rendah latah adalah cara manusia bertahan hidup. Apa boleh buat....

Satu sifat generik lainnya, tentu saja amuk! Parameternya aneh, semakin tinggi tingkat konsumsi daging suatu etnis, maka karakter suka ngamuknya makin tinggi. Tapi lagi2 itu dulu! Sekarang rerata tingkat konsumsi daging tanpa memandang asal-usul etnis makin tinggi. Sehingga karena itulah suka ngamuk-nya justru makin keterlaluan. Jadi jangan aneh, kalau sengketa, konflik, pertikaian itu makin mudah terjadi. Justru jangan2 karena memang karena kesejahteraan hidup kita makin meningkat. 

Simalakama di negara dimana para pemimpinnya adalah bandit dan rakyatnya adalah penjarah. Begitulah karakter etnis Melayu! Melayu dalam arti seluas-luasnya yang tidak terbatas kasus Indonesia, namun barangkali juga menyangkut ras Austronesia....

Beberapa saat lalu, saya sempat meriset perbandingan demokrasi di Malaysia dan Indonesia. Seburuk2nya Indonesia, ternyata jauh lebih egaliter dibanding Malaysia. Dimana puak Melayu selalu menuntut "diistimewakan" dibanding etnis2 yang lainnya. Tidak sekedar secara pergaulan sosial yang normatif, namun tertera secara tertulis melalui Undang-Undang.  Bagi saya, kalau mau belajar rasisme gak usah jauh2, negara tetangga kita yang serumpun itu jagonya. 



Dalam konteks inilah, kita gagal untuk memahami apa yang disebut Omnimbus Law yang didemo sedemikian rupa hingga terjadi amuk massa dimana2. Padahal ada seribu satu cara melakukan protes secara beradab dan cerdas. Apa lacur, penyebabnya sederhana ya karena latah. Ikut2an, hanya karena dorongan solidaritas.  Atau kalau dalam kasus hari2 ini jelas karena ada sponsor dan bayarannya...

Pertanyaannya seberapa unik atau kritisnya suasana hari ini? 

Jangankan sebuah karya konstitusional sebesar Omnimbus Law, yang memiliki ukuran yang luar biasa mencengangkan itu. Menggabungkan 79 UU yang s harus ditinjau untuk dirangkum hanya dalam satu UU Cipta Kerja. Yang terdiri dari 11 kluster dan 1.244 pasal. Secara teknis, UU Cipta Kerja ini akan menyelesaikan saling tabrakannya begitu banyak UU. Dengan harapan berakhirnya era hukum tidak sinkron dalam banyak perundangan di negeri ini. 

Artinya sedemikian banyak celah yang memang patut dikritisi dari UU tersebut. Tapi setidaknya sejarah telah dibuat di negeri ini. Ada sebuah terobosan untuk membuat sengkarut hukum terkoreksi. Catat terkoreksi, bukan menjadi sempurna! Tapi sedikit lebih baik.

Namun rupanya, orang menganggap dirinya tidak hebat kalau tidak bersuara dan bersikap kritis. Sebuah latah dalam bentuk yang lain. Dan itu bisa terlihat di banyak tulisan di media yang sungguh sejujurnya saya tidak suka. Apa yang disebut sebagai WhatsApp Group (WAG). Media untuk para pelatah yang sangat sempurna. Tidak punya gagasan, hanya punya kebisaan membagikan dan berkomentar....


Hal lain, ukuran bahwa dana yang beredar dalam demo kali ini cukup besar sehingga ngamuknya makin profesional dan daya rusaknya serius. Itu sangat sederhana. Ukurannya adalah kota saya sendiri. Bila di Jogja sampai ada gedung yang dibakar, ada lampu lalu lintas yang dirusak, banyak fasilitas umum yang dirisak. Pasti bayarannya cucuk. Kalau kota lain saya tak peduli, Jakarta apalagi. Kerusakan adalah proyek perbaikan. 

Di Jogja yang miskin ini, orang bisa ngamuk serius itu kalau dibayar.  Harus ada bayarannya. Sebab kalau ngamuk jadi2an itu biasanya hanya para aktivis teater yang memang suka performing art. Tanpa bayaran pun, orang akan senang hati menari dan bernyanyi di jalanan!

Sekali lagi, demo2 ini tidak akan lama. Di Eropa (karena saya tidak suka Amerika saya tak ingin menjadikan referensi), demo itu pada titik paling rendah dipahami sebagai cara orang bersuara. Apa pun suaranya! Demo itu sejenis olaharga dalam bentuk lain. Orang jalan2 berbarengan, teriak2 sesukanya, sedikit berkelahi dengan polisi, melempar sesuatu sana sini. Itu biasa sekali....

Tapi membakar fasilitas umum adalah bentuk kriminal murni. Demo tidak sama dengan berbuat rusuh.  Para pengecut yang selamanya akan menjadi pengecut. Bekal buruk yang akan terus dia bawa sepanjang sisa hidupnya. Saya untuk ke sekian kalinya, bersyukur tidak meng-kuliah-kan anak2 saya di negeri ini. Karena sama sekali bukan bekal masa depan yang baik. Sayang....

Dan bagian paling aneh dari demo hari ini adalah pendonornya. Sponsornya. Bohirnya. Keduanya partai paria. Yang satu partai agama calon pengkapling surga. Satunya partai nasionalis-religius yang hidup segan, namun keluarganya masih mampu bayar itu. Sebuah kombinasi yang hanya punya satu predikat sama: brengsek! Brengsek di masa lalu, brengsek di hari ini, brengsek di masa depan...

Kedua2 mereka memang tak pernah akan bisa membawa kemajuan bagi negeri ini. Kecuali kemajuan bagi keluarganya sendiri dan kroni2nya. Partai2 yang hanya bermodal latah, dan membayar orang untuk terus mengamuk...

Merusaklah maka kau kubayar!
.
.
.
#negarasukarmaju
#demokampungan


GENOSIDA POLITIK 1965 - 1966 KUDETA DAN PENJARAHAN KEKAYAAN ALAM DAN PENJAJAHAN BARU.


Tanpa mempersoalkan masalah siapa pihak yang benar ataupun salah dalam peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965 malam, kenyataan yang terjadi pasca peristiwa tersebut  terjadi Genosida Politik di Indonesia.

Pengertian Genosida adalah penghapusan dan pemusnahan secara paksa suatu faham atau ideologi atau masyarakat atau keyakinan sampai ke akar-akarnya dan menganti dengan yang baru, Hal itu diikuti dengan pembunuhan masal, penghilangan hak sipil dan politik, hak kewarganegaran bahkan hak hidup individu yang menjadi korban Genosida 

Ada 3 tahap Genosida yang dilakukan Orde Baru pasca peristiwa G 30 S PKI ( biasanya disebut juga Gestok atau Gestapu).

Tahap  pertama adalah berupa Pembunuhan Massal dengan alasan peristiwa G 30 S PKI , Tahap ini melakukan politik identitas dan menuduh siapa saja yang pro PKI dan Soekarno bahkan pihak yang menyatakan netralpun harus dihabisi , yang tersisa semua harus Pro Soeharto atau Orde Baru dan memframing bahwa Soeharto satu-satunya Pahlawan yang menyelamatkan Negara dari kegentingan. 

Pembantaian ini sempat diakui pihak amnesty Internasional sebagai pembantaian Genosida terbesar sepanjang  masa setelah pembantaian Holocaust oleh Nazi yang dilakukan oleh Hitler. Ironisnya pembantaian ini dilakukan oleh sesama bangsa. 

Tahap kedua  yaitu penyingkiran Presiden Soekarno dan pembasmian semangat nasionalis kerakyatan dan menghapuskan segala kebijakan Soekarno terutama menghapuskan kebijakan yang berpotensi mengganggu pemerintahan yang baru semua pendukung Soekarno harus segera dihilangkan atau dibungkam termasuk kebijakan luar negri dan dalam negri.

Genosida ini dianggap sebagai  kemenangan Amerika Serikat dan blok Barat pada era Perang dingin dimana politik Imperialisme melibas habis ekonomi kerakyatan yang selalu dikumandangkan Soekarno yang merupakan kekuatan anti imperialisme yang disegani  diseluruh dunia dan dianggap golongan kiri serta dituduh pro komunis.

Padahal Indonesia bukan Negara komunis, baru saja pada Tahun 1963 Indonesia merebut Irian Barat (Papua) yang dibantu melalui diplomasi dan dukungan militer oleh Amerika Serikat hanya setelah meninggalnya John F Kennedy hubungan kedua negara sempat memanas ketika Bung Karno menolak menjadi Negara pro Barat  memilih peran sebagai Negara Non Blok yang menjalin hubungan erat dengan Blok Timur yang dikuasai Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok.

Genosida meliputi pembantaian semua pengikut PKI dan Soekarno bahkan menghabisi semua gagasan pro Nasionalis yang Pernah digagas oleh Bung Karno termasuk Doktrin kebangsaan dan Nasionalisme yang menjadi Platform kebangsaan sejak kemerdekaan banyak pejuang kemerdekaan, Pejabat Tinggi Negara, para cendikiawan dan mahasiswa yang mendapatkan beasiswa didalam dan luar negri , guru -guru yang mengikuti program percepatan pendidikan nasional yang terlibat dalam PGRI Vak Central yang langsung diawasi Bung Karno hingga budayawan dan sejarawan walaupun mereka sudah banyak mengabdikan diri  untuk bangsa ini.

Tahap ketiga adalah  Eksploitasi massal atas sumber-sumber daya alam Indonesia oleh perusahaan-perusahaan asing  sejak 1967 hingga saat ini.

Dalam pelaksanaan setiap tahapan berlangsung sangat mulus walaupun terjadi kekejaman yang sangat luar biasa , dari mulai pembantaian para jendral yang dianggap orang dekat Soekarno , perubahan sistim ekonomi dan politik hingga orang - orang yang tampil dalam pucuk pimpinan pemerintahan hingga masyarakat paling bawah, tingkat RT dan desa seluruhnya harus bebas dari faham PKI dan Soekarno, fitnah dan hoax menyebar dimana-mana dan sulit dikonfirmasi karena satu-satunya informasi  hanya dari RRI dan TVRI yang dikuasai Angkatan Darat dan semua media cetak dibawah kontrol Angkatan Darat yang dipimpin Jendral Soeharto. 

Timbul pertanyaan , jangan-jangan sebelum tahun 1965 itu sebenarnya sudah ada pihak-pihak tertentu di luar Indonesia yang mengincar sumber-sumber alam Indonesia?

Oleh karena itu menurut mereka, dengan maksud menguasasi sumber-sumber alam Indonesia khususnya emas, minyak dan dan kekayaan lainnya  Presiden Soekarno dan semangat nasionalis kerakyatan di Indonesia harus dibasmi sampai ke akar-akarnya  Selanjutnya supaya hal itu bisa terjadi, para pendukung presiden Soekarno dan setiap potensi anti-modal asing harus dihabisi. 

Namun demikian, jika kita melihat Tragedi 1965 sebagai bagian dari rancangan internasional yang tujuan utamanya adalah eksploitasi massal (kalau tak mau dikatakan “penjarahan massal”) atas sumber-sumber daya alam Indonesia yang dimulai sejak tahun 1967 dan berlangsung hingga sekarang, maka bisa dikatakan bahwa korban dari Tragedi 1965 sebenarnya adalah kita semua sebagai bangsa. 

Tanpa bermaksud mengajukan teori konspirasi, kekerasan yang terjadi pada tahun 1965 -1966 bisa dipandang sebagai bagian dari tahap-tahap konseptual . 
Dalam kaitan dengan implementasi tahap-tahap tersebut yang patut disesalkan (dan harus dipertanggungjawabkan secara publik) adalah bahwa pada tahun 1965-1966 itu ada sejumlah warga negara Indonesia yang secara sadar atau tak sadar telah bersedia menjadi sarana bagi terlaksananya tahap eksploitasi massal atas sumber-sumber daya alam Indonesia, yang harganya ditukar dengan jutaan kematian manusia Indonesia.

Dengan demikian, apa yang terjadi di Indonesia menjelang, selama dan setelah tahun 1965 memiliki kaitan yang erat antara faktor dalam negeri dan luar negeri pada masa Perang Dingin tidak hanya terjadi di Indonesia melainkan juga di tempat-tempat lain hingga saat ini.

Menyimak The New Rulers of The World (Teks Indonesia)
John Pigler secara lugas menyatakan “Globalisasi di Asia memiliki sejarah gelap. Pabrik, bank-bank besar dan hotel mewah di Indonesia dibangun berkat pembunuhan masal 1 juta manusia”.

Di bagian film dokumentasi satu konferensi di Swis tahun 1967 yang dihadiri pimpinan perusahaan multinasional terkaya dan perwakilan pemerintah Indonesia yang merencanakan pengambilan alihan – pengkaplingan bisnis/ekonomi di Indonesia sektor demi sektor.

Kesepakatannya adalah bahwa Indonesia di bawah Soeharto akan menawarkan apa yang disebut Richard Nixon sebagai "penimbunan sumber daya alam terkaya, hadiah terbesar di Asia Tenggara ”.  

Pada November 1967 yang terbesar hadiah dibagikan pada konferensi tiga hari yang luar biasa yang disponsori oleh Time-Life Corporation di Jenewa.  Dipimpin oleh David Rockefeller, semua perusahaan raksasa diwakili: perusahaan minyak dan bank besar, General Motors, Imperial Chemical Industries, British American Tobacco, Siemens, US Steel dan banyak lainnya.  

Di seberang meja duduk ekonom Soeharto yang terlatih di AS ( yang lazim disebut sebagai mafia Berkeley, Widjojo Nitisastro cs) yang menyetujui pengambilalihan perusahaan atas negara mereka, sektor demi sektor.  Perusahaan Freeport mendapat gunung emas dan  tembaga di Papua Barat.  Konsorsium AS / Eropa mendapatkan nikel.  Perusahaan raksasa Alcoa mendapatkan bagian terbesar dari bauksit Indonesia.  
Perusahaan Amerika, Jepang dan Prancis mendapatkan hutan tropis Sumatera.  Ketika penjarahan selesai, Presiden Lyndon Johnson mengirimkan ucapan selamatnya atas “kisah luar biasa tentang kesempatan yang terlihat dan janji yang terbangun”.

 Dalam bukunya yang berjudul Model diktator Soeharto  John Pigler mengatakan  :
" Kematian Suharto adalah pengingat dunia barat peran tercela dalam menopang rezim pembunuh."

 Setelah pembantaian anti-komunis, Indonesia menjadi sangat pro-Barat.  Sebelumnya itu adalah pemain aktif dalam gerakan non-Blok.  Modal Barat dan Jepang mengalir ke Indonesia, menggantikan kerjasama ekonomi dengan negara-negara Eropa Timur.

 Penghancuran komunisme di Indonesia menguntungkan negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat dan Jepang.  Jika komunis berkuasa di Indonesia, pasukan AS di Vietnam Selatan akan dikepung oleh negara-negara komunis di Asia Tenggara.

✍🏼 Tito Gatsu


Senin, 25 September 2023

Dr Abdul Moeloek, Pejuang Kemerdekaan di Tanah Lampung

Dr Abdul Moeloek, Pejuang Kemerdekaan di Tanah Lampung

Abdul Moeloek memulai terjun di dunia kedokteran saat berkuliah di STOVIA Jakarta. Lulus dari STOVIA pada 1932 dia tidak langsung ditugaskan ke Lampung, melainkan bekerja di RS Kariadi Semarang.

Mengutip buku 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional, Moeloek mulai bertugas di bagian pesisir Lampung yakni Krui dan Liwa serta Sumatera Selatan pada 1940-1945.

Pada saat itu, Jepang merekrut banyak penduduk lokal untuk dijadikan romusa. Dengan akal cemerlang, Moeloek punya trik agar warganya tidak menjadi romusa, yakni dengan memberikan surat keterangan sakit.

Peran Moeloek dalam perang kemerdekaan Indonesia pun sangat besar. Pria kelahiran Padang Panjang, 10 Maret 1905 ini bertugas menyuplai obat-obatan saat perang kemerdekaan.

Kebaikan hati serta dedikasinya terhadap profesi dokter terlihat saat perang kemerdekaan. Moeloek turun tangan membantu korban perang tanpa pandang bulu suku bangsa.

Pertempuran Indonesia melawan Belanda saat itu memakan banyak korban. Moeloek yang bertugas di Tanjung Karang meminta tenaga medis bertugas membantu siapa saja, baik tentara Indonesia atau Belanda.

Moeloek menghembuskan napas terakhir pada 1973 pada usia 68 tahun. Walau sudah tiada, nama Abdul Moeloek hingga kini masih akrab di telinga masyarakat Lampung. Namanya diabadikan menjadi Rumah Sakit Daerah Dr. H. Abdul Moeloek yang terletak di Tanjung Karang, Bandar Lampung.


Sumber : Liputan6.com


Cuma gitu doang mahal amat??


Sebuah mesin kapal rusak dan tidak ada yang bisa memperbaikinya, maka mereka membawanya kepada seorang Insinyur Mekanik berpengalaman 40 tahun.

Dia memeriksa mesin dengan sangat hati-hati, dari atas ke bawah. Setelah melihat semuanya, pria itu merogoh tasnya dan mengeluarkan palu kecil.

Dia dengan lembut mengetuk sesuatu. Seketika, mesin hidup kembali. Mesinnya sudah diperbaiki!

7 hari kemudian pemilik mendapatkan tagihannya sebesar $ 10.000.

"Apa?!" kata pemiliknya. "Anda hampir tidak melakukan apa-apa. Kirimkan tagihan terperinci kepada kami."

Jawabannya sederhana:
Mengetuk dengan palu: $ 2
Mengetahui di mana harus mengetuk & berapa banyak harus mengetuk: $ 9.998

sumber : Civil Engineering Discoveries

Masyarakat kita Terkadang demikian sama tukang desain misalnya khan cuma klik klik doang.. atau sama tukang2 lainnya..

Begitu Pentingnya menghargai keahlian dan pengalaman seseorang... Hingga
Bahasa "gitu doang", " "cuma gitu", "kan gampang" harusnya menjadi hal tabu. Mengapa? Karena Mungkin saja pengalaman tsb hasil kristalisasi tekad, perjuangan, percobaan hingga air mata.

Sesuai gambar cover di profile saya : If i do a job in 30 minutes it's because i spent 10 years learning how to do that in 30 minutes. You owe me for the years, not the minutes.

(Jika saya sanggup menyelesaikan pekerjaan dengan waktu 30 menit, hal ini karena saya menghabiskan waktu 10 tahun untuk belajar bagaimana melakukan tersebut dalam 30 menit. Anda membayar saya untuk 10 tahun tersebut, bukan 30 menit tersebut).

Kalimat ini, mengingatkan saya pada nasehat seseorang tentang menghargai dan bijak menghormati hasil suatu kerjaan orang lain.

Disitu juga saya belajar melihat orang...
Ketika mereka tidak menghargai orang lain, justru dia sedang merendahkan diri mereka sendiri.

Keahlian dan pengalaman, mahal harganya.
Sayang, orang-orang kita masih meremehkan hal tersebut....


DAWKINS DAN KEMELARATAN ATEISME



Oleh F. Budi Hardiman

Buku biolog Inggris Richard Dawkins, The God Delusion, tidak baru. Buku setebal 463 halaman  itu terbit di tahun 2006 yang lalu, tetapi polemik yang ditimbulkannya masih bergaung sampai hari ini. Di tengah Pandemi Covid-19 ateisme baru sempat dibicarakan dalam rangkaian perdebatan tentang sains versus agama di Facebook dan Whatsapp yang diinisiasi oleh silang pendapat antara Goenawan Mohamad dan A.S. Laksana. 

Diskusi cerdas diharap dapat mengusir kesumpekan intelektual di media-media sosial kita yang sering berisi sampah digital. Keyakinan akan sains mungkin dapat menyehatkan bagi mereka yang mudah diperdaya dengan hal-hal gaib, tentu jika mau membaca. Tapi adalah baik tetap waspada. 

Sains, seperti juga agama, sering berkelindan dengan kekuasaan dan oportunisme. “Pernyataan paling provokatif yang dapat dibuat seseorang tentang hubungan antara sains dan agama” demikian kata Paul Feyerabend dalam sebuah orasi,”adalah bahwa sains adalah sebuah agama”. Keduanya tidak hanya berbeda, tetapi juga bisa sama sebagai alat kuasa. 

Debat yang kadang mengayun pikiran ke dunia ide itu masih berlangsung. Saya akan masuk ke dalam arena lewat pintu kecil yang jarang dimasuki dalam debat itu, yakni buku Dawkins. Menurut saya, kita dapat belajar dua hal sekaligus dari buku itu, yaitu: tentang bahaya fundamentalisme agama sekaligus tentang bagaimana antusiasme berlebihan terhadap sains dapat berakhir pada kemelaratan intelektual dalam memandang dunia real. Argumen-argumen untuk penilaian ini akan saya berikan mulai pertengahan ulasan ini.

Pada 30 September 2007 empat penulis yang sangat kontroversial dalam jagad sains popular berkumpul di sebuah rumah di Washington DC untuk berdiskusi dua jam tanpa moderator. Salah seorang dari antara mereka adalah Richard Dawkins. Tiga lainnya adalah Christopher Hitchens, tuan rumah dan penulis buku laris “God Is not Great”, Sam Harris, penulis “The End of Faith”, dan Daniel Denett, penulis “Darwin’s Dangerous Idea”. 

Meski tetap memakai nama Kristiani, keempatnya secara publik mengaku ateis. Nama baptis bukan lagi ungkapan iman. Dawkins malah barangkali akan bilang namanya adalah alat indoktrinasi agama orangtuanya. 

Diskusi Dawkins dan ketiga ateis lain itu direkam dan dijuduli “The Four Horsemen”, mengingatkan simbol apokaliptis dalam Kitab Wahyu. Selanjutnya mereka dijuluki dengan mana itu. Getol menyerang agama dengan pendekatan-pendekatan ilmiah, mereka berempat juga mendapat julukan “the evangelical atheists” dari media. Menyaksikan bagaimana mereka mengkampanyekan ateisme di Youtube, oksimoron itu memang tepat.

Kemunculan para ateis baru ini bukannya tanpa kaitan dengan politik global. Sejak peristiwa 9/11 dunia dilanda teror para Islamis. Presiden George Bush merasa dibisiki Allah sendiri untuk menyerang Irak dan mengumumkan perang melawan terorisme global. Baik Bush maupun para teroris Islam itu mengaku mengikuti petunjuk Allah. Tidak ada yang lebih absurd daripada kelompok-kelompok yang saling bunuh karena merasa diperintah Allah yang maha baik. 

Di situ agama memang naik ke panggung global, tetapi sayangnya dengan wajah beringas yang jauh dari yang seharusnya. Semula penerbit menolak naskah Dawkins, tetapi karena pengakuan Bush itulah penerbit berubah pikiran, maka buku Dawkins sekarang ada di tangan kita. 

Dalam buku itu agama dipersepsi sebagai ancaman bagi kemanusiaan. Pada apendiksnya Dawkins meletakkan daftar alamat lembaga-lembaga untuk mendukung mereka yang ingin lari dari agama. Ateisme menjadi misioner dan didukung industri media. Beberapa video di Youtube menampilkan perdebatan Dawkins dengan para apologet Kristen dan Islam.

“The God Delusion”  masuk di nomer empat buku best-sellerversi “New York Times”  dan menembus penjualan sampai tiga juta eksemplar. Itu adalah rekor fantastis untuk sebuah buku sains populer. Tentu ada penyebabnya. Buku itu ditulis dengan gaya popular, enak dibaca, padat polemik, ditaburi lelucon serius, logika ‘akribatis’ dan – lebih dari itu semua - provokatif. Kehebohan yang muncul setelahnya membuktikan sukses provokasi penulisnya. Di era kapitalisme media kritik-kritik pedas kepada Dawkins malah meningkatkan angka penjualan bukunya. 

Dari itu Dawkins memanen popularitas. Beberapa buku yang membantah Dawkins, antara lain “The Dawkins Delusion?” karya Alister McGrath dan Joanna Collicut McGrath, dan “The Devil’s Delusion”  karya David Berlinski. 

Di Indonesia juga beredar buku Dawkins dalam bahasa Indonesia. Komentar-komentar atas buku itu diberikan dan kadang juga berseliweran dalam media-media sosial kita. Namun banyak yang masih fokus pada ad hoc hypothesis-nya, yakni serangannya pada agama. Padahal yang lebih penting adalah menikam ke “hardcore hypothesis”-nya sebagai seorang biolog evolusioner. 

Tanpa berpanjang-panjang dengan pendahuluan ini, kita segera masuk saja menelusuri buku itu. Edisi berbahasa Inggris yang saya baca adalah terbitan Black Swan tahun 2007. Angka-angka petunjuk halaman mengacu ke edisi itu.

*

MEMBANTAH HIPOTESIS_ALLAH

“The God Delusion” tersusun dari 10 bab. Proyeknya sangat ambisius. Dia ingin mempersoalkan Allah sebagai obyek kajian ilmiah. “Saya akan menyarankan bahwa eksistensi Allah merupakan sebuah hipotesis ilmiah seperti yang lain”, tulisnya (h.72).  

Untuk itu pertama-tama dia dalam bab 1 menetapkan targetnya. Yang ingin diselidikinya bukan Allah non-personal seperti diyakini Einstein, melainkan allah-allah personal dan supranatural, seperti: Yahweh, Trinitas atau Allah (h.36). 

Menurutnya, seperti juga teman-teman ateisnya, Allah monoteisme ini telah menjadi sumber masalah peradaban. Sejak awal memang Dawkins menyinggung betapa berbahayanya perilaku religius. Deretan tuduhannya panjang dan masih bisa ditambah, seperti: menuntut respek berlebihan dan mudah emosional (h.46), takut pada obyektivitas ilmiah.(h.323), intoleran dan bengis kepada yang berbeda keyakinan (h.324), melakukan kekerasan dengan dimotivasi perintah Allah dan iman yang tidak bisa dipersoalkan (h.344), mengkriminalisasi homoseksualitas (h.326), melecehkan anak-anak (h.349).

Meskipun di berbagai tempat Dawkins hampir selalu mempersoalkan agama, judul bab 8 sebetulnya cocok untuk menjadi rumusan status quaestionis buku ini: “What’s wrong with religion? Why be so hostile?” 

Gambaran Allah dalam bab 2 yang disodorkan Dawkins lewat pembacaan amatirnya atas Perjanjian Lama mungkin cocok untuk menjawab pertanyaannya sendiri. Allah monoteisme ini, begitu kesannya, adalah “tokoh paling tidak menyenangkan dalam segala fiksi”, yaitu: “picik, tidak adil, tukang kontrol yang tak berbelas kasihan, pendendam, pemusnah etnik yang haus darah, misoginik, homofobik, rasis, infantisidal, genosidal, filisidal, penjijik, megalomaniak, sadomasokis, perundung jahanam yang plin plan” (h. 51). Tanpa ragu dia menyebutnya “monster Alkitab” (h.68). 

Cukup jelas bahwa fiksi religius inilah yang menurutnya menjadi biang kerok segala persoalan kemanusiaan dan peradaban, seperti perang agama, permusuhan kepada kelompok lain iman, dan terorisme. Ditunjukkannya bahwa tidak ada ateis yang merusak rumah-rumah ibadah, tetapi Wahhabi telah meratakan rumah nabi mereka sendiri di Mekah (h.282).

Sebagaimana dalam Pencerahan Eropa abad ke-18 fiksi menguap dalam sorotan sains, Dawkins juga ingin menghapus fiksi religius ini. Dia mengklaim bisa membawa Allah ke dalam proses investigasi ilmiah, karena menurutnya ada atau tidak adanya Allah adalah sebuah hipotesis ilmiah yang bisa diuji menurut kaidah-kaidah ilmiah (h.73). 

Di sini Dawkins berbeda dari para ateis lama, seperti Feuerbach dan Nietzsche yang menyanggah eksistensi Allah hanya secara spekulatif. “Saya tidak tahu pasti,”begitu hipotesisnya,”tetapi saya duga Allah itu mustahil ada” (h.74). 

Dengan hipotesis ini Dawkins menyatakan dirinya sebagai seorang ateis de facto. Sangat antusias dengan kemajuan sains, Dawkins bahkan menabrak demarkasi NOMA (non overlapping magisteria) Stephen Jay Gould yang memisahkan dunia fakta-fakta yang menjadi wilayah kerja sains dan dunia makna-makna yang menjadi wilayah iman religius. Baginya sains tidak hanya mencari fakta, tetapi juga berurusan dengan makna hidup manusia (h. 78), dan Allah adalah masalah sains (h.96).

Sebelum membuktikan bahwa Allah hanyalah sebuah delusi yang berbahaya Dawkins dalam bab 2 dan 3 memberikan bantahan atas semua argumen tentang eksistensi Allah baik yang dianut oleh berbagai keyakinan religius, entah monoteisme atau politeisme (h.51 dst.), maupun pembuktian-pembuktian rasional dalam filsafat, seperti panca marga Thomas Aquinas, argumen ontologis Anselmus (h.100 dst), dan pertaruhan yang dilakukan Pascal (h.130). Tak lupa dia juga membantah beberapa argumen praktis, seperti kekaguman atas keindahan, pengalaman religius personal. Para ilmuwan yang tetap beriman pun tidak luput dari serangannya (h.110 dst.). Dia mengejek argumen Aquinas sebagai permainan kata tanpa evidensi (h.101), tidak percaya efektivitas doa (h.85 dst) dan menganggap pengalaman-pengalaman spiritual, seperti teofani, mistik, penampakan Maria di Fatima, dst. hanyalah hasil ‘otak yang terstimulasi’ atau delusi kolektif (h.116). 

Kita juga bisa mendengarkan sinisme itu dalam video-videonya di Youtube. Buatnya Bible tidak lebih daripada sebuah fiksi sejarah seperti Da Vinci Code, hanya lebih tua saja,  maka bukan bukti eksistensi Allah (h.123). Di bagian lain dia mengatakan bahwa kitab-kitab suci tidak lebih daripada karya-karya sastra zaman kuno (h. 387).

Di abad ke-20 teori evolusi Darwin telah diterima dan bahkan disebarkan secara popular dalam kanal-kanal TV, seperti misalnya NatGeo. Di sekolah teori ini diplajari seabagai bagian kurikulum dan makin mengendap ke dalam akal sehat publik.  Namun kelompok-kelompok fundamentalis agama masih sulit menerima teori itu. Mereka membela tesis penciptaan dalam 6 hari dan dijuluki sebagai kaum kreasionis. 

Tidak semua kelompok agama menolak teori evolusi. Ada kelompok intelektual religius yang menerima teori itu, tetapi tetap mempertahankan tesis penciptaan. Mereka mewakili apa yang lalu disebut “theory of intelligent design” . Menurut mereka mustahillah keteraturan alam semesta ini terjadi kebetulan tanpa seorang perancang. Hal itu kira-kira sama mustahilnya dengan tiupan taufan badai untuk berhasil merakit kembali serpihan Boeing 747 (h.138). Jadi, para pendukung desain cerdas ini merasa telah membuktikan eksistensi Allah.

Dukungan baru untuk kreasionisme yang dimodifikasi dengan teori evolusi ini juga menjadi sasaran tembak Dawkins dalam bab 4 bukunya. Menurutnya tidak ada perancang untuk keteraturan alam. Hal-hal kompleks, seperti kosmos, otak, bacterial flagellar motor, dst. memang tidak terjadi kebetulan. Namun hal itu tidak terjadi karena desain illahi, melainkan murni sebagai hasil proses seleksi alam yang panjang (h.188). 

Tesis “irreducible complexity” juga disanggahnya. Menurutnya desain adalah sebuah ilusi, karena kita baru melihatnya sebagai desain setelah seleksi alam membawa ke tahap kompleksitas (h.188). Kalaupun para kreasionis lalu yakin bahwa Alah mencipta lewat seleksi alam, Dawkins akan mempersoalkan tesis “the lazy God” itu sebagai berlebihan dan tidak diperlukan untuk seleksi alam yang dapat bekerja secara natural tanpa intervensi supranatural (h.144). Teisme yang lalu menyelinap dalam bentuk theology of gaps, yakni klaim bahwa adanya hal-hal yang tidak bisa dijelaskan sains membuktikan misteri Allah, dikejarnya dengan sanggahan bahwa gaps itu bukan milik Allah, melainkan hanya kurang data yang suatu ketika akan dimengerti juga oleh sains (h.154).

Semua bantahan yang dilontarkan Dawkins ini boleh dikatakan sebagai via negativa untuk membuktikan bahwa Allah hampir pasti tidak ada (h.189). 

Hampir pasti? Mengapa tidak pasti saja? Dalam sebuah spektrum sikap dia menolak bukan hanya teisme, melainkan juga agnotisme, termasuk agnotisme yang condong ke ateisme, termasuk menolak ateisme keras yang yakin seratus persen bahwa Allah tidak ada. Sikapnya adalah ateis de facto: Ia tidak tahu pasti bahwa Allah tidak ada, tetapi dia yakin bahwa Allah mustahil ada, maka dia hidup dengan anggapan bahwa Allah tidak ada (h.73). 

Dalam hal ini Dawkins mungkin tidak banyak berbeda dari banyak orang yang mengaku religius tetapi nyatanya hidup seolah-olah tidak ada Allah. Hanya bedanya, Dawkins serius memikirkan keyakinannya dan berani menerbitkannya. Bahkan dia berani memastikan tidak ada apa-apa setelah mati. “Mati tidak akan berbeda dari tidak dilahirkan”, tulisnya, “Tak ada yang ditakutkan di dalamnya” (h.399). Tidak ada pertanyaan, misalnya, untuk apa dilahirkan, jika mati akan sama saja dengan tidak lahir.

ASAL-USUL DAN PENYAKIT AGAMA
Dawkins hanyalah riak kecil saja dari guncangan besar pandangan dunia manusia yang disebabkan oleh sains kontemporer. Dewasa ini teori evolusi masih disertai barisan teori-teori lebih baru, seperti: teori relativitas, big bang, fisika kuantum, dan teori chaos. 

Bersaing dengan agama dan filsafat, sains juga ingin memecahkan misteri asal-usul alam semesta dan kehidupan. Dalam bab 5 Dawkins masuk ke dalam kancah itu dengan biologi dan mencoba menjawab teka teki lain yang selama ini belum disentuh biologi, yaitu: tentang asal-usul agama. 

Secara umum “The God Delusion” dibangun di atas dua macam hipotesis: “hardcore hypothesis” yang mengorek akar-akar psiko-biologis monoteisme dan moralitas dan “ad hoc hypothesis” yang menunjukkan keanehan perilaku religius di dunia modern. 

Cukup jelas dengan “hardcore” ini dia ingin menjelaskan asal-usul agama “dari bawah” atau apa yang disebutnya – meminjam istilah Daniel Dennett- pendekatan “crane” (biologis) dan bukan dari atas atau pendekatan “skyhook”(teologis) (h.188). Berbeda dari “skyhook” yang “mencomot” obyek dari atas, “crane” mengangkat obyek satu per satu menjadi bangunan. Dengan cara itu dia mengklaim menemukan bahwa asal-usul agama adalah sebuah respons yang keliru dalam evolusi manusia. 

Detailnya akan saya uraikan di bawah ini.

Dawkins mendalami etologi, ilmu tentang perilaku binatang. Dia, misalnya, mengamati ngengat. Menurutnya ada hal yang menarik dari perilaku serangga ini. Jika ada nyala lilin, ngengat akan terbang masuk ke nyala itu, lalu jatuh dan mati. Dahulu ketika belum ada cahaya buatan, serangga menggunakan cahaya bulan sebagai kompas. Perilaku itu masih dipertahankan setelah ada lilin atau lampu listrik, maka serangga seperti ngengat itu sebetulnya terkecoh dengan nyala lilin dan ‘salah target’ (h.201). Kata Inggris yang dipakai Dawkins adalah “misfiring” yang artinya bisa kemacetan atau stagnasi, yakni tidak lagi berkembang. Dawkins pun berpikir bahwa perilaku ngengat ini menyingkap sesuatu tentang hakikat atau ‘akar-akar’ agama. Perilaku religius, seperti ritual, doa, dan terutama percaya tanpa pertanyaan, adalah hasil samping seleksi alam yang salah target dan tidak efisien.

Untuk menjelaskan salah target itu, etologi saja tidak cukup. Dawkins juga menggunakan psikologi evolusioner. Menurutnya dahulu dalam proses evolusi lewat seleksi alam, perilaku (yang sekarang disebut) ‘religius’ itu pernah berguna, mirip seperti perilaku ngengat yang menggunakan cahaya bulan sebagai kompas. 

Apakah perilaku yang pernah berguna itu? Pembaca, sekurangnya seperti saya, akan mengira bahwa jawabannya akan membuka pencerahan ateistis baru yang akan mengguncang iman. Sudah dapat ditebak, dia bilang bahwa kebiasaan ngengat untuk menggunakan cahaya bulan sebagai kompas itu sejajar dengan sikap anak kecil yang patuh buta kepada otoritas orangtuanya. Jadi, sikap patuh buta itu dimasa kanak-kanak memang pernah berguna, dan hal itu juga tertanam dalam modul-modul otak anak. Namun karena sikap itu bertahan sampai dewasa dalam perilaku religius, perilaku itu menjadi salah target atau mengalami stagnasi dibawa sampai dewasa (h. 202-203).

Hipotesis Dawkins kelihatan seperti versi lain Freudianisme. Memang tidak ada Urvater(pentolan purba) yang mengendap sebagai superego. Yang ada adalah salah target atau stagnasi. Namun baik Dawkins maupun Freud sepakat bahwa asal-usul agama adalah psikologis. Hanya karena kurang mendalami psikologi, argumen Dawkins superfisial saja dan kurang mengorek kehidupan batiniah. 

Lalu bagaimana dia menjelaskan dimensi supranatural agama yang ditolaknya? Bukankah orang beragama yakin adanya jiwa dan kehidupan setelah mati? Penjelasan a la “crane” yang ditawarkannya lumayan menarik, meski dapat dibantah juga. 

Mengacu pada temannya, Dennett, ia berpendapat bahwa dualisme tidak lain dari hasil dari apa yang disebut Denett “intentional stance”. Otak kita akan bekerja cepat saat menghadapi bahaya, misalnya, macan yang siap melahap kita. Jika situasi sosial begitu kompleks, otak kita memunculkan intensionalitas ‘tingkat lebih tinggi’, bisa tingkat tiga, empat, lima…dst., dan intensionalitas yang tinggi ini tidak berbeda dari fiksi (h.213). 

Ini terdengar pas dengan hukum survival, yakni bahwa dualisme jiwa-badan dan dunia sini-dunia sana adalah fiksi yang merupakan bagian survival mechanism manusia. Pada anak-anak lompatan ke fiksi dualistis itu lebih cepat terjadi (h.205).

Dengan hipotesis itu Dawkins mau mengatakan bahwa perilaku religius adalah hasil sebuah delusi, yakni: keyakinan atau kesan keliru yang getol dipertahankan kendati adanya bukti-bukti baru. Agamawan menganggap “suara” dalam diri mereka adalah Allah atau pengalaman religius, padahal adalah diri mereka sendiri. 

Allah memang bukan hasil kebiasaan leluhur kita untuk mendengarkan “suara” itu, seperti anak-anak punya teman imajiner yang disebutnya – dipinjam dari puisi A.A. Milne – “Binker” atau – yang lebih dikenal adalah – “Kitty” dalam buku harian Anne Frank. Namun Binker atau Kitty ini juga bukan dari Allah nenek moyang kita. Menurut Dawkins baik Allah maupun Binker adalah hasil samping seleksi alam, sebuah salah target (h. 393). Pengalaman spiritual tidak lebih dari sebuah delusi dan juga  semacam jatuh cinta atau adiksi yang mengaburkan pikiran (h.215). 

Begitulah, menurutnya, salah target itu bertahan dan bahkan berkembang sebagai memeyang kian kompleks sehingga kita lupa akar-akar biologisnya. Dawkins lalu menemukan contoh bagaimana terjadinya agama, yakni dalam Cargo Cult di pulau Tanna di Vanuatu. John Frum, digambarkan sebagai anggota angkatan udara Amerika yang mendarat di pulau itu, dianggap tuhan, dan pesawatnya dijadikan obyek ritual sambil menantikan kedatangan Frum untuk kedua kalinya (h.234), keyakinan yang mirip dalam eskatologi Kristiani. Agama baru ini sekarang sudah menyebar sebagai memedi kepulauan itu.

Teka teki yang juga sulit dipecahkan adalah asal usul moral, dan karena hubungannya erat dengan agama Dawkins mau tak mau harus menjelaskannya. Di bab 6 dia ingin mematahkan anggapan umum bahwa agama adalah sumber moral. Menurutnya untuk bermoral tidak perlu beragama karena asal-usul moral bisa dijelaskan secara non-religius, yakni secara biologis (h. 318). 

Artinya, kita bisa buang penjelasan religius sebagai berlebihan. Yang harus dibidik adalah sikap altruis, karena terjadinya moral adalah juga terjadinya altruisme. Di sini Dawkins mengacu pada bukunya yang lain yang juga popular, “The Selfish Gene” (1976). Bagaimana dari gen egois kita bisa memperoleh altruisme? Jawabnya, altruisme adalah juga produk seleksi alam, yaitu: gen egois lebih suka pada kerabat genetisnya di mana altruisme menjadi norma, seperti dalam kalimat “berbuat baiklah kepada anakmu sendiri” (h.247). 

Di samping itu seleksi alam juga menghasilkan altruisme dalam arti kesalingan, pencarian reputasi, dan kemurahhatian sebagai iklan (h. 251). Moralitas tidak turun dari langit, melainkan hasil adaptasi manusia terhadap lingkungan biologisnya. Dalam bab 7 dia menunjukkan bagaimana “Zeitgeist” moral modern meninggalkan moral agama yang masih berkutat dengan dikotomi kita dan mereka. Penghapusan perbudakan, kesetaraan jender, antidiskriminasi ras adalah “Zeitgeist” moral baru yang menurutnya melampaui eksklusivisme agama  (h.300-301). Jika egoisme menjadi motor evolusi, apakah yang menarik homo sapiensuntuk melampaui ikatan-ikatan kekerabatan, ras, agama?

Di bawah lensa Zeitgeist moral baru itu perilaku religius menurutnya kelihatan aneh. Bab 8 dan 9 membahas ad hoc hypothesis itu. Disebut “ad hoc” dalam arti tidak terkait langsung dengan hardcore dan tidak menambahkan sesuatu yang penting padanya untuk diuji secara ilmiah. 

Pertama, menurutnya moral yang diilhami agama mengkriminalisasi homoseksualitas. Kalau saja delusi Allah dilenyapkan, tentu LGBT bukan masalah (h. 329). Kedua, moral agama melarang aborsi. Menurutnya tidak ada yang mengawasi klinik-klinik aborsi. Embrio manusia tidak istimewa karena kontinu dengan hewan-hewan lain. Selama belum tumbuh sistem saraf padanya, janin tidak menderita. Kalaupun punya, dia kurang menderita dibanding sapi dewasa yang digiring ke rumah jagal (h.331). 

Ketiga, agama memaksa anak-anak untuk menganut agama orangtuanya. Indoktrinasi religius dianggap wajar. Baginya tidak ada anak Kristen, anak Yahudi atau anak Islam; yang ada adalah orangtua Kristen, Yahudi atau Islam. Baru setelah dewasa ia boleh memilih agama atau tidak memilih sama sekali (h.382).

Percakapan moral itu bermuara pada bab terakhir, bab 10, juga masih ad hoc,  yang berisi antusiasme Dawkins sendiri kepada sains. Sudah dapat ditebak, dia yakin bahwa fungsi-fungsi yang dahulu dimainkan oleh agama, yakni: menjelaskan makna, memotivasi, menghibur dan menginsporasi, akan diambilalih oleh sains (h.389). Dengan penutup ini “The God Delusion” tidak sekadar buku ilmiah popular; buku ini juga sebuah janji kemenangan sains atas agama dalam ateisme.

APAKAH DAWKINS MEYAKINKAN?

“The God Delusion” telah menyulut kontroversi panas. Para pembaca awam bisa terburu-buru mengira penulisnya seorang pembenci agama, lalu berhenti membaca. Para antusias sains segera menyambutnya sebagai makanan intelektual bagi keyakinan mereka. 

Tetapi kita perlu berhati-hati. Tidak perlu menyobek, apalagi membakar buku itu. Juga tak perlu menganggapnya kitab suci. Letakkan saja di antara buku-buku lain. Di dalam kehiduan ini tidak ada hal yang seratus persen salah atau seratus persen benar. Begitu juga dengan “The God Delusion”

 Pemeriksaan presuposisi segera menguak bahwa Dawkins, seperti para Pencerah Eropa abad ke-18, menganggap agama sebagai tahayul yang ia yakini bisa diusir oleh sains dan rasionalitas. Memang tahayul hilang, tetapi agama tetap ada sampai hari ini, bahkan ikut mengusir tahayul. Selain itu Dawkins juga erat berpegang pada asumsi-asumsi naturalisme yang beranggapan bahwa tidak ada pencipta supranatural yang memulai dan mengarahkan evolusi alam semesta; semuanya melulu hasil proses natural yang material. Dari bukunya jelas tampak bahwa realitas akhir adalah proses biologis, dan satu-satunya pengetahuan yang benar adalah tentang fakta seleksi alam.

Dawkins tidak seorang diri dalam reduksionisme itu. Para ateis lama dan kawan-kawannya, para ateis baru, juga begitu. Mereka yang pikirannya terbuka tidak akan terkesan, misalnya dengan argumen dangkal seperti: Jika Allah ada, tentulah Dia turun tangan untuk menyelamatkan manusia dari Pandemi Covid-19. Dia tidak terbukti secara empiris turun tangan. Jadi, Allah tidak ada. Apakah yang bisa lebih dangkal dari itu? Tentu Dawkins tidak akan terus terang memakai argumen seperti itu. Tapi kita akan mudah menemukannya bersembunyi di balik kalimat-kalimat kasar dalam bukunya. Dengan segala keberatan atau kekaguman kepadanya, pertanyaan satu ini perlu dijawab: Apakah Dawkins meyakinkan? Apakah dia dapat disetujui?

Ada hal-hal dalam “The God Delusion”  yang tidak hanya dapat disetujui, melainkan juga patut diperhatikan oleh para agamawan. Pertama, sebagai kritik agama buku ini perlu ada untuk membantu agar berhati-hati terhadap dampak-dampak mengerikan dari ‘kepercayaan tanpa pertanyaan’ yang bisa muncul dari agama. 

Di dalam masyarakat demokratis ateisme bisa dianggap sparing partner agama dalam mencari kebenaran. Orang selalu butuh yang lain untuk mengenal diri lebih baik. Yang lain dari agama adalah ateisme. Mengingat kritik Feyerabend, dalam masyarakat demokratis kebenaran agama yang berkuasa tanpa “check and balance” bisa berubah menjadi tirani intelektual. Dari ateisme agama bisa diimbangi secara sosiologis agar tidak menjadi dogmatis dan fideistis.  Ateisme itu sendiri sebetulnya tidak memusnahkan agama, meskipun berambisi begitu. Kehadirannya dalam masyarakat demokratis malah membuktikan bahwa agama merupakan sesuatu yang penting. “Ateisme”, demikian K.R. Popper,”adalah sebuah tanda bahwa orang menganggap serius agama”. 

 Jadi, syukurlah ada ateisme, sehingga agamawan semakin sadar akan makna pilihan hidupnya secara jauh lebih berkualitas daripada dalam keadaan tanpa tantangan. Dalam arti ini Dawkins juga perlu dibaca para rohaniwan dan bahkan rahib.

Dawkins memang serius dengan agama, terutama karena bahayanya. ‘Delusi Allah’ – dan ini hal kedua yang bisa disetujui – bukan tuduhan konyol. Orang yang merasa dirinya benar menjalankan apa yang diyakininya sebagai perintah Allah, lalu meledakkan bom dalam ranselnya untuk menghabisi musuh Allah, tentu saja mengalami delusi yang sangat berbahaya dan berlawanan dengan akal sehat. Agama memang rentan untuk diperalat politik, menjadi alat paksa, dan juga tidak jarang dikaburkan dengan tahayul. 

Konflik di Timur Tengah yang belum juga selesai sampai hari ini persis membuktikan bagaimana agama bisa menjadi bensin yang tidak habis-habisnya untuk menggerakkan mesin perang yang pergi entah ke mana. Sulit menyangkal hal itu, dan tidak perlu juga membantahnya. Namun hal-hal lain manakah, termasuk sains, yang juga tidak rentan untuk diperalat di era fungsionalisme ini? Agamawan yang waras pada umumnya tidak akan menyetujui delusi kaum radikal itu.

Meski nanti masih akan kita persoalkan, hipotesis Dawkins tentang perilaku religius sebagai hasil samping dan salah target atau kemacetan mental dalam evolusi melalui seleksi alam cukup dapat melukiskan kekonyolan radikalisme agama. Para konservatif agama membenci kelompok berkeyakinan lain sebagai kafir, karena – demikian yang mereka dengar dari para ulama literalis – nabi mereka memerangi orang-orang kafir. 

Perilaku seperti itu tentu anakronis, merugikan diri dan orang lain, atau – seperti istilah Dawkins – salah target, seperti ngengat yang menabrak nyala lilin (ini mengingatkan kita juga pada 9/11). Perseteruan masa silam yang direkam dalam kitab suci dilanjutkan dengan kebencian kepada kelompok-kelompok masa kini yang sama sekali berbeda. Para fundamentalis memang gagal “move on”. 

Dalam arti ini interpretasi tentang salah target atau blokade mental itu tepat. Itulah pokok ketiga yang bisa diterima.

Bagaimana dengan teori evolusi itu sendiri? Interpretasi ilmiah atas terjadinya kosmos dan perkembangan evolusionernya tidak dapat disanggah begitu saja dengan literalisme scriptural atapun dogmatisme agama karena melimpahnya bukti-bukti empiris yang terus terkumpul. Sejak Darwin kita tidak hanya bertanya tentang fungsi mata, bentuk kepala, atau kaki laba-laba, tetapi juga tentang bagaimana anatomi laba-laba itu berubah lewat seleksi alam. 

Para agamawan memang perlu membuka pikirannya terhadap sains, termasuk teori evolusi. Itulah hal keempat yang bisa disetujui setelah membaca Dawkins. Ketidakcocokan antara sains dan kitab-kitab suci tidak serta merta berarti konflik di antara keduanya, karena pikiran yang terbuka akan memandang hal itu sebagai problem interpretasi kitab-kitab itu. 

Secara epistemis dan ontologis sains membatasi diri pada penyelidikan empiris atas dunia obyektif, sementara agama bersangkutan dengan dunia makna eksistensial yang bersifat subyektif dan intersubyektif. Para ilmuwan sejati selalu siap mengaku salah, jika konstruksinya atas ‘fakta-fakta’ evolusi terbukti salah. Mereka hemat dengan kata ‘kebenaran’. Sikap terbuka seperti yang dimiliki para ilmuwan itu sebaiknya juga dimiliki para agamawan di era kemajuan sains.

Di samping hal-hal yang bisa disetujui di atas, ada hal-hal yang kurang meyakinkan dan lemah, untuk tidak mengatakan berantakan. Kita membatasi diri pada tujuh pokok saja. 

Pertama, Dawkins menolak keyakinan religius dengan pendekatan biologistis yang menerjang NOMA (non overlapping magisterial) (h.78). Biolog ini ingin menjelaskan dunia makna eksistensial yang subyektif dan intersubyektif dengan kaidah-kaidah sains yang meneliti dunia obyektif. Betapapun Dawkins telah membantah demarkasi itu, secara epistemis demarkasi itu real sehingga dia tidak dapat menerjangnya tanpa jatuh ke dalam sikap reduksionistis. Allah memang bukan obyek sains. 

Pasca “The God Delusion”, Dawkins dan para agamawan tetap berjalan dalam kereta yang berbeda, dan ateismenya tidak dianggap sebagai suatu evidensi yang universal, melainkan hanya sebagai salah satu interpretasi yang sangat miskin makna atau – meminjam istilah dari buku itu - sebuah jeu d’esprit yang harus bersaing dengan agama yang kaya makna. Bantahan terhadap argumen-argumen filosofis seperti Thomas Aquinas dan Anselmus menunjukkan ketidaksanggupannya berpikir metafisis tentang causa primadan motor immobilis dengan menolak adanya awal segala sesuatu (h. 101).

Kedua, sikap reduksionis itu tampak di dalam berapa hal dalam buku itu. Agama Abrahamistik yang telah mengalami institusionalisasi dan rasonalisasi yang kompleks sehingga tidak dapat begitu saja dijelaskan dari satu-satunya realitas, yakni realitas biologis. Tapi hal itulah yang terjadi dalam buku itu, seperti nanti masih akan masih dijelaskan pada pokok selanjutnya. 

Selain mereduksi ke biologi, Dawkins, mirip dengan Freud yang mengasalkan agama pada totemisme, merasa menemukan gambaran tentang asal agama terorganisasi itu pada praktik agama tribal, yakni Cargo Cult di Vanuatu. Itupun sebuah reduksi karena sejarah tidak selalu bergerak dalam pola yang seragam di segala tempat. Penduduk pulau Sentinel yang leluhurnya dari beberapa ribu tahun lalu, misalnya, alih-alih menyembah pesawat dan pilotnya, akan mengunakan besi pesawat sebagai anak panah untuk membunuh pilot. Meski ada keserupaan, harapan Kristiani akan kedatangan Yesus kedua kalinya tidak dapat diasalkan dari peristiwa civilizational schock seperti yang dialami penduduk Vanuatu yang takjub dengan pesawat dan menunggu kedatangan lagi John Frum, tentara Amerika saat Perang Dunia II. Analisis seperti itu, jika bukan candaan, adalah sebuah kekeliruan.

Pokok ketiga kita arahkan pada “hardcore hypothesis”-nya. Hipotesis ini memuat interpretasi Dawkins sendiri yang tidak dapat dicocokkan dengan fakta yang tetap terbuka untuk berbagai interpretasi. Pada ngengat yang menabrak nyala lilin bukan hanya “bunuh diri”, melainkan juga “salah target” atau “kemacetan” adalah label-label yang kita, manusia, berikan pada fakta itu, sementara ngengat digerakkan nalurinya, sehingga kata salah atau benar tidak relevan untuk menilai serangga itu. 

Dari perilaku ngengat itu kita bisa membuat beberapa interpretasi. Misalnya, interpretasi 1 adalah interpretasi Dawkins, yakni agama sebagai salah target atau ketakutan infantil pada otoritas yang berkepanjangan; interpretasi 2 bahwa salah target yang dilakukan manusia, berbeda dari serangga, justru bermakna karena peranan intensionalitas kesadarannya, misalnya dalam ritus dan simbolisme religius; interpretasi 3 bahwa kebudayaan adalah hasil salah target itu karena manusia memuaskan nalurinya, misal seks, secara tidak langsung, yakni mengalihkannya pada lukisan erotis, dan sublimasi macam itu tidak terjadi tanpa salah target. 

Ketiganya bukan observasion statements, melainkan konstruksi-konstruksi abstrak. Interpretasi 1 tidak lebih benar dari 2 dan 3, dan tidak ada alasan kuat untuk mengatakan bahwa 1 lebih sesuai fakta daripada 2 dan 3 karena sama-sama abstrak. 

Mengacu pada K.R.Popper, interpretasi 1 tidak falsifiable dan tidak lebih daripada versi Freudianisme yang akan dianggap Popper “unscientific”. Dawkins sebetulnya hanya ingin mengatakan sesuatu yang lebih sederhana, yaitu bahwa perilaku religius itu semacam infantilitas berkepanjangan. Tapi untuk mengatakan itu dia perlu berargumentasi secara memutar dengan teori evolusi yang ternyata juga tetap kelihatan dipaksakan untuk membenarkan anggapannya. 

That is not a science but a bad philosophy. Memang “skyhook” yang ‘mencomot’ obyek dari atas kurang meyakinkan ilmuwan, karena tanpa menapak pada bumi akan roboh. “Crane” lebih meyakinkan Dawkins karena bekerja perlahan dan bertahap dari bawah, tetapi “crane”  salah bekerja jika melompat. Dalam interpretasi 1 ada jurang yang dalam di antara perilaku ngengat dan perilaku religius manusia yang dilompati crane Dawkins. Bisa dipastikan crane itu roboh!

Sebelum melangkah ke pokok berikut, saya menyela dengan sebuah catatan kecil. Selama teka teki asal-usul kesadaran belum dapat dipecahkan oleh sains, selama itu pula dunia makna tidak bisa dijelaskan secara ilmiah dengan ilmu-ilmu alam. “Ledakan linguistis” yang tengah kita alami lewat Twitter, Facebook, Whatsapp, Youtube merupakan alasan untuk takjub akan kenyataan bagaimana dunia makna menjadi otonom dari dunia fakta-fakta dan makin plural. Isi kepala yang makin banyak dibuka dan dibeberkan, justru menjadi makin beragam, dan sebagai keseluruhan malah makin misterius, karena kita menjadi makin sadar akan gap yang makin lebar antara otak dan kesadaran. 

“Kesadaran agaknya selalu tampak seperti sebuah mukjizat”, tulis Sam Harris, seorang neurosaintis (John Brockman (ed), “This Idea Must Die”, Harper Perennial, New York, 2015, h.138). Penulis lain lagi, Douglas Rushkoff, lebih takjub lagi dengan kesadaran. “Bertolak dari tidak adanya Allah sebagai asas dasariah penalaran ilmiah,”begitu tulisnya,”kita membuat diri kita secara tidak perlu menentang kebaruan kesadaran manusia, kesinambungan potensialnya sepanjang waktu, dan kemungkinan bahwa ia memiliki tujuan” (J. Brockman (ed.), ibid., h. 104). 

Ke manakah arah evolusi kesadaran, termasuk di dalamnya evolusi bahasa, peradaban, teknologis, dst.? Banyak yang belum terjawab. Lebih daripada dunia material, subyektivitas manusia merupakan dunia tersendiri yang dapat dieksplorasi bagai perjalanan ke perut bumi sampai lapisan-lapisan asing yang tidak terduga. 

Interioritas manusia ini bukan obyek ilmu-ilmu alam, melainkan ilmu-ilmu kemanusiaan, seperti psikologi, etnologi, sosiologi, ilmu komunikasi, ilmu sejarah, dan bahkan ilmu sastra. Agama juga berada dalam interioritas manusia, dan interioritas ini terjadi bersamaan dengan revolusi kesadaran yang sampai hari ini asal-usulnya masih enigmatis. 

Mengapa doa harus dianggap inefisiensi dalam seleksi alam? Mengapa bukan ungkapan kesadaran tertinggi manusia? Bukankah anjing peliharaan kita tidak berdoa? Dawkins enggan masuk ke interioritas manusia itu dan buru-buru menyegel pintu masuknya dengan papan peringatan “Awas delusi!”. Kalaupun seleksi alam ikut berperan dalam asal-usul agama, proses biologis pasti tidak bekerja sendirian dan tidak dengan cara seperti dijelaskan Dawkins.

Kita lanjutkan ke pokok keempat, yakni tentang asal-usul moral. Teori ini bukan hanya kurang meyakinkan, melainkan juga memprihatinkan dari perspektif etis. Baik dan buruk dilihat Dawkins hanya sebagai masalah ‘teknis’ survival. Altruisme lewat kekerabatan genetis, pertukaran, reputasi, dan kemurahhatian sebagai iklan adalah egoisme kompleks dan bukan altruisme. 

Kata ‘altruisme’ ditemukan Auguste Comte di tahun 1850 dan diartikannya sebagai sesuatu yang Anda lakukan untuk orang lain (alter) dan bukan untuk diri Anda sendiri (ego). Jadi, altruisme per definitionem
adalah pelampauan diri dan ketanpapamrihan. 

Dawkins tidak beranjak jauh dari para pendukung egoisme etis di Inggris abad ke-18, seperti Hobbes dan Bentham. Altruisme tidak sejati, melainkan kedok egoisme. Di antara selfish genes bisa saja terjadi seleksi alam, tetapi cukup meragukan bahwa dari mekanisme “survival of the fittest”  bisa dilahirkan altruisme sejati. Bagaimana mungkin pengorbanan diri, cinta kasih, dan keikhlasan terjadi di antara para egois alamiah? Apa sesungguhnya motor evolusi yang menarik homo sapiens untuk melampaui ikatan-ikatan biologis? Sebagaimana ada gaps antara benda dan kehidupan, antara kehidupan dan kesadaran, dan bahkan antara hukum seleksi alam dan arah tujuannya,  ada gap antara egoisme dan altruisme yang tidak dapat ditambal oleh teori evolusi lewat seleksi alam. 

Kalaupun Dawkins tidak suka gap ini segera diisi dengan Allah, seperti cibirannya berulang kali dalam bukunya (h.151 dst.), dia seharusnya tidak membiarkannya tetap menganga. Jika, seperti dikatakannya, sains belum bisa menjawab semuanya, mengapa pula tergesa-gesa menjadi ateis? Bukankah lebih baik membiarkan hal itu tetap terbuka baik untuk sains maupun untuk agama?

Kelima, kita perlu meninjau soal delusi Allah itu. Dawkins mencoba membuktikan agama sebagai delusi Allah, yakni: hasil seleksi alam, salah target yang tidak efisien, tak lebih dari “jeux d’esprit” (h.191), maka pengalaman religius juga sebuah delusi. 

Tapi benarkah bahwa pengalaman religius, sama saja dengan “Binker” atau – demikian sebutan Anne Frank untuk buku hariannya – “Kitty”, yakni dialog dengan diri sendiri? Betulkah hal itu salah target dan tidak otentik? Pendapat seperti itu dapat dibantah dengan fakta sebaliknya dari pengalaman religius yang otentik sebagaimana diteliti psikologi. Mistikus seperti St. Teresia dari Avila, misalnya, sadar sepenuhnya, yakni tidak sedang nge-fly, bahwa dia yang berbicara dalam doanya bukan dirinya, juga bukan diri keduanya, bukan imajinasinya, juga bukan setan, melainkan Allah. Hal itu memberinya hiburan spiritual yang tidak terperikan. Dia tidak sedang berhalusinasi atau mengalami delusi Allah. 

Pengalaman serupa juga terdapat dalam Islam dan Yudaisme. (lih. Robert. H. Thouless, An Introduction to Psychology of Religion, h. 145). Adanya pengalaman spiritual yang otentik ini telah membuat agama tetap menarik sampai hari ini dan tidak mudah dimiskinkan oleh interpretasi ateistis.

Keenam, tentang cara baca kitab suci. Dawkins, sama parahnya seperti para fundamentalis agama, membaca Bible secara literalistis, padahal banyak pendirian usang yang diserang Dawkins itu, seperti anggapan bahwa “outgroups” masuk neraka, larangan kebebasan berpikir, surat indulgensi dst. sudah lama ditinggalkan dalam teologi Kristiani. Jadi, Dawkins menembak ruang kosong. 

Penelitian arkeologis dan eksegetis kitab suci dan refleksi teologisnya sudah pasca literal dengan menggunakan asas-asas eksegetis yang terbuka pada kritik. “Religious language-game” menggunakan simbol-simbol untuk mengacu pada pengalaman eksistensial manusia yang tentu tidak dapat diperlakukan sebagai laporan ilmiah sebagaimana dikira Dawkins. Interpretasi kitab sucinya terkesan amatir, kurang referensi, dan juga sangat dangkal, lalu didapat “monster Alkitab” itu, yang bahkan seorang fundamentalis Kristianipun tidak akan membayangkan itu. 

Dengan pembacaan “cherry picking” dan argumen-argumen yang dipaksakan itu Dawkins menghindari ayat-ayat yang justru sentral bagi agama tetapi merugikan argumennya, seperti misalnya: “Allah adalah kasih” (I Yoh: 8b). Kegeramannya kepada fundamentalisme agama mengaburkan pandangannya sehingga gagal membaca pesan agama yang sesungguhnya. Ketika mentarget radikalisme agama yang melakukan kekerasan, dia memang tidak melebih-lebihkan bahaya iman yang berubah menjadi kepicikan ideologis, tetapi dia jelas melebih-lebihkan sisi kelam agama dan buta terhadap cahaya yang dibawanya. 

Seandainya tidak hanya mempelajari biologi, tapi juga mendalami ilmu-ilmu kemanusiaan, Dawkins tentu akan lebih sabar dengan ambivalensi manusia dan agamanya dan interpretasinya tidak akan semelarat itu.

Ketujuh dan terakhir, para antusias sains seperti Dawkins sangat tajam mengkritik agama sebagai ancaman kebebasan dan bahkan paksaan kepada anak-anak. Hampir satu bab, yakni bab 9, dia bicara soal ini. Menurutnya agama telah menciptakan sebuah sistem paksaan yang tidak dipersoalkan lagi sehingga kita tidak lagi menyadari sebagai paksaan. Anak-anak pun diasuh menurut agama orangtuanya. Anak Kristen, anak Muslim atau anak Yahudi adalah bentuk indoktrinasi, katanya. Keberatan terhadap kritik Dawkins, misalnya, bahwa anak-anak kecil masih dalam hak asuh orangtua mereka, pasti tidak digubris. 

Kelemahan argumen Dawkins terletak pada anggapan bahwa sebuah masyarakat ilmiah yang bebas agama akan jauh lebih menghargai kebebasan anak-anak daripada masyarakat religius. Siapa dapat menjamin hal itu? Antusiasme itu salah sejak awal. Bukankah sains pun bisa menjadi paksaan baru kepada anak-anak? 

Kritikus sains yang cukup ekstrem seperti Feyerabend bisa lumayan mengimbangi Dawkins. Menurutnya sains di zaman kita sudah menggantikan agama. Saat ini orangtua masih bisa memilihkan anaknya sekolah, entah berbasis agama atau tidak, tetapi tidak ada sekolah bebas sains. Anak-anak mau tak mau belajar matematika dan ilmu alam, jika mau sukses. Orangtua harus mendesakkan hal itu sejak dini, kalau tidak mau dianggap tak bertanggungjawab (Feyerabend, Erkenntnis für freie Menschen, Suhrkamp, Frankfurt a.M., 1979, h.103). 

Sains yang mengganti agama dalam menduduki kekuasaan akan bisa sama tiranisnya dengan agama di masa lalu. Jadi, selama masih hidup di dunia yang penuh ambivalensi, kita harus tetap waspada terhadap ideologisasi apapun, termasuk terjadap ideologisasi sains.

DUNIA REAL DAN MELARATNYA ATEISME

Dari seluruh isi buku yang sangat bersemangat menyerang agama itu ada satu hal menarik yang dapat kita pakai untuk menutup uraian ini. Menjelang akhir “The God Delusion”, Dawkins bicara tentang model. “Apa yang kita lihat dari dunia real”, begitu tulisnya,”bukanlah dunia real apa adanya, melainkan sebuah model tentang dunia real yang ditata dan disesuaikan oleh data indra – sebuah model yang terkonstruksi sedemikian sehingga berguna untuk menghadapi dunia real” (h.416-417).

 Di sini Dawkins benar. Binatang yang di darat, yang terbang atau yang berenang melihat dunia real dengan model mereka masing-masing yang berbeda satu sama lain. Manusia tentu jauh lebih kaya lagi melihat dunia. Ide ini bijaksana, tetapi sayang sekali tidak ditulis di awal atau bagian-bagian lain. Kalau Dawkins konsisten dengan ide ini sehingga berlaku juga untuk ateismenya, dia harus setuju bahwa ateisme hanyalah salah satu model untuk melihat dunia real, sementara agama adalah model lain lagi. 

Seperti dikatakan Paul Feyerabend, dalam masyarakat demokratis ateisme dan bahkan rasionalitas bukanlah wasit bagi model-model berpikir, melainkan salah satu model saja (bdk. Feyerabend, Erkenntnis für freie Menschen, Suhrkamp, 1979, h. 54).

Tentu pada manusia ada model yang lentur sehingga menangkap kekayaan dunia real, ada penggantian model yang memungkinkan perspektif lain, dan ada model ketat yang memiskinkan padangan dunia real. Untuk model ketat itu Dawkins memakai ilustrasi dari praktik para konservatif Islam, yakni burka. “Apa yang dilakukan sains untuk kita” begitu katanya,”adalah melebarkan jendela. Dia membuka lebar-lebar sehingga pakaian hitam yang memenjarakan itu turun hampir seluruhnya, menyodorkan panca indra kita kepada kebebasan yang segar dan bergairah” (h. 406).  Jelas alamatnya adalah para agamawan yang dianggapnya picik, tidak efisien, infantil, irrasional, penuh kebencian, dst. 

Tujuh keberatan yang saya ajukan di atas perlu dilengkapi dengan sebuah saran agar nasihat Dawkins tentang burka itu juga dialamatkan kepada dirinya sendiri. Jika sains dan model ketatnya dikira sama dengan dunia real, keduanya berubah menjadi ‘burka intelektual’ yang melihat dunia real, termasuk kompleksitas realitas agama, hanya dari satu sisi, yaitu: sisi empiris. 

Sains sebagai sains memang bekerja demi sisi empiris dunia, tetapi sains tidak bisa dijadikan prinsip hidup yang jauh lebih kaya. Dawkins tidak mau mencoba melihat dunia dari sisi non-empiris karena hal itu dianggapnya konyol dan mustahil. Dengan ateismenya dia tidak lagi bersikap sebagai seorang ilmuwan, melainkan sebagai seorang pembela agama yang benar yang menganggap keyakinan-keyakinan lain omong kosong. Sama seperti fundamentalis agama, dia tidak ingin mencoba melihat dengan cara lain karena memang tidak punya cara lain selain mereduksi kompleksitas dunia ke model ketatnya. Itulah kemelaratan ateismenya.