Minggu, 13 Desember 2020

TENTANG HRS: JANGAN BERGEMBIRA TERLALU DINI I


Publik harusnya bertanya, mengapa HRS sedemikian mudah menyerahkan diri. Jawaban paling praktis selalu pada ia sudah ditinggalkan bohirnya. Lalu spekulasi akan muncul di belakangnya. Sebenarnya siapa sebenarnya bohirnya? Jawaban paling gampang akan mengarah pada Aliansi 3C. Ketiganya mengarah pada tiga dinasti yang berbeda itu. Yakin? 

Saya kok tidak. Mereka memang satu kepentingan, tapi sesungguhnya tiga kepentingan yang tak pernah ketemu. Saling memanfaatkan, tapi sesungguhnya saling tidak suka dan sebenarnya juga sulit akan bersatu di satu kubu. Saya bayangkan kalau, mereka bersatu itu. Ibaratnya HRS dan FPI itu seolah event organizer yang ngadain Pensi, lalu ketiganya jadi sponsor gitu? Kok enak. 

Sependek yang saya tahu, Cendana itu baru bergerak bila harta kekayaan tinggalan Suharto diutak-atik. Cikeas itu akan mulai menunjukkan sungutnya, kalau kasus2 korupsi dibicarakan lagi. Sedangkan JK bereaksi ketika utang2nya tak terbayar. Makanya, indikasi terkuat mengarah pada JK, yang memang harus menghadapi tuntutan ini itu dari berbagai pihak. Itu pun, tidak secara langsung megarah pada dirinya. Keluarga besarnya sih iya.

Lalu siapa...

Masalahnya publik itu kadang melihat politik praktis juga kadang terlalu praktis. Contoh paling akhir adalah kasus Sigi. Sejauh yang saya amati dan pelajari, tak ada indikasi atau bukti apa pun sejauh ini bahwa Kelompok MIT pimpinan Ali Kalora adalah pelakunya. Tapi publik lalu membelokkan kasusnya, pada kenapa Jokowi lambat bereaksi. Atas tuntutan publik, lalu tiba2 Jokowi bereaksi dan upaya pengejaran siapa yang dianggap teroris bergerak. 

Polisi dan TNI lalu mengamini. Ikut ngombyongi bahwa teroris ini jahat dan keji, dsb-nya. Referensi-nya adalah peristiwa beberapa tahun sebelumnya. Tak pernah ada bukti sama sekali, bahwa itu pelakunya adalah siapa yang dituduhkan itu. Saya pikir, stigma publik memang luar biasa. Kadang ngawurnya juga sama keterlaluannya, saat menanyakan dimana suara Komnas HAM. Lah Komnas HAM itu justru harus hadir jika ada indikasi aparat negara terlibat dalam suatu kasus.

Lah siapa pun yang terlibat dalam kasus Sigi bukankah yang dituduh adalah teroris, yang jelas itu wilayah kriminal. Lah kalau Komnas HAM akhirnya turun, tentu atas desakan publik. Oleh siapa yang kadang sombong, dengan gaya bahasa sok iye: kemana uang pajakku yang digunakan para komisioner HAM itu? Namun bukankah dengan bergerak mereka, harusnya muncul kecurigaan "jangan2 ini permainan intelejen"? Pekok berjamaah!

Pun dalam kasus HRS ini? 

Pertanyaannya, harusnya kenapa sejak dari kepulangannya dia dibiarkan terus menerus membuat kesalahan. Jemaahnya membuat kerusakan di fasilitas publik. Lalu justru ditoleransi oleh pihak PT Angkasa Pura. Lalu mengadakan pesta hajatan besar2an yang dibiarkan Gubernur dan Polda-nya. Dan atas nama apa pun akhirnya terselenggara. Dan terakhir adalah kucing2an yang terjadi atas nama protokol kesehatan. Pemeriksaan Covid yang akhirnya menyasar banyak orang juga.  

Dan ujungnya adalah peristiwa penembakan 6 orang yang dianggap menyerang polisi yang menguntitnya. Lepas dari tak adanya rekaman, atau pun rekonstruksi peristiwa. Menunjukkan semua sesuai skenario yang direncanakan, semua menjadi utuh dan sempurna. Karena itu, sangat bisa dipahami mengapa akhirnya HRS betul2 habis dan menyerahkan diri tanpa kawalan. Sebuah anti-klimaks yang luar biasa.

Bagian yang publik tidak tahu. Baiklah saya sedikit ceritakan, walau saya sadar bahwa hal ini akan dibantah....

Posisi PDI-P akhir2 selalu diam, tapi sesungguhnya justru menunjukkan kematangan dan kecerdasan yang luar biasa dalam bermain politik. Ia sangat menguasai dan memanfaatkan kekuatan intelejen yang menjadi alat permaianannya. Ia tahu bahwa kekuatan negara adalah bdengan bagimana menjalankan kekuatan telik sandinya. 

Salah satu buktinya, apakah ia bereaksi keras ketika kadernya JPB ditangkap KPK? Pimpinan partai tahu, tiba2 JPB jadi sangat serakah, jumlah duit yang dikorup itu tak hanya sekedar 17 M sebatas di DKI Jakarta. Tapi nyaris, belasan trilyun. Kemana larinya? Nah itu, cerita lain. Kata kunci-nya justru di lingkaran hobi lamanya itu.

Bukti lain, kemenangan di banyak Pilkada yang sebelumnya bikin heboh publik dengan apa yang dituduhkan "politik dinasti".  Dimana disinyalir 53 peserta Pilkada 2020 yang merupakan keluarga atau kerabat pejabat. Dimana sebagian besar memang adalah kader partai ini. Sialnya bukti lainnya juga muncul, bahkan ketika dikeroyok pun, seperti di Pilkada Kota Surabaya tetap menang telak. Dan tak bisa disanggah, PDI-P menang besar...

Lalu apa yang terjadi pada HRS kaitannya PDI-P? 

Tersiar kabar, bahwa kalau tidak dipakai lagi oleh Sidikasi 3C itu. FPI dan HRS akan digunakan oleh PDI-P sebagai "ice breaker",  pemecah suara umat Islam. Ia akan diberi ruang sedemikian rupa oleh partai paling besar dan berkuasa, secara langsung maupun tidak langsung untuk merangkul kelompok2 Islam konservatif. Artinya untuk menyaring kelompok Islam ini, harus dicarikan "musuh bersama". Dan tampaknya itu berhasil...

Indikasinya apa? Ia hanya dituduh melanggar protokol kesehatan. Yang jelas hukumannya paling minimal. Jangan2 malah cuma denda. Tak lama, ia akan dibebaskan. Tentu dengan berbagai deal2 baru tentu saja. Lalu, bohir-nya berpindah tangan. Sementara bohir lamanya tumbang, tersandera, atau bahkan gulung tikar. Untuk yang terakhir saya tidak yakin, tak pernah ada "bohir politik" benar2 gulung tikar di Indonesia. Tak ada, sebut satu saja!

Yang ada adalah anak wayang yang lenyap atau dilenyapkan. Dalang tetaplah ada, karena mereka tetap dibutuhkan sebagai "teman sepersalahan".  Ia akan punya peran baru dengan bohir baru. Itu strategi dahsyat, banjir bandang segara asat. Apakah itu benar PDI-P. Saya enggan menjawab...

Bagi saya cara memahami FPI dan HRS itu, dengan cara melihat foto di bawah ini. Glorifikasi mimpi mereka adalah punya pasukan gagah dengan pesawat tempur canggih. Sayangnya hanya terwujud dalam panggung karnaval. 

Begitu dirinya, begitu pula coro2nya. Selamanya alat, selamanya wayang!
.
.
Andi Setiyono Mangunprasojo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar