Rabu, 27 September 2023

BANGSA INI MEMANG SUSAH DIAJAK MAJU





 Konon ciri pokok bangsa ini, hanya dua yang abadi: latah dan amuk. Latah bisa diperpanjang maknanya sebagai suka tiru2, bukan inovator. Orang Jawa menyebutnya dengan istilah paling jelek, inferior dan kampungan sebagai "ngumumi". Supaya tidak dianggap "ora umum". Ngumumi itu diterjemahkan tidak beda dengan yang lainnya, jadi ora umum adalah istilah untuk menyebut mereka yang tidak bisa sama dengan yang lainnya. 

Berbeda itu hina di mata masyarakat agraris kita. Tapi itu ukuran zaman dulu. Namun, nyatanya ketika kita meloncat nyaris tanpa melewati periodisasi industri, ujug2 sampai di era sosial media. Kita tetap sama: hanya sebagai bangsa yang latah. Dengan hoax dan desas-desus sebagai alat pelestarinya.  Konon, di lingkungan bangsa dengan peradaban rendah latah adalah cara manusia bertahan hidup. Apa boleh buat....

Satu sifat generik lainnya, tentu saja amuk! Parameternya aneh, semakin tinggi tingkat konsumsi daging suatu etnis, maka karakter suka ngamuknya makin tinggi. Tapi lagi2 itu dulu! Sekarang rerata tingkat konsumsi daging tanpa memandang asal-usul etnis makin tinggi. Sehingga karena itulah suka ngamuk-nya justru makin keterlaluan. Jadi jangan aneh, kalau sengketa, konflik, pertikaian itu makin mudah terjadi. Justru jangan2 karena memang karena kesejahteraan hidup kita makin meningkat. 

Simalakama di negara dimana para pemimpinnya adalah bandit dan rakyatnya adalah penjarah. Begitulah karakter etnis Melayu! Melayu dalam arti seluas-luasnya yang tidak terbatas kasus Indonesia, namun barangkali juga menyangkut ras Austronesia....

Beberapa saat lalu, saya sempat meriset perbandingan demokrasi di Malaysia dan Indonesia. Seburuk2nya Indonesia, ternyata jauh lebih egaliter dibanding Malaysia. Dimana puak Melayu selalu menuntut "diistimewakan" dibanding etnis2 yang lainnya. Tidak sekedar secara pergaulan sosial yang normatif, namun tertera secara tertulis melalui Undang-Undang.  Bagi saya, kalau mau belajar rasisme gak usah jauh2, negara tetangga kita yang serumpun itu jagonya. 



Dalam konteks inilah, kita gagal untuk memahami apa yang disebut Omnimbus Law yang didemo sedemikian rupa hingga terjadi amuk massa dimana2. Padahal ada seribu satu cara melakukan protes secara beradab dan cerdas. Apa lacur, penyebabnya sederhana ya karena latah. Ikut2an, hanya karena dorongan solidaritas.  Atau kalau dalam kasus hari2 ini jelas karena ada sponsor dan bayarannya...

Pertanyaannya seberapa unik atau kritisnya suasana hari ini? 

Jangankan sebuah karya konstitusional sebesar Omnimbus Law, yang memiliki ukuran yang luar biasa mencengangkan itu. Menggabungkan 79 UU yang s harus ditinjau untuk dirangkum hanya dalam satu UU Cipta Kerja. Yang terdiri dari 11 kluster dan 1.244 pasal. Secara teknis, UU Cipta Kerja ini akan menyelesaikan saling tabrakannya begitu banyak UU. Dengan harapan berakhirnya era hukum tidak sinkron dalam banyak perundangan di negeri ini. 

Artinya sedemikian banyak celah yang memang patut dikritisi dari UU tersebut. Tapi setidaknya sejarah telah dibuat di negeri ini. Ada sebuah terobosan untuk membuat sengkarut hukum terkoreksi. Catat terkoreksi, bukan menjadi sempurna! Tapi sedikit lebih baik.

Namun rupanya, orang menganggap dirinya tidak hebat kalau tidak bersuara dan bersikap kritis. Sebuah latah dalam bentuk yang lain. Dan itu bisa terlihat di banyak tulisan di media yang sungguh sejujurnya saya tidak suka. Apa yang disebut sebagai WhatsApp Group (WAG). Media untuk para pelatah yang sangat sempurna. Tidak punya gagasan, hanya punya kebisaan membagikan dan berkomentar....


Hal lain, ukuran bahwa dana yang beredar dalam demo kali ini cukup besar sehingga ngamuknya makin profesional dan daya rusaknya serius. Itu sangat sederhana. Ukurannya adalah kota saya sendiri. Bila di Jogja sampai ada gedung yang dibakar, ada lampu lalu lintas yang dirusak, banyak fasilitas umum yang dirisak. Pasti bayarannya cucuk. Kalau kota lain saya tak peduli, Jakarta apalagi. Kerusakan adalah proyek perbaikan. 

Di Jogja yang miskin ini, orang bisa ngamuk serius itu kalau dibayar.  Harus ada bayarannya. Sebab kalau ngamuk jadi2an itu biasanya hanya para aktivis teater yang memang suka performing art. Tanpa bayaran pun, orang akan senang hati menari dan bernyanyi di jalanan!

Sekali lagi, demo2 ini tidak akan lama. Di Eropa (karena saya tidak suka Amerika saya tak ingin menjadikan referensi), demo itu pada titik paling rendah dipahami sebagai cara orang bersuara. Apa pun suaranya! Demo itu sejenis olaharga dalam bentuk lain. Orang jalan2 berbarengan, teriak2 sesukanya, sedikit berkelahi dengan polisi, melempar sesuatu sana sini. Itu biasa sekali....

Tapi membakar fasilitas umum adalah bentuk kriminal murni. Demo tidak sama dengan berbuat rusuh.  Para pengecut yang selamanya akan menjadi pengecut. Bekal buruk yang akan terus dia bawa sepanjang sisa hidupnya. Saya untuk ke sekian kalinya, bersyukur tidak meng-kuliah-kan anak2 saya di negeri ini. Karena sama sekali bukan bekal masa depan yang baik. Sayang....

Dan bagian paling aneh dari demo hari ini adalah pendonornya. Sponsornya. Bohirnya. Keduanya partai paria. Yang satu partai agama calon pengkapling surga. Satunya partai nasionalis-religius yang hidup segan, namun keluarganya masih mampu bayar itu. Sebuah kombinasi yang hanya punya satu predikat sama: brengsek! Brengsek di masa lalu, brengsek di hari ini, brengsek di masa depan...

Kedua2 mereka memang tak pernah akan bisa membawa kemajuan bagi negeri ini. Kecuali kemajuan bagi keluarganya sendiri dan kroni2nya. Partai2 yang hanya bermodal latah, dan membayar orang untuk terus mengamuk...

Merusaklah maka kau kubayar!
.
.
.
#negarasukarmaju
#demokampungan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar