Minggu, 20 Desember 2020

Vaksin dan Ocehan Cing Mi


Waktu pemerintah Indonesia memutuskan untuk melakukan uji klinis vaksin Covid19 buatan Cina, kaum Cing Mi (cacing kremi) mengejek: "Mau aja dijadikan kelinci percobaan." Bukang, Cing. Itu manusia percobaan. Uji klinis itu harus dilakukan terhadap manusia. Tidak lagi bisa terhadap hewan. Itu kamu anggap rendah? Ya karena cacing kremi nggak paham uji klinis. Tanpa uji klinis kita tidak akan pernah punya vaksin. Jadi memilih jadi manusia percobaan itu bukan tindakan rendah. 

Lalu kaum Cing Mi menyebar berita "Cina kekurangan monyet untuk uji vaksin". Dengan imajinasi mereka, dikaranglah cerita seolah orang Cina tidak mau disuntik pakai vaksin mereka sendiri. Cuma pakai monyet doang. Itu lagi-lagi kebodohan. Sejak bulan Juli Cina sudah menyuntikkan ratusan ribu  vaksin ke rakyatnya, sebagai penggunaan darurat. Ini bukan tes, Cing, penggunaan!

Memang penggunaan itu dikritik sebagian ilmuwan. Kok sudah dipakai sebelum uji klinis selesai? Ya, karena darurat.

Kenapa Indonesia sudah beli? Ya, karena darurat juga. Kalau kita baru beli setelah semuanya beres, mungkin kita tidak kebagian. Keadaan darurat sering kali memerlukan tindakan darurat yang tidak bisa dinilai pakai nalar normal.

Jadi sebenarnya bagaimana? Kalau memang ingin tahu, ya tunggu. Saya barusan baca pendapat seorang ahli, maaf nggak ketemu lagi link-nya. Mana yang lebih bagus vaksinnya? Modena, Pfizer, atau Sinovac? Jawab dia,"time will tell." Cina mengembangkan vaksin pakai metode lama. Apakah metode itu kurang ampuh? Belum tentu, dan belum tahu. 

Sementara kita belum tahu, ya tunggu. Lha ini belum tahu kok sudah mencela. Basis celaan itu pakai apa? Pakai nalar cacing kremi.

Saya bukan pemuja pemerintah. Tapi usaha yang dilakukan pemerintah untuk menangani Covid19 ini perlu didukung. Kalau tidak mendukung, tutup mulut sajalah. Jangan menebar keraguan berbasis pada nalar cacing kremi. 

Adakan yang perlu kita waspadai? Ada banyak. Kemungkinan korupsi dari vaksin ini menganga. Kita harus kritis soal itu. Tapi ingat, kritis itu harus berbasis data, bukan prasangka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar