Sabtu, 30 September 2023

G-30-S AMERIKA

.
Pemerintah Amerika Serikat (AS) menganggap Sukarno adalah tokoh menjengkelkan yang harus disingkirkan dari panggung dunia. Presiden pertama Indonesia itu diaggap terlalu lunak terhadap komunisme dan terlihat dekat dengan Moscow serta Beijing. Hal itu yang membuat Pemerintah Eisenhower (1952-1960) ingin memecah Indonesia menjadi negara-negara kecil dan mengisolasi Jawa yang dianggap telah dikuasai PKI karena memenangkan Pemilu Daerah 1957 dengan perolehan suara 27%. 
.
Ketika pemberontakan di Sumatera dan Sulawesi memanas, AS merasa mendapat kendaraan sempurna untuk mengisolasi Jawa. AS memberikan dukungan kepada para pemberotak dengan mengirim uang, persenjataan, dan serangan udara. Pada Oktober 1957 CIA mengirim uang sebesar $50.000 dan persenjataan kepada Kolonel Simbolon sebagai pemimpin Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Utara. Pada Maret 1957, AS mendukung pemberontakan di Sulawesi yang menamakan diri Perjuangan Semesta Alam (Permesta) pimpinan Letnan Kolonel Sumual dengan mengirim delapan pesawat tempur untuk memborbadir kapal perang dan pangkalan udara Indonesia di kawasan Timur. 
.
Allen Dulles, kepala CIA dalam sidang National Security Council (NSC) AS pada Maret 1957 mengatakan dengan optimis “proses disintegrasi Indonesia terus belanjut sampai pada tahap tinggal Jawa saja yang masih di bawah kekuasaan pemerintah pusat (Jakarta).” Namun AS salah, tak membutuhkan waktu lama tentara Indonesia mampu menggulung pemberontakan di Sumatera dan Sulawesi. Skenario AS mengisolasi Jawa berantakan, CIA segera menyadari kesalahannya, ternyata para tentara yang dikerahkan untuk melawan pemberontakan di dua pulau tersebut adalah para perwira antikomunis. Sejak saat itu pemerintah AS melalui CIA dan kedutaan AS di Jakarta mulai membuat kontak dan membangun kerja sama dengan para perwira antikomunis di Angkatan Darat (AD) untuk melibas PKI.
.
Demi melancarkan usahanya, sejak 1958 sampai 1965 AS telah mengeluarkan $10-20 juta bantuan kepada AD. Program pendidikan perwira telah meluluskan 2.800 perwira AD sejak 1950 sampai 1965, khususnya dari pusat pendidikan militer AS di Fort Bragg dan Fort Leavenworth. Pemerintah AS juga mengembangkan program civic action, suatu program keahlian sipil (pendidikan, pertanian, transportasi, kesehatan, sanitasi, dll) untuk para prajurit AD agar mereka siap jika sewaktu-waktu berhasil merebut kekuasaan. Kolonel Goerge Benson, atase militer Kedutaan AS di Jakarta menjadi orang kepercayaan Jenderal Yani dalam program civic action di AD. Pada Desember 1961, NSC menyetujuai pengeluaran biaya civic action dan menyebutnya sebagai “pelatihan rahasia bagi personel militer dan sipil terpilih yang akan ditempatkan pada kedudukan-kedudukan kunci.”
.
Pada Januari 1965, Jenderal Yani mulai bertemu dengan Jenderal Suprapto, Jenderal Haryono, Jenderal Parman, dan Jenderal Sukendro, mereka dikenal sebagai kelompok “brain trust” (kekompok pemikir). Kelompok ini yang oleh D.N Aidit, Ketua Commite Central PKI disebut sebagai Dewan Jenderal. 
.
Dokumen rahasia AS/NSC yang telah diterbitkan menyebut para jenderal itu bertemu secara rutin dan rahasia. Howard Jones, Duta Besar AS yang mendapat informasi dari salah seorang informannya di AD segera mengirim kawat ke Washington “AD sedang menyusun rencana untuk mengambil alih pemerintah pada saat Sukarno turun panggung.” 
.
Pada Maret 1965, Howard Jones dalam rapat tertutup dengan para pejabat Departemen Luar Negeri AS di Filipina mengatakan “dari sudut pandang kita, percobaan kup yang gagal oleh PKI kiranya menjadi perkembangan efektif untuk mengubah kecenderungan politik di Indonesia.” Jones menganggap kudeta yang gagal dari PKI merupakan dalih efektif untuk mengubah kiblat politik Indonesia. 
.
Gagasan menjebak PKI dalam skenario kudeta gagal sebenarnya telah tersebar di kalangan korp diplomatik negara-negara sahabat AS sebelum Jones berbicara di Filipina. Edward Peck, Wakil Menteri Luar Negeri Inggris menyarankan “barang kali banyak yang harus dibicarakan untuk mendorong PKI melakukan kup prematur selagi Sukarno masih hidup.” Menjawab Peck, Komisaris Tinggi Selandia Baru di London pada Desember 1964 mengatakan “boleh jadi merupakan cara penyelesaian yang paling berguna bagi Barat, asal kup itu gagal.” Duta Besar Paksitan di Eropa, setelah mendapat infomasi dari perwira intelijen Belanda yang bertugas di NATO, melaporkan kepada atasannya di Islamabad bahwa kup komunis premature yang sengaja dirancang untuk gagal akan memberikan kesempatan yang sah dan memuaskan bagi AD untuk menghancurkan komunis dan membuat Sukarno sebagai tawanan.”
.
Januari 1965 CIA meramalkan bahwa perjuangan untuk menggantikan Sukarno akan dimenangkan oleh AD dan elemen-elemen nonkomunis. Maret 1965 Komisi NSC/AS menyetujui proposal untuk operasi-operasi rahasia. Proposal itu juga menyebutkan bahwa sejumlah dana disalurkan kepada para tokoh-tokoh nasionalis melalui saluran-saluran aman agar merintangi jalan PKI. Dukungan besar itu membuat AS meminta imbalan AS dalam bentuk jaminan kepada sekutunya di Indonesia. Pada Juli 1965 Goerge Benson mendapatkan jaminan dari Jenderal Yani, menurut Benson Mengpangad itu mengatakan “Kami memiliki senjata, kami tidak akan membolehkan senjata jatuh ke tangan mereka (komunis). Karenanya jika terjadi bentrok, kami akan membersihkan mereka semua.” Setahun sebelumnya, pada maret 1965 Jenderal Nasution juga telah memberikan kepastian kepada Howard Jones tentang kesiagaan tentara menghadapi tantangan apabila saatnya tiba.    
.
Mendekati Oktober 1965 AS menempuh dua jalan; mengintensifkan operasi intelijen sekaligus melakukan low-posture policy (kebijakan merunduk). Operasi intelijen “menciptakan kondisi” untuk mendorong PKI bertindak gegabah mulai digas; operasi black letter (surat kaleng) dan operasi media untuk menggambarkan PKI sebagai penentang Sukarno yang ambisius dan berbahaya semakin ditingkatkan. Pada saat yang sama kedutaan AS menarik personil dan hanya menyisakan POS CIA yang beranggotakan 12 orang.
.
Setelah pecah G-30-S, AS terus mendorong AD untuk menuntaskan kemenangannya melawan PKI. Pada 5 Oktober Pos CIA di Jakarta menyatakan “AD harus bergerak cepat jika hendak memanfaatkan kesempatan melawan PKI.” Pada tanggal yang sama Duta Besar AS di Jakarta mengirim telegram ke Washington untuk mengusulkan agar AS membantu Jenderal Nasution dan Jenderal Suharto membasmi PKI. 
.
Desember 1965, AS mengirim perangkat komunikasi (mobile radio) yang canggih dari Pangkalan Udara Clark di Filipina ke Markas Kostrad untuk memudahkan komando pengganyangan PKI di daerah. AS juga menggelontorkan jutaan rupiah kepada kelompok sipil; Green, Duta Besar AS yang baru di Jakarta menggantikan Jones memberikan 50 juta rupiah kepada Adam Malik sebagai wakil Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September (KAP-Gestapu). Robert Martens, seorang anggota seksi urusan politik Kedutaan Besar memberikan daftar berisi ribuan nama anggota PKI yang disebutnya sebagai daftar “pemimpin dan kader senior”. 
.
Berapa jumlah korban jiwa akibat propaganda pengganyangan PKI? Tim pencari fakta yang dibentuk Presiden Soekarno, yang dipimpin oleh Menteri Negara Oei Tjoe Tat menyebut 78 ribu orang terbunuh. Laporan Komando Operasi Pemulihan dan Ketertiban (Kopkamtib) bentukan Soeharto menyebut satu juta jiwa melayang. Sarwo Edhie Wibowo, Mantan Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) menyebut tiga juta orang terbunuh (Buku Pengakuan Algojo 1965-Tempo Publishing).
----------------------------------------
Sumber buku “Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September & Kudeta Suharto” karya John Roose. Sebagian besar data tentang keterlibatan AS dalam kemelut G-30-S yang menjadi rujukan Roose berasal dari data-data rahasia Pemerintah AS yang telah dibuka untuk umum. Gambar dari posbagus.com.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar