Dulu waktu kuliah saya pernah ikut diskusi buku Noam Chomsky tentang bagaimana media menggiring opini publik. Intinya, media tidak hanya membentuk cara orang berpikir, tapi juga memilihkan apa yang kita pikirkan, dan apa yang tidak perlu kita pikirkan.
Sekarang zaman media sosial. Efek itu lebih dahsyat lagi. Persepsi orang bisa dengan mudah dibangun. Hoax bisa dianggap kebenaran. Kenapa bisa begitu? Itu biarlah orang komunikasi yang menjelaskannya. Saya hanya bisa menyumbangkan pemikiran soal bagaimana membentengi diri kita dari penggiringan.
Resepnya sederhana, tapi tidak mudah. Kuncinya, pilah dengan teliti mana fakta dan mana yang bukan. Contohnya begini. Alex berkata bahwa udara di Jakarta panas. Itu fakta atau bukan? Bukan. Itu persepsi. Panas, dingin, cantik, jelek, dan sebagainya itu adalah persepsi. Faktanya apa? Suhu di Jakarta 35 derajat.
Fakta adalah sesuatu yang objektif dan terukur. Kita tidak bisa berbeda pendapat soal itu. Suhu udara di suatu titik di Jakarta 35 derajat celcius, siapa pun yang mengukurnya harus sama hasilnya. Kalau berbeda, berarti ada yang salah ukur.
Kalau ada orang bicara soal sesuatu, segeralah memilahnya. Udara panas. Itu persepsi dia. Berikutnya, adakah dasarnya? Kalau suhu udara 39 derajat celcius, sudah jamak kalau kita katakan bahwa udara panas. Artinya persepsi itu punya dasar. Tapi kalau suhu udara 22 derajat dikatakan panas, kita bisa anggap itu informasi yang keliru.
Apakah semua data itu fakta? Hati-hati. Gambar video itu data. Kalau bukan hasil editan, itu adalah data yang sahih. Tapi ingat, pesan yang disampaikan dengan video tidak serta merta sesuai dengan isi video. Jadi jangan terkecoh.
Pada waktu kerusuhan di Papua tempo hari beredar video berisi gambar polisi sedang digebuki. Tanpa narasi apa-apa, di tengah situasi rusuh, orang segera menghubungkannya dengan situasi saat itu. Kesimpulan: itu adalah situasi Papua saat itu. Padahal bukan. Itu video kerusuhan beberapa tahun sebelumnya.
Tadi saya lihat video orang-orang berseragam FPI sedang "digorok" dengan golok. Yang posting dan komentar menganggap FPI sedang berlatih menggorong orang. Anggapan itu sepertinya terkait dengan pidato RS tempo hari, soal memenggal kepala orang. Bagaimana saya melihatnya? Berbasis pengalaman saya, kesimpulan saya tentang video itu adalah, itu acara pamer ilmu kebal. Mungkin acara yang diselenggarakan oleh FPI, tapi itu bukan latihan menggorok orang. Hal seperti itu biasa dilakukan di perguruan silat. Apakah itu ada kaitannya dengan pidato RS tadi? Kita tidak tahu. Kita tidak tahu kapan video itu diambil.
Nah, salah satu yang sering menyesatkan adalah ketidaktahuan kita soal detil situasi yang tergambar. Tapi otak kita segera mendahului membangun persepsi dan menyimpulkan. Itu bukan karena kita bodoh, tapi otak kita memang cenderung begitu. Karena itu sadari, dan kritiklah kesimpulan yang dibuat otak kita itu. Dalam hal ini sangat penting untuk memakai prinsip "Six Thinking Hat" yang diajarkan Edward de Bono.
Jadi, kuncinya itu. Ketika kita membuat kesimpulan atas apa yang kita lihat di media sosial, uji kesimpulan itu. Tanya diri kita, apa iya? Apa betul?
Berbasis pada cara berpikir itu kita bisa menilai banyak hal. Keterangan orang, siapa pun, jangan langsung dianggap fakta. Ada buktinya pun perlu kita kritisi. Bukti selalu disajikan bersama narasi. Jangan serta merta menerima narasi itu. Sangat sering bukti dan narasi tidak nyambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar