Rabu, 31 Maret 2021

Korban beragama yang salah..


Dari usia 5 tahun dia sudah yatim. Dia dan adik perempuannya dibesarkan oleh Ibunya. Dari kecil dia dibesarkan dengan cinta dan harapan. Tentu sang ibu berharap agar anak laki lakinya bisa menjadi tongkat di masa tuanya dan sekaligus menjadi palang pintu kehormatan bagi adiknya yang perempuan. Itu sebabnya dengan susah payah ibunya membesarkan dia dan mengirimnya ke universitas agar dia punya bekal terbaik bagi masa depannya. 

Tapi apa yang terjadi? perkembangnya di luar rumah, menggiringnya tidak menjadi putra ibunya. Dia tumbuh di luar cahaya dan harapan ibunya. Dia terbius oleh hasutan dari mereka yang sedang memperjuangkan agenda politik untuk berkuasa. Anak muda yang sedang mencari jati dirinya itu terperangkap dalam semangat apocalipso, siap mati demi keimanannya.  Demi nilai nilai yang dianggapnya jauh lebih tinggi dari doa dan harapan ibu yang melahirkannya.

Lambat laun dia tidak lagi nampak seperti putra ibunya. Dia tak merasa berdosa bila harus memarahi dan menegur ibunya, jika melakukan ritual adat, seperti barasanji. Marah kepada ibunya itu biasa saja. Seharusnya demi menegakkan aqidah, dia bunuhpun ibunya, itupun halal. Di hadapanya, ibunya adalah kaum yang tersesat akan kurafat, maksiat dan bidaah. Lupa dia bahwa sorga itu di bawah telapak kaki ibu. Lupa dia membentak ibu itu menggetarkan aras bumi yang membuat seluruh malaikat mengutuknya.

Keyakinan yang telah mencuci otaknya itu lebih dahsat daripada korban narkoba. Cinta ibu dan anak terkoyakan begitu saja. Drama pengorbanan ibu yang melahirkannya  dengan menyabung nyawa dan dibesarkan dengan susah payah sirnah sudah.  Diapun merasa tidak perlu lagi tinggal bersama ibunya. Dia pergi meninggalkan ibu dan adik perempuannya demi keyakinannya beragama. Bahkan ketika menikah, dia tidak perlu memberitahu ibu dan adiknya. 

Akhirnya dia dan istrinya yang baru menikah 6 bulan, membuat keputusan menempuh jalan apocalipso yang menjanjikan sorga dengan 72 bidadari cantik. Dengan tampa rasa takut dia membawa bom yang diikat pada tubuhnya. Sebelum tujuanya tercapai bom itu meledak. Kepalanya terlepas dan terlempar ke atas atap rumah orang.  Berakhir sudah cerita di dunia. Dia berharap mencapai puncak seorang insan yang mati karena sahid, dengan cara membunuh diri dan orang lain. Padahal hidup adalah berkah dari Tuhan yang menugaska manusia untuk memakmurkan bumi dengan cinta.

Dia telah tiada. Para pendukung dan mentornya pasti sudah melupakannya. Karena masih banyak orang lain yang antri untuk jadi seperti dia. Sementara ibu dan adik perempuannya, dalam kemiskinan menangis. Mereka yang jadi mentornya tidak peduli dengan air mata ibu dan duka adik perempuannya. Bagaimanapun, korban pertama kali dari cuci otak beragama yang salah itu adalah pelaku teroris itu sendiri. Sementara mentornya tinggal di rumah mewah bersama keluarganya dan hidup secara hedonis dan terhormat sebagai tokoh agama.

Sebaiknya, jaga putra putri anda dari pergaulannya di luar rumah. Larang dia ikut pengajian tertutup. Kalau tidak bisa juga dilarang lebih baik berhentikan dia kuliah. Cari tempat lain yang bersih dari gerakan radikal. Ingat pencucian otak radikalism jauh lebih merusak daripada narkoba. Jadi jagalah anak, sebelum semuanya terlambat.
.
.
EJB

Senin, 15 Maret 2021

MANTAN AGEN KGB PALING GENIUS


Jumlah muslim di Rusia diperkirakan akan terus meningkat dan bertambah menjadi populasi terbesar di benua Eropa, saat ini tercatat ada sekitar 16 juta lebih muslim di Rusia. 

Dalam sebuah kesempatan, sutradara asal Amerika Serikat bernama Oliver Stone (OS) pernah bertanya kepada Presiden Rusia, yakni Vladimir Putin mengenai bagaimana cara Vladimir Putin mengatur penduduk muslim di Rusia yang terus meningkat. 

Bagaimana selanjutnya Jawaban mantan agen rahasia KGB yang dikenal paling genius?

Oliver bertanya, “Di Rusia banyak muslim, bagaimana pemerintah mengawasi muslim di Rusia?"

Putin lantas menjawab “Mengapa muslim harus diawasi? Rakyat Rusia banyak yang muslim. Di Moskow ada 15% muslim. Tidak pernah ada masalah," tegas Putin.

Putin menambahkan bahwa kaum muslim bukan sebagai masalah yang harus diawasi. Akan tetapi mereka hanya korban dari politik Amerika dan sekutunya. “Kami tidak pernah menganggap muslim sebagai masalah. Itu hanya politik Amerika dan sekutunya. Terorisme misalnya, kapan Islam mulai diidentikan dengan terorisme? Setelah perang dingin berakhir. Amerika butuh musuh baru agar industrinya berputar,” kata Putin.

Pasca Perang Dingin, lanjut Putin, Uni Soviet bubar. Blok Militer Timur Pakta Warsawa dihapuskan. AS dan Rusia berdamai. Kita lucuti hampir 90% kekuatan nuklir. Rusia total keluar dari situasi perang dingin. Tapi AS, coba Anda lihat, sampai hari ini masih mempertahankan NATO, bahkan terus memperluasnya. “Saya bertanya pada Anda, untuk apa NATO tetap dipertahankan bahkan diperluas? Bukankah Rusia tidak lagi musuh AS? Lalu siapa musuh NATO? AS selalu tidak konsisten dengan ucapannya. Berbuat sesuka hati. Itulah bahaya Adikuasa tunggal di dunia," tegas Putin.

Putin melanjutkan, “Saya tidak heran ketika Obama ingkar janji. Kepada Rusia dan dunia, Obama mengatakan akan menutup Guantanamo. Faktanya, Obama keluar dari Gedung Putih, Guantanamo masih berdiri dan beroperasi. Rusia dan dunia sudah biasa menyaksikan inkonsistensi AS,” tambah Putin kepada Oliver Stone. 

Islam dunia hari ini bernasib sama dengan Uni Soviet di masa Perang Dingin. Jadi korban propaganda AS. Setelah meninggalkan, Irak porak poranda, AS menciptakan ISIS untuk memastikan konflik di Irak dan Timur Tengah terus bergolak. “Siapa bisa bantah fakta ini?" tantang Putin.

Oliver stone pun terdiam. 

Dari Jawaban putin ini seolah menjawab siapa dalang sebenarnya selama ini yang membuat Gejolak politik di dunia islam khususnya di Timur Tengah. Hingga munculnya istilah Islamofobia.
.
.
Dari laman Idielus Mulia Syofyan

Sabtu, 13 Maret 2021

MACRON, ERDOGAN SAMPAI JOKOWI JADI KORBAN HOAX ANAK KECIL


Masih ingat kasus guru di Perancis yang tewas digorok gerombolan radikal? 

Mulanya kisah di sebuah sekolah menengah, di pinggiran kota Paris. Menurut alkisah, guru di sebuah sekolah meminta murid yang beragama Islam keluar kelas sementara. Pasalnya dia mau menunjukan  gambar Nabi Muhamad. Nama gurunya Samuel Patty. 

Kebetulan ada anak berdarah Timur Tengah yang bersekolah disitu. Ia menceritakan kejadian tersebut kepada ayahnya. Ayahnya menyebarkan info kepada komunitasnya. 

Isu terus melebar. Menyemburkan ke mana-mana. Kelompok Islam radikal yang emosinya bergerak lebih cepat dari bayangannya sendiri, langsung bereaksi. 

Oleh mereka, guru Samuel Patty dibunuh secara bengis. Lehernya digorok. 

Kasus itu menghebohkan dunia.  Perdana Menteri Macron mengecam perlakuan kaum biadab itu, seraya membela kebebasan berekspresi di Perancis. Ia membela guru Samuel Patty. 

Dunia Islam lain lagi. Mereka menganggap Macron dianggap memberi ruang kebebasan di negerinya untuk menista Nabi. Kontan negara-negara berpenduduk muslim bereaksi. Indonesia menegur duta besar Perancis. Erdogan mengecam dengan keras statemen Macron. 

Tapi kamu tahu gak apa yang sebenernya terjadi? 

Sebuah berita yang ditulis The Guardian, 9 Maret 2021 mengungkapkan hal lucu. Lucu tapi mengiris hati. Membuat saya sempat terkesiap. 

Rupanya tragedi itu diawali dari kebohongan siswi usia 13 tahun. Ia diskor dari sekolahnya, mungkin karena kelakuannya. Nah, karena khawatir dimarahi bapaknya, siswi itu berbohong. 

Ia gak ngaku diskor. Ia hanya mengisahkan bahwa guru sekolahnya sengaja memulangkan siswi beragama Islam, karena guru itu mau menunjukan kartun Nabi kepada murid-murid lainnya. 

Kisah itu dinyatakan  tanpa pretensi apa-apa. Siswi remaja itu hanya mau lolos dari kemarahan ayahnya. 

Sayangnya bapaknya termasuk orang beragama yang baperan. Si bapak menceritakan kisah bohong putrinya ke orang lain. Lalu kisah itu menyebar. Sampai ke seisi komunitas muslim di Paris. 

Padahal, kata Guardian, siswi itu hanya menghindari hukuman dari bapaknya. Ia menggunakan isu agama untuk bersembunyi dari kemarahan orang tua.

Yang namanya ortu, kalau menghukum, paling disuruh bersihin  kamar mandi sama gak boleh pegang HP seharian. Paling tinggi disentil kupingnya. 

Tapi ada daya. Isu sudah terlanjur menyebar. Membakar Perancis. Nyawa seorang guru jadi korban. 

Saya ingat, kehebohan kasus ini juga diangkat teman-teman di Cokro TV. Dengan segala sudut pandangnya. Dan kita semua tertipu. Tertipu oleh ulah seorang gadis kecil. 

Sebetulnya kita tertipu oleh persepsi kita sendiri. Soal-soal agama seringkali membuat orang menjadi cepat beringas. Apalagi kalau dibumbui dengan kata penistaan. Ditambah ada segerombolan orang yang hobi mengangkat bisu ini ke permukaan seolah Islam selalu disudutkan. 

Persepsi Islam kerap disudutkan itu yang membuat orang cepat bereaksi dengan kasar. Psikologi rendah diri yang teramat sangat. 

Saya ingat kasus sejenis terjadi di Tanjung Balai Asahan. Mulanya obrolan emak-emak di warung. Seorang Tionghoa mengeluhkan suara speaker masjid yang terlalu keras. Suaminya sedang sakit. 

Lalu apa yang terjadi? Isu bahwa ada orang Tionghoa menistakan suara adzan merebak. Tukang kipas bermain. Mengipas-ngipasi keadaan. 

MUI ikut menari juga pada kasus  itu. Rakyat Tanjung Balai tersulut emosinya. Mereka protes. Hasilnya sebuah vihara dan beberapa rumah terbakar. Ibu yang cuma ngobrol di warung, dijatuhi hukuman. Pidananya berat ; menista agama! 

Sebetulnya bukan perilaku yang disengaja yang membuat ibu Meiliana jadi pesakitan. Tapi cara beragama yang mudah tersinggung yang akhirnya membakar kota Tanjung Balai Asahan. 

Baru saja kemarin saya ikut mengadvokasi kasus Nakes di Pematang Siantar. 4 nakes pria melakukan disinfektan pada jenazah pasien Covid19. Kebetulan pasiennya wanita. 

Lalu disebar isu. Jenazah wanita muslim dimandikan oleh nakes pria bukan muhrim. Padahal yang dilakukan adalah disinfektan jenazah. Bukan memandikan. 

Tapi dasar gerombolan gila kasus dan keranjingan jihad, mereka menghebohkan  kasus ini dengan isu penistaan agama.  Empat nakes sempat dijadikan tersangka. Tuduhannya menistakan agama. 

Untung Kejaksaan Siantar sigap. Kasusnya digugurkan karena gak memenuhi pasal. 

Kesemua kegilaan atas nama agama ini bermula dari hal sepele. Dari anak yang berbohong pada ayahnya. 

Dari gosip emak-emak di warung sayur. 

Atau dari keluh kesah suami yang istrinya meninggal karena Covid19. 

Tapi akibatnya luar biasa. Bahkan sampai seluruh dunia ikut heboh. 

Semua ini mungkin karena sikap rendah diri dan insecure yang terus dipompakan kepada umat Islam. Mereka memandang pihak lain dengan rasa curiga berlebihan. Bahkan ujungnya punya alasan untuk menyakiti seperti yang terjadi pada guru Samuel Patty di Perancis. 

Sikap seperti itu kita tahu, ujungnya membawa petaka. Bukan kedamaian yang didapat. Tapi justru permusuhan. Bahkan hanya karena soal-sial sepele yang dibalut pikiran curiga. 

Kita bersyukur, kemarin dua tokoh agamawan bertemu di Irak. Ayatullah Sistani sebagai tokoh Islam Syiah. 

Dan Paus Franciskus sebagai tokoh Katolik. Mereka menyerukan perdamaian. Mereka hendak membuka tabir kecurigaan yang sering menghinggapi para penganut agama terhadap agama lainnya. 

Sebuah seruan indah dari dua tokoh berbeda agama. 

Dalam salah satu momen pertemuan kedua petinggi agama itu, ada sebuah poster indah. Isinya kutipan dari Imam Ali Karamullahu Wajhah. 

"Kita semua adalah saudara. Jika bukan saudara seiman. Kita bersaudara dalam kemanusiaan... "

Terhadap saudara, sudah semestinya syak wasangka tidak ditaruh di depan.

"Mas, ada siang ada malam, " tetiba Abu Kumkum berpantun.

By : Eko K.