Senin, 26 Februari 2024

Gelar vs Kompetensi

 


Saya bergelar doktor di bidang fisika. Tapi pekerjaan saya sekarang di bidang manajemen. Oleh orang-orang yang memakai jasa saya, saya dianggap pakar dalam bidang manajemen. Bidangnya pun berbagai macam. Mulai dari manajemen produksi, sumber daya manusia, perkebunan, pertambangan, sampai hospitality. Saya juga bekerja membantu pengembangan corporate culture, khususnya dalam soal budaya keselamatan kerja. Minggu lalu saya memberi bimbingan kepada 30 manajer BUMN terkait sistem keselamatan kerja. Eh, dalam obrolan saat menyampaikan desain program, direktur BUMN tersebut juga meminta saya terlibat dalam urusan customer experience.
Itu semua masih ditambah lagi dengan pekerjaan sebagai penulis, penerjemah, dan market survey.
Tidak bekerja di bidang fisika, apakah itu berarti saya tidak kompeten di bidang fisika? Bukan begitu. Saya pernah berkarir di bidang fisika selama 12 tahun, sampai ke jenjang associate professor di Jepang.
Gelar itu hanyalah salah satu tanda kompetensi. Salah satu saja. Artinya, orang bergelar diharapkan, dan seharusnya punya kompetensi. Tapi gelar bukan jaminan. Sebagaimana tidak bergelar juga bukan tanda tidak punya kompetensi. Ada orang bergelar, tapi tidak punya kompetensi. Sebaliknya, seperti saya ini, tidak bergelar dalam bidang manajemen, tapi saya punya kompetensi.
Dari mana kompetensi itu didapat? Dari bekerja, dan terus belajar. Pada dasarnya gelar hanyalah syarat awal untuk masuk kerja. Setelah itu kompetensi kita tidak lagi ditentukan oleh gelar, melainkan oleh berapa banyak hal baru yang kita pelajari. Baik kita bekerja dalam bidang sesuai gelar maupun pindah jalur, sama saja. Kita dituntut untuk belajar terus. Sukses atau tidaknya kita, ditentukan oleh kemauan kita untuk belajar.
Waktu masih bekerja sebagai periset fisika, di suatu masa saya bekerja meneliti DNA. Ini bukan bidang fisika. Saat itu saya banyak menghabiskan waktu di perpustakaan fakultas kedokteran untuk membaca jurnal-jurnal penelitian medis dan biokimia.
Beberapa tahun yang lalu saya berkenalan dengan wakil direktur sebuah perusahaan garmen, orang Jepang. Dia bercerita, di masa awal karirnya dia adalah seorang teknisi las bawah air.
Tuntutan kehidupan sering membuat kita harus memilih. Tahun 2007 saya memilih untuk tidak lagi bekerja di bidang fisika. Itu punya 2 makna, yaitu saya memilih untuk cari makan dengan kopetensi non-fisika, dan saya memilih untuk siap belajar hal-hal di luar fisika. Inilah yang jadi bekal untuk hidup saya sekarang.
Jadi, kompetensi ditentukan oleh 2 hal itu. Pilihan kita untuk bekerja di bidang tertentu, dan kemauan kita untuk terus belajar. Gelar tidak penting. Lebih sering gelar doktor saya tidak saya pakai. Yang menghasilkan uang bukan gelar itu, tapi kontribusi berbasis kompetensi.




Kamis, 22 Februari 2024

Tanpa Mendur Bersaudara, Tak Ada Foto Proklamasi Kemerdekaan RI 1945

 

Soekarno sedang berdoa saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. (Foto: IPPHOS Jakarta)
Berbekal kamera Leica dan sebuah rol film, Frans Soemarto Mendur bergegas menuju kediaman Soekarno. Kabar proklamasi kemerdekaan sampai juga di telinganya pada 16 Agustus 1945 malam. Sementara kakaknya, Alexius Impurung Mendur, yang juga mendengar kabar kemerdekaan berangkat menuju kediaman Soekarno dengan rute berbeda.

Hendri F Isnaeni dalam buku 17-8-1945: Fakta, Drama, Misteri, menceritakan semula Frans tidak percaya. Ia meyakinkan diri ketika melihat banyak orang berkumpul di depan kediaman Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta.

"Saya sendiri semula tak percaya," kata Frans, seperti dituliskan Hendri F Isnaeni.

Dengan mengendap-endap, Mendur bersaudara berhasil merapat ke kediaman Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur No 56, Cikini, Jakarta, tepat pukul 05.00 pagi. Hal itu dilakukan agar tidak kepergok patroli militer Jepang. 


Maklum saat itu bendera Hinomaru masih berkibar di mana-mana. Patroli Jepang pun aktif wara-wiri di kota-kota besar seperti Jakarta.


Tak ada yang memerintahkan kakak beradik itu untuk mengambil foto saat teks Proklamasi dibacakan Soekarno. Di lokasi Proklamasi pun hanya mereka berdua fotografer yang hadir. Alex dan Frans berhasil mengabadikan beberapa foto detik-detik Proklamasi Indonesia. 



Ir. Soekarno didampingi Drs. Mohammad Hatta (Bung Hatta) sedang memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 jam 10.00 pagi di Pegangsaan Timur 56 Jakarta (sekarang jalan Proklamasi). (Foto: IPPHOS Jakarta)

 

Banyak yang menyebut foto proklamasi kemerdekaan Indonesia diabadikan oleh Frans. Ia menggunakan kamera merek Leica berukuran kecil yang digunakan wartawan foto pada era 1937. Kamera tersebut merupakan kamera mutakhir yang biasa digunakan jurnalis Eropa kala itu.


Perjuangan menyelamatkan foto proklamasi


Usai meninggalkan kediaman Soekarno, tentara Jepang memburu keduanya. Alex Mendur tertangkap. Foto-foto yang baru saja dibuat dimusnahkan dan disita Jepang.


Sementara itu, Frans Mendur berhasil melarikan diri. Negatif fotonya dikubur di tanah dekat pohon di halaman kantor harian Asia Raya. Tak lama tentara Jepang mendatanginya, tapi Frans mengaku negatif foto sudah diambil Barisan Pelopor.


Kendati negatif fotonya selamat, perlu perjuangan untuk mencuci dan mencetaknya. Frans harus mengendap-endap agar sampai di kantor Domei (sekarang kantor berita Antara).


Foto pengibaran bendera merah putih yang diabadikan Frans Mendur. (Foto: Commons Wikimedia)

 

Proklamasi kemerdekaan Indonesia hanya diberitakan singkat di harian Asia Raya, 18 Agustus 1945, tanpa foto karena telah disensor Jepang. Baru pada 1 Oktober 1945, BM Diah bersama wartawan eks harian Asia Raya merebut percetakan De Unie dan mendirikan Harian Merdeka.


Alex Mendur pun pindah ke Harian Merdeka. Foto bersejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia karya Frans Mendur tersebut baru bisa dipublikasikan pertama kali pada 20 Februari 1946 di halaman muka Harian Merdeka. 


Frans Mendur lahir di Kawangkoan, Sulawesi Utara, 16 April 1913 dan meninggal di Jakarta, 24 April 1971 pada umur 58 tahun. Ia adalah anak keempat dari sebelas anak Agustus Mendur dan Ariantje Mononimbar.


Sedangkan kakaknya, Alex Mendur lahir di Kawangkoan, Sulawesi Utara, 7 November 1907 dan meninggal di Bandung, 30 Desember 1984 pada umur 77 tahun.


Frans Mendur dan Alex Mendur, bersama dengan Justus Umbas, Frans "Nyong" Umbas, Alex Mamusung, dan Oscar Ganda, kemudian mendirikan IPPHOS (Indonesia Press Photo Service) pada 2 Oktober 1946.



Para pendiri Indonesian Press Photo Service (IPPHOS) di depan kantor mereka (dari kiri ke kanan) Frans Umbos, Alex Mendur, Justus Umbas, dan Alex Mamusung (yang tidak dalam gambar adalah Frans Mendur). (Foto: IPPHOS Jakarta)  

 

Frans bersama saudara lelakinya, Alex, menerima Bintang Jasa Utama pada 9 November 2009 untuk peran jurnalistik foto mereka pada awal republik.

Tahun berikutnya, mereka menerima Bintang Mahaputera Nararya pada 12 November 2010. Sebuah monumen untuk menghormati mereka di kampung halaman mereka di Kawangkoan didedikasikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 11 Februari 2013.