Oleh F. Budi Hardiman
Buku biolog Inggris Richard Dawkins, The God Delusion, tidak baru. Buku setebal 463 halaman itu terbit di tahun 2006 yang lalu, tetapi polemik yang ditimbulkannya masih bergaung sampai hari ini. Di tengah Pandemi Covid-19 ateisme baru sempat dibicarakan dalam rangkaian perdebatan tentang sains versus agama di Facebook dan Whatsapp yang diinisiasi oleh silang pendapat antara Goenawan Mohamad dan A.S. Laksana.
Diskusi cerdas diharap dapat mengusir kesumpekan intelektual di media-media sosial kita yang sering berisi sampah digital. Keyakinan akan sains mungkin dapat menyehatkan bagi mereka yang mudah diperdaya dengan hal-hal gaib, tentu jika mau membaca. Tapi adalah baik tetap waspada.
Sains, seperti juga agama, sering berkelindan dengan kekuasaan dan oportunisme. “Pernyataan paling provokatif yang dapat dibuat seseorang tentang hubungan antara sains dan agama” demikian kata Paul Feyerabend dalam sebuah orasi,”adalah bahwa sains adalah sebuah agama”. Keduanya tidak hanya berbeda, tetapi juga bisa sama sebagai alat kuasa.
Debat yang kadang mengayun pikiran ke dunia ide itu masih berlangsung. Saya akan masuk ke dalam arena lewat pintu kecil yang jarang dimasuki dalam debat itu, yakni buku Dawkins. Menurut saya, kita dapat belajar dua hal sekaligus dari buku itu, yaitu: tentang bahaya fundamentalisme agama sekaligus tentang bagaimana antusiasme berlebihan terhadap sains dapat berakhir pada kemelaratan intelektual dalam memandang dunia real. Argumen-argumen untuk penilaian ini akan saya berikan mulai pertengahan ulasan ini.
Pada 30 September 2007 empat penulis yang sangat kontroversial dalam jagad sains popular berkumpul di sebuah rumah di Washington DC untuk berdiskusi dua jam tanpa moderator. Salah seorang dari antara mereka adalah Richard Dawkins. Tiga lainnya adalah Christopher Hitchens, tuan rumah dan penulis buku laris “God Is not Great”, Sam Harris, penulis “The End of Faith”, dan Daniel Denett, penulis “Darwin’s Dangerous Idea”.
Meski tetap memakai nama Kristiani, keempatnya secara publik mengaku ateis. Nama baptis bukan lagi ungkapan iman. Dawkins malah barangkali akan bilang namanya adalah alat indoktrinasi agama orangtuanya.
Diskusi Dawkins dan ketiga ateis lain itu direkam dan dijuduli “The Four Horsemen”, mengingatkan simbol apokaliptis dalam Kitab Wahyu. Selanjutnya mereka dijuluki dengan mana itu. Getol menyerang agama dengan pendekatan-pendekatan ilmiah, mereka berempat juga mendapat julukan “the evangelical atheists” dari media. Menyaksikan bagaimana mereka mengkampanyekan ateisme di Youtube, oksimoron itu memang tepat.
Kemunculan para ateis baru ini bukannya tanpa kaitan dengan politik global. Sejak peristiwa 9/11 dunia dilanda teror para Islamis. Presiden George Bush merasa dibisiki Allah sendiri untuk menyerang Irak dan mengumumkan perang melawan terorisme global. Baik Bush maupun para teroris Islam itu mengaku mengikuti petunjuk Allah. Tidak ada yang lebih absurd daripada kelompok-kelompok yang saling bunuh karena merasa diperintah Allah yang maha baik.
Di situ agama memang naik ke panggung global, tetapi sayangnya dengan wajah beringas yang jauh dari yang seharusnya. Semula penerbit menolak naskah Dawkins, tetapi karena pengakuan Bush itulah penerbit berubah pikiran, maka buku Dawkins sekarang ada di tangan kita.
Dalam buku itu agama dipersepsi sebagai ancaman bagi kemanusiaan. Pada apendiksnya Dawkins meletakkan daftar alamat lembaga-lembaga untuk mendukung mereka yang ingin lari dari agama. Ateisme menjadi misioner dan didukung industri media. Beberapa video di Youtube menampilkan perdebatan Dawkins dengan para apologet Kristen dan Islam.
“The God Delusion” masuk di nomer empat buku best-sellerversi “New York Times” dan menembus penjualan sampai tiga juta eksemplar. Itu adalah rekor fantastis untuk sebuah buku sains populer. Tentu ada penyebabnya. Buku itu ditulis dengan gaya popular, enak dibaca, padat polemik, ditaburi lelucon serius, logika ‘akribatis’ dan – lebih dari itu semua - provokatif. Kehebohan yang muncul setelahnya membuktikan sukses provokasi penulisnya. Di era kapitalisme media kritik-kritik pedas kepada Dawkins malah meningkatkan angka penjualan bukunya.
Dari itu Dawkins memanen popularitas. Beberapa buku yang membantah Dawkins, antara lain “The Dawkins Delusion?” karya Alister McGrath dan Joanna Collicut McGrath, dan “The Devil’s Delusion” karya David Berlinski.
Di Indonesia juga beredar buku Dawkins dalam bahasa Indonesia. Komentar-komentar atas buku itu diberikan dan kadang juga berseliweran dalam media-media sosial kita. Namun banyak yang masih fokus pada ad hoc hypothesis-nya, yakni serangannya pada agama. Padahal yang lebih penting adalah menikam ke “hardcore hypothesis”-nya sebagai seorang biolog evolusioner.
Tanpa berpanjang-panjang dengan pendahuluan ini, kita segera masuk saja menelusuri buku itu. Edisi berbahasa Inggris yang saya baca adalah terbitan Black Swan tahun 2007. Angka-angka petunjuk halaman mengacu ke edisi itu.
*
MEMBANTAH HIPOTESIS_ALLAH
“The God Delusion” tersusun dari 10 bab. Proyeknya sangat ambisius. Dia ingin mempersoalkan Allah sebagai obyek kajian ilmiah. “Saya akan menyarankan bahwa eksistensi Allah merupakan sebuah hipotesis ilmiah seperti yang lain”, tulisnya (h.72).
Untuk itu pertama-tama dia dalam bab 1 menetapkan targetnya. Yang ingin diselidikinya bukan Allah non-personal seperti diyakini Einstein, melainkan allah-allah personal dan supranatural, seperti: Yahweh, Trinitas atau Allah (h.36).
Menurutnya, seperti juga teman-teman ateisnya, Allah monoteisme ini telah menjadi sumber masalah peradaban. Sejak awal memang Dawkins menyinggung betapa berbahayanya perilaku religius. Deretan tuduhannya panjang dan masih bisa ditambah, seperti: menuntut respek berlebihan dan mudah emosional (h.46), takut pada obyektivitas ilmiah.(h.323), intoleran dan bengis kepada yang berbeda keyakinan (h.324), melakukan kekerasan dengan dimotivasi perintah Allah dan iman yang tidak bisa dipersoalkan (h.344), mengkriminalisasi homoseksualitas (h.326), melecehkan anak-anak (h.349).
Meskipun di berbagai tempat Dawkins hampir selalu mempersoalkan agama, judul bab 8 sebetulnya cocok untuk menjadi rumusan status quaestionis buku ini: “What’s wrong with religion? Why be so hostile?”
Gambaran Allah dalam bab 2 yang disodorkan Dawkins lewat pembacaan amatirnya atas Perjanjian Lama mungkin cocok untuk menjawab pertanyaannya sendiri. Allah monoteisme ini, begitu kesannya, adalah “tokoh paling tidak menyenangkan dalam segala fiksi”, yaitu: “picik, tidak adil, tukang kontrol yang tak berbelas kasihan, pendendam, pemusnah etnik yang haus darah, misoginik, homofobik, rasis, infantisidal, genosidal, filisidal, penjijik, megalomaniak, sadomasokis, perundung jahanam yang plin plan” (h. 51). Tanpa ragu dia menyebutnya “monster Alkitab” (h.68).
Cukup jelas bahwa fiksi religius inilah yang menurutnya menjadi biang kerok segala persoalan kemanusiaan dan peradaban, seperti perang agama, permusuhan kepada kelompok lain iman, dan terorisme. Ditunjukkannya bahwa tidak ada ateis yang merusak rumah-rumah ibadah, tetapi Wahhabi telah meratakan rumah nabi mereka sendiri di Mekah (h.282).
Sebagaimana dalam Pencerahan Eropa abad ke-18 fiksi menguap dalam sorotan sains, Dawkins juga ingin menghapus fiksi religius ini. Dia mengklaim bisa membawa Allah ke dalam proses investigasi ilmiah, karena menurutnya ada atau tidak adanya Allah adalah sebuah hipotesis ilmiah yang bisa diuji menurut kaidah-kaidah ilmiah (h.73).
Di sini Dawkins berbeda dari para ateis lama, seperti Feuerbach dan Nietzsche yang menyanggah eksistensi Allah hanya secara spekulatif. “Saya tidak tahu pasti,”begitu hipotesisnya,”tetapi saya duga Allah itu mustahil ada” (h.74).
Dengan hipotesis ini Dawkins menyatakan dirinya sebagai seorang ateis de facto. Sangat antusias dengan kemajuan sains, Dawkins bahkan menabrak demarkasi NOMA (non overlapping magisteria) Stephen Jay Gould yang memisahkan dunia fakta-fakta yang menjadi wilayah kerja sains dan dunia makna-makna yang menjadi wilayah iman religius. Baginya sains tidak hanya mencari fakta, tetapi juga berurusan dengan makna hidup manusia (h. 78), dan Allah adalah masalah sains (h.96).
Sebelum membuktikan bahwa Allah hanyalah sebuah delusi yang berbahaya Dawkins dalam bab 2 dan 3 memberikan bantahan atas semua argumen tentang eksistensi Allah baik yang dianut oleh berbagai keyakinan religius, entah monoteisme atau politeisme (h.51 dst.), maupun pembuktian-pembuktian rasional dalam filsafat, seperti panca marga Thomas Aquinas, argumen ontologis Anselmus (h.100 dst), dan pertaruhan yang dilakukan Pascal (h.130). Tak lupa dia juga membantah beberapa argumen praktis, seperti kekaguman atas keindahan, pengalaman religius personal. Para ilmuwan yang tetap beriman pun tidak luput dari serangannya (h.110 dst.). Dia mengejek argumen Aquinas sebagai permainan kata tanpa evidensi (h.101), tidak percaya efektivitas doa (h.85 dst) dan menganggap pengalaman-pengalaman spiritual, seperti teofani, mistik, penampakan Maria di Fatima, dst. hanyalah hasil ‘otak yang terstimulasi’ atau delusi kolektif (h.116).
Kita juga bisa mendengarkan sinisme itu dalam video-videonya di Youtube. Buatnya Bible tidak lebih daripada sebuah fiksi sejarah seperti Da Vinci Code, hanya lebih tua saja, maka bukan bukti eksistensi Allah (h.123). Di bagian lain dia mengatakan bahwa kitab-kitab suci tidak lebih daripada karya-karya sastra zaman kuno (h. 387).
Di abad ke-20 teori evolusi Darwin telah diterima dan bahkan disebarkan secara popular dalam kanal-kanal TV, seperti misalnya NatGeo. Di sekolah teori ini diplajari seabagai bagian kurikulum dan makin mengendap ke dalam akal sehat publik. Namun kelompok-kelompok fundamentalis agama masih sulit menerima teori itu. Mereka membela tesis penciptaan dalam 6 hari dan dijuluki sebagai kaum kreasionis.
Tidak semua kelompok agama menolak teori evolusi. Ada kelompok intelektual religius yang menerima teori itu, tetapi tetap mempertahankan tesis penciptaan. Mereka mewakili apa yang lalu disebut “theory of intelligent design” . Menurut mereka mustahillah keteraturan alam semesta ini terjadi kebetulan tanpa seorang perancang. Hal itu kira-kira sama mustahilnya dengan tiupan taufan badai untuk berhasil merakit kembali serpihan Boeing 747 (h.138). Jadi, para pendukung desain cerdas ini merasa telah membuktikan eksistensi Allah.
Dukungan baru untuk kreasionisme yang dimodifikasi dengan teori evolusi ini juga menjadi sasaran tembak Dawkins dalam bab 4 bukunya. Menurutnya tidak ada perancang untuk keteraturan alam. Hal-hal kompleks, seperti kosmos, otak, bacterial flagellar motor, dst. memang tidak terjadi kebetulan. Namun hal itu tidak terjadi karena desain illahi, melainkan murni sebagai hasil proses seleksi alam yang panjang (h.188).
Tesis “irreducible complexity” juga disanggahnya. Menurutnya desain adalah sebuah ilusi, karena kita baru melihatnya sebagai desain setelah seleksi alam membawa ke tahap kompleksitas (h.188). Kalaupun para kreasionis lalu yakin bahwa Alah mencipta lewat seleksi alam, Dawkins akan mempersoalkan tesis “the lazy God” itu sebagai berlebihan dan tidak diperlukan untuk seleksi alam yang dapat bekerja secara natural tanpa intervensi supranatural (h.144). Teisme yang lalu menyelinap dalam bentuk theology of gaps, yakni klaim bahwa adanya hal-hal yang tidak bisa dijelaskan sains membuktikan misteri Allah, dikejarnya dengan sanggahan bahwa gaps itu bukan milik Allah, melainkan hanya kurang data yang suatu ketika akan dimengerti juga oleh sains (h.154).
Semua bantahan yang dilontarkan Dawkins ini boleh dikatakan sebagai via negativa untuk membuktikan bahwa Allah hampir pasti tidak ada (h.189).
Hampir pasti? Mengapa tidak pasti saja? Dalam sebuah spektrum sikap dia menolak bukan hanya teisme, melainkan juga agnotisme, termasuk agnotisme yang condong ke ateisme, termasuk menolak ateisme keras yang yakin seratus persen bahwa Allah tidak ada. Sikapnya adalah ateis de facto: Ia tidak tahu pasti bahwa Allah tidak ada, tetapi dia yakin bahwa Allah mustahil ada, maka dia hidup dengan anggapan bahwa Allah tidak ada (h.73).
Dalam hal ini Dawkins mungkin tidak banyak berbeda dari banyak orang yang mengaku religius tetapi nyatanya hidup seolah-olah tidak ada Allah. Hanya bedanya, Dawkins serius memikirkan keyakinannya dan berani menerbitkannya. Bahkan dia berani memastikan tidak ada apa-apa setelah mati. “Mati tidak akan berbeda dari tidak dilahirkan”, tulisnya, “Tak ada yang ditakutkan di dalamnya” (h.399). Tidak ada pertanyaan, misalnya, untuk apa dilahirkan, jika mati akan sama saja dengan tidak lahir.
ASAL-USUL DAN PENYAKIT AGAMA
Dawkins hanyalah riak kecil saja dari guncangan besar pandangan dunia manusia yang disebabkan oleh sains kontemporer. Dewasa ini teori evolusi masih disertai barisan teori-teori lebih baru, seperti: teori relativitas, big bang, fisika kuantum, dan teori chaos.
Bersaing dengan agama dan filsafat, sains juga ingin memecahkan misteri asal-usul alam semesta dan kehidupan. Dalam bab 5 Dawkins masuk ke dalam kancah itu dengan biologi dan mencoba menjawab teka teki lain yang selama ini belum disentuh biologi, yaitu: tentang asal-usul agama.
Secara umum “The God Delusion” dibangun di atas dua macam hipotesis: “hardcore hypothesis” yang mengorek akar-akar psiko-biologis monoteisme dan moralitas dan “ad hoc hypothesis” yang menunjukkan keanehan perilaku religius di dunia modern.
Cukup jelas dengan “hardcore” ini dia ingin menjelaskan asal-usul agama “dari bawah” atau apa yang disebutnya – meminjam istilah Daniel Dennett- pendekatan “crane” (biologis) dan bukan dari atas atau pendekatan “skyhook”(teologis) (h.188). Berbeda dari “skyhook” yang “mencomot” obyek dari atas, “crane” mengangkat obyek satu per satu menjadi bangunan. Dengan cara itu dia mengklaim menemukan bahwa asal-usul agama adalah sebuah respons yang keliru dalam evolusi manusia.
Detailnya akan saya uraikan di bawah ini.
Dawkins mendalami etologi, ilmu tentang perilaku binatang. Dia, misalnya, mengamati ngengat. Menurutnya ada hal yang menarik dari perilaku serangga ini. Jika ada nyala lilin, ngengat akan terbang masuk ke nyala itu, lalu jatuh dan mati. Dahulu ketika belum ada cahaya buatan, serangga menggunakan cahaya bulan sebagai kompas. Perilaku itu masih dipertahankan setelah ada lilin atau lampu listrik, maka serangga seperti ngengat itu sebetulnya terkecoh dengan nyala lilin dan ‘salah target’ (h.201). Kata Inggris yang dipakai Dawkins adalah “misfiring” yang artinya bisa kemacetan atau stagnasi, yakni tidak lagi berkembang. Dawkins pun berpikir bahwa perilaku ngengat ini menyingkap sesuatu tentang hakikat atau ‘akar-akar’ agama. Perilaku religius, seperti ritual, doa, dan terutama percaya tanpa pertanyaan, adalah hasil samping seleksi alam yang salah target dan tidak efisien.
Untuk menjelaskan salah target itu, etologi saja tidak cukup. Dawkins juga menggunakan psikologi evolusioner. Menurutnya dahulu dalam proses evolusi lewat seleksi alam, perilaku (yang sekarang disebut) ‘religius’ itu pernah berguna, mirip seperti perilaku ngengat yang menggunakan cahaya bulan sebagai kompas.
Apakah perilaku yang pernah berguna itu? Pembaca, sekurangnya seperti saya, akan mengira bahwa jawabannya akan membuka pencerahan ateistis baru yang akan mengguncang iman. Sudah dapat ditebak, dia bilang bahwa kebiasaan ngengat untuk menggunakan cahaya bulan sebagai kompas itu sejajar dengan sikap anak kecil yang patuh buta kepada otoritas orangtuanya. Jadi, sikap patuh buta itu dimasa kanak-kanak memang pernah berguna, dan hal itu juga tertanam dalam modul-modul otak anak. Namun karena sikap itu bertahan sampai dewasa dalam perilaku religius, perilaku itu menjadi salah target atau mengalami stagnasi dibawa sampai dewasa (h. 202-203).
Hipotesis Dawkins kelihatan seperti versi lain Freudianisme. Memang tidak ada Urvater(pentolan purba) yang mengendap sebagai superego. Yang ada adalah salah target atau stagnasi. Namun baik Dawkins maupun Freud sepakat bahwa asal-usul agama adalah psikologis. Hanya karena kurang mendalami psikologi, argumen Dawkins superfisial saja dan kurang mengorek kehidupan batiniah.
Lalu bagaimana dia menjelaskan dimensi supranatural agama yang ditolaknya? Bukankah orang beragama yakin adanya jiwa dan kehidupan setelah mati? Penjelasan a la “crane” yang ditawarkannya lumayan menarik, meski dapat dibantah juga.
Mengacu pada temannya, Dennett, ia berpendapat bahwa dualisme tidak lain dari hasil dari apa yang disebut Denett “intentional stance”. Otak kita akan bekerja cepat saat menghadapi bahaya, misalnya, macan yang siap melahap kita. Jika situasi sosial begitu kompleks, otak kita memunculkan intensionalitas ‘tingkat lebih tinggi’, bisa tingkat tiga, empat, lima…dst., dan intensionalitas yang tinggi ini tidak berbeda dari fiksi (h.213).
Ini terdengar pas dengan hukum survival, yakni bahwa dualisme jiwa-badan dan dunia sini-dunia sana adalah fiksi yang merupakan bagian survival mechanism manusia. Pada anak-anak lompatan ke fiksi dualistis itu lebih cepat terjadi (h.205).
Dengan hipotesis itu Dawkins mau mengatakan bahwa perilaku religius adalah hasil sebuah delusi, yakni: keyakinan atau kesan keliru yang getol dipertahankan kendati adanya bukti-bukti baru. Agamawan menganggap “suara” dalam diri mereka adalah Allah atau pengalaman religius, padahal adalah diri mereka sendiri.
Allah memang bukan hasil kebiasaan leluhur kita untuk mendengarkan “suara” itu, seperti anak-anak punya teman imajiner yang disebutnya – dipinjam dari puisi A.A. Milne – “Binker” atau – yang lebih dikenal adalah – “Kitty” dalam buku harian Anne Frank. Namun Binker atau Kitty ini juga bukan dari Allah nenek moyang kita. Menurut Dawkins baik Allah maupun Binker adalah hasil samping seleksi alam, sebuah salah target (h. 393). Pengalaman spiritual tidak lebih dari sebuah delusi dan juga semacam jatuh cinta atau adiksi yang mengaburkan pikiran (h.215).
Begitulah, menurutnya, salah target itu bertahan dan bahkan berkembang sebagai memeyang kian kompleks sehingga kita lupa akar-akar biologisnya. Dawkins lalu menemukan contoh bagaimana terjadinya agama, yakni dalam Cargo Cult di pulau Tanna di Vanuatu. John Frum, digambarkan sebagai anggota angkatan udara Amerika yang mendarat di pulau itu, dianggap tuhan, dan pesawatnya dijadikan obyek ritual sambil menantikan kedatangan Frum untuk kedua kalinya (h.234), keyakinan yang mirip dalam eskatologi Kristiani. Agama baru ini sekarang sudah menyebar sebagai memedi kepulauan itu.
Teka teki yang juga sulit dipecahkan adalah asal usul moral, dan karena hubungannya erat dengan agama Dawkins mau tak mau harus menjelaskannya. Di bab 6 dia ingin mematahkan anggapan umum bahwa agama adalah sumber moral. Menurutnya untuk bermoral tidak perlu beragama karena asal-usul moral bisa dijelaskan secara non-religius, yakni secara biologis (h. 318).
Artinya, kita bisa buang penjelasan religius sebagai berlebihan. Yang harus dibidik adalah sikap altruis, karena terjadinya moral adalah juga terjadinya altruisme. Di sini Dawkins mengacu pada bukunya yang lain yang juga popular, “The Selfish Gene” (1976). Bagaimana dari gen egois kita bisa memperoleh altruisme? Jawabnya, altruisme adalah juga produk seleksi alam, yaitu: gen egois lebih suka pada kerabat genetisnya di mana altruisme menjadi norma, seperti dalam kalimat “berbuat baiklah kepada anakmu sendiri” (h.247).
Di samping itu seleksi alam juga menghasilkan altruisme dalam arti kesalingan, pencarian reputasi, dan kemurahhatian sebagai iklan (h. 251). Moralitas tidak turun dari langit, melainkan hasil adaptasi manusia terhadap lingkungan biologisnya. Dalam bab 7 dia menunjukkan bagaimana “Zeitgeist” moral modern meninggalkan moral agama yang masih berkutat dengan dikotomi kita dan mereka. Penghapusan perbudakan, kesetaraan jender, antidiskriminasi ras adalah “Zeitgeist” moral baru yang menurutnya melampaui eksklusivisme agama (h.300-301). Jika egoisme menjadi motor evolusi, apakah yang menarik homo sapiensuntuk melampaui ikatan-ikatan kekerabatan, ras, agama?
Di bawah lensa Zeitgeist moral baru itu perilaku religius menurutnya kelihatan aneh. Bab 8 dan 9 membahas ad hoc hypothesis itu. Disebut “ad hoc” dalam arti tidak terkait langsung dengan hardcore dan tidak menambahkan sesuatu yang penting padanya untuk diuji secara ilmiah.
Pertama, menurutnya moral yang diilhami agama mengkriminalisasi homoseksualitas. Kalau saja delusi Allah dilenyapkan, tentu LGBT bukan masalah (h. 329). Kedua, moral agama melarang aborsi. Menurutnya tidak ada yang mengawasi klinik-klinik aborsi. Embrio manusia tidak istimewa karena kontinu dengan hewan-hewan lain. Selama belum tumbuh sistem saraf padanya, janin tidak menderita. Kalaupun punya, dia kurang menderita dibanding sapi dewasa yang digiring ke rumah jagal (h.331).
Ketiga, agama memaksa anak-anak untuk menganut agama orangtuanya. Indoktrinasi religius dianggap wajar. Baginya tidak ada anak Kristen, anak Yahudi atau anak Islam; yang ada adalah orangtua Kristen, Yahudi atau Islam. Baru setelah dewasa ia boleh memilih agama atau tidak memilih sama sekali (h.382).
Percakapan moral itu bermuara pada bab terakhir, bab 10, juga masih ad hoc, yang berisi antusiasme Dawkins sendiri kepada sains. Sudah dapat ditebak, dia yakin bahwa fungsi-fungsi yang dahulu dimainkan oleh agama, yakni: menjelaskan makna, memotivasi, menghibur dan menginsporasi, akan diambilalih oleh sains (h.389). Dengan penutup ini “The God Delusion” tidak sekadar buku ilmiah popular; buku ini juga sebuah janji kemenangan sains atas agama dalam ateisme.
APAKAH DAWKINS MEYAKINKAN?
“The God Delusion” telah menyulut kontroversi panas. Para pembaca awam bisa terburu-buru mengira penulisnya seorang pembenci agama, lalu berhenti membaca. Para antusias sains segera menyambutnya sebagai makanan intelektual bagi keyakinan mereka.
Tetapi kita perlu berhati-hati. Tidak perlu menyobek, apalagi membakar buku itu. Juga tak perlu menganggapnya kitab suci. Letakkan saja di antara buku-buku lain. Di dalam kehiduan ini tidak ada hal yang seratus persen salah atau seratus persen benar. Begitu juga dengan “The God Delusion”
Pemeriksaan presuposisi segera menguak bahwa Dawkins, seperti para Pencerah Eropa abad ke-18, menganggap agama sebagai tahayul yang ia yakini bisa diusir oleh sains dan rasionalitas. Memang tahayul hilang, tetapi agama tetap ada sampai hari ini, bahkan ikut mengusir tahayul. Selain itu Dawkins juga erat berpegang pada asumsi-asumsi naturalisme yang beranggapan bahwa tidak ada pencipta supranatural yang memulai dan mengarahkan evolusi alam semesta; semuanya melulu hasil proses natural yang material. Dari bukunya jelas tampak bahwa realitas akhir adalah proses biologis, dan satu-satunya pengetahuan yang benar adalah tentang fakta seleksi alam.
Dawkins tidak seorang diri dalam reduksionisme itu. Para ateis lama dan kawan-kawannya, para ateis baru, juga begitu. Mereka yang pikirannya terbuka tidak akan terkesan, misalnya dengan argumen dangkal seperti: Jika Allah ada, tentulah Dia turun tangan untuk menyelamatkan manusia dari Pandemi Covid-19. Dia tidak terbukti secara empiris turun tangan. Jadi, Allah tidak ada. Apakah yang bisa lebih dangkal dari itu? Tentu Dawkins tidak akan terus terang memakai argumen seperti itu. Tapi kita akan mudah menemukannya bersembunyi di balik kalimat-kalimat kasar dalam bukunya. Dengan segala keberatan atau kekaguman kepadanya, pertanyaan satu ini perlu dijawab: Apakah Dawkins meyakinkan? Apakah dia dapat disetujui?
Ada hal-hal dalam “The God Delusion” yang tidak hanya dapat disetujui, melainkan juga patut diperhatikan oleh para agamawan. Pertama, sebagai kritik agama buku ini perlu ada untuk membantu agar berhati-hati terhadap dampak-dampak mengerikan dari ‘kepercayaan tanpa pertanyaan’ yang bisa muncul dari agama.
Di dalam masyarakat demokratis ateisme bisa dianggap sparing partner agama dalam mencari kebenaran. Orang selalu butuh yang lain untuk mengenal diri lebih baik. Yang lain dari agama adalah ateisme. Mengingat kritik Feyerabend, dalam masyarakat demokratis kebenaran agama yang berkuasa tanpa “check and balance” bisa berubah menjadi tirani intelektual. Dari ateisme agama bisa diimbangi secara sosiologis agar tidak menjadi dogmatis dan fideistis. Ateisme itu sendiri sebetulnya tidak memusnahkan agama, meskipun berambisi begitu. Kehadirannya dalam masyarakat demokratis malah membuktikan bahwa agama merupakan sesuatu yang penting. “Ateisme”, demikian K.R. Popper,”adalah sebuah tanda bahwa orang menganggap serius agama”.
Jadi, syukurlah ada ateisme, sehingga agamawan semakin sadar akan makna pilihan hidupnya secara jauh lebih berkualitas daripada dalam keadaan tanpa tantangan. Dalam arti ini Dawkins juga perlu dibaca para rohaniwan dan bahkan rahib.
Dawkins memang serius dengan agama, terutama karena bahayanya. ‘Delusi Allah’ – dan ini hal kedua yang bisa disetujui – bukan tuduhan konyol. Orang yang merasa dirinya benar menjalankan apa yang diyakininya sebagai perintah Allah, lalu meledakkan bom dalam ranselnya untuk menghabisi musuh Allah, tentu saja mengalami delusi yang sangat berbahaya dan berlawanan dengan akal sehat. Agama memang rentan untuk diperalat politik, menjadi alat paksa, dan juga tidak jarang dikaburkan dengan tahayul.
Konflik di Timur Tengah yang belum juga selesai sampai hari ini persis membuktikan bagaimana agama bisa menjadi bensin yang tidak habis-habisnya untuk menggerakkan mesin perang yang pergi entah ke mana. Sulit menyangkal hal itu, dan tidak perlu juga membantahnya. Namun hal-hal lain manakah, termasuk sains, yang juga tidak rentan untuk diperalat di era fungsionalisme ini? Agamawan yang waras pada umumnya tidak akan menyetujui delusi kaum radikal itu.
Meski nanti masih akan kita persoalkan, hipotesis Dawkins tentang perilaku religius sebagai hasil samping dan salah target atau kemacetan mental dalam evolusi melalui seleksi alam cukup dapat melukiskan kekonyolan radikalisme agama. Para konservatif agama membenci kelompok berkeyakinan lain sebagai kafir, karena – demikian yang mereka dengar dari para ulama literalis – nabi mereka memerangi orang-orang kafir.
Perilaku seperti itu tentu anakronis, merugikan diri dan orang lain, atau – seperti istilah Dawkins – salah target, seperti ngengat yang menabrak nyala lilin (ini mengingatkan kita juga pada 9/11). Perseteruan masa silam yang direkam dalam kitab suci dilanjutkan dengan kebencian kepada kelompok-kelompok masa kini yang sama sekali berbeda. Para fundamentalis memang gagal “move on”.
Dalam arti ini interpretasi tentang salah target atau blokade mental itu tepat. Itulah pokok ketiga yang bisa diterima.
Bagaimana dengan teori evolusi itu sendiri? Interpretasi ilmiah atas terjadinya kosmos dan perkembangan evolusionernya tidak dapat disanggah begitu saja dengan literalisme scriptural atapun dogmatisme agama karena melimpahnya bukti-bukti empiris yang terus terkumpul. Sejak Darwin kita tidak hanya bertanya tentang fungsi mata, bentuk kepala, atau kaki laba-laba, tetapi juga tentang bagaimana anatomi laba-laba itu berubah lewat seleksi alam.
Para agamawan memang perlu membuka pikirannya terhadap sains, termasuk teori evolusi. Itulah hal keempat yang bisa disetujui setelah membaca Dawkins. Ketidakcocokan antara sains dan kitab-kitab suci tidak serta merta berarti konflik di antara keduanya, karena pikiran yang terbuka akan memandang hal itu sebagai problem interpretasi kitab-kitab itu.
Secara epistemis dan ontologis sains membatasi diri pada penyelidikan empiris atas dunia obyektif, sementara agama bersangkutan dengan dunia makna eksistensial yang bersifat subyektif dan intersubyektif. Para ilmuwan sejati selalu siap mengaku salah, jika konstruksinya atas ‘fakta-fakta’ evolusi terbukti salah. Mereka hemat dengan kata ‘kebenaran’. Sikap terbuka seperti yang dimiliki para ilmuwan itu sebaiknya juga dimiliki para agamawan di era kemajuan sains.
Di samping hal-hal yang bisa disetujui di atas, ada hal-hal yang kurang meyakinkan dan lemah, untuk tidak mengatakan berantakan. Kita membatasi diri pada tujuh pokok saja.
Pertama, Dawkins menolak keyakinan religius dengan pendekatan biologistis yang menerjang NOMA (non overlapping magisterial) (h.78). Biolog ini ingin menjelaskan dunia makna eksistensial yang subyektif dan intersubyektif dengan kaidah-kaidah sains yang meneliti dunia obyektif. Betapapun Dawkins telah membantah demarkasi itu, secara epistemis demarkasi itu real sehingga dia tidak dapat menerjangnya tanpa jatuh ke dalam sikap reduksionistis. Allah memang bukan obyek sains.
Pasca “The God Delusion”, Dawkins dan para agamawan tetap berjalan dalam kereta yang berbeda, dan ateismenya tidak dianggap sebagai suatu evidensi yang universal, melainkan hanya sebagai salah satu interpretasi yang sangat miskin makna atau – meminjam istilah dari buku itu - sebuah jeu d’esprit yang harus bersaing dengan agama yang kaya makna. Bantahan terhadap argumen-argumen filosofis seperti Thomas Aquinas dan Anselmus menunjukkan ketidaksanggupannya berpikir metafisis tentang causa primadan motor immobilis dengan menolak adanya awal segala sesuatu (h. 101).
Kedua, sikap reduksionis itu tampak di dalam berapa hal dalam buku itu. Agama Abrahamistik yang telah mengalami institusionalisasi dan rasonalisasi yang kompleks sehingga tidak dapat begitu saja dijelaskan dari satu-satunya realitas, yakni realitas biologis. Tapi hal itulah yang terjadi dalam buku itu, seperti nanti masih akan masih dijelaskan pada pokok selanjutnya.
Selain mereduksi ke biologi, Dawkins, mirip dengan Freud yang mengasalkan agama pada totemisme, merasa menemukan gambaran tentang asal agama terorganisasi itu pada praktik agama tribal, yakni Cargo Cult di Vanuatu. Itupun sebuah reduksi karena sejarah tidak selalu bergerak dalam pola yang seragam di segala tempat. Penduduk pulau Sentinel yang leluhurnya dari beberapa ribu tahun lalu, misalnya, alih-alih menyembah pesawat dan pilotnya, akan mengunakan besi pesawat sebagai anak panah untuk membunuh pilot. Meski ada keserupaan, harapan Kristiani akan kedatangan Yesus kedua kalinya tidak dapat diasalkan dari peristiwa civilizational schock seperti yang dialami penduduk Vanuatu yang takjub dengan pesawat dan menunggu kedatangan lagi John Frum, tentara Amerika saat Perang Dunia II. Analisis seperti itu, jika bukan candaan, adalah sebuah kekeliruan.
Pokok ketiga kita arahkan pada “hardcore hypothesis”-nya. Hipotesis ini memuat interpretasi Dawkins sendiri yang tidak dapat dicocokkan dengan fakta yang tetap terbuka untuk berbagai interpretasi. Pada ngengat yang menabrak nyala lilin bukan hanya “bunuh diri”, melainkan juga “salah target” atau “kemacetan” adalah label-label yang kita, manusia, berikan pada fakta itu, sementara ngengat digerakkan nalurinya, sehingga kata salah atau benar tidak relevan untuk menilai serangga itu.
Dari perilaku ngengat itu kita bisa membuat beberapa interpretasi. Misalnya, interpretasi 1 adalah interpretasi Dawkins, yakni agama sebagai salah target atau ketakutan infantil pada otoritas yang berkepanjangan; interpretasi 2 bahwa salah target yang dilakukan manusia, berbeda dari serangga, justru bermakna karena peranan intensionalitas kesadarannya, misalnya dalam ritus dan simbolisme religius; interpretasi 3 bahwa kebudayaan adalah hasil salah target itu karena manusia memuaskan nalurinya, misal seks, secara tidak langsung, yakni mengalihkannya pada lukisan erotis, dan sublimasi macam itu tidak terjadi tanpa salah target.
Ketiganya bukan observasion statements, melainkan konstruksi-konstruksi abstrak. Interpretasi 1 tidak lebih benar dari 2 dan 3, dan tidak ada alasan kuat untuk mengatakan bahwa 1 lebih sesuai fakta daripada 2 dan 3 karena sama-sama abstrak.
Mengacu pada K.R.Popper, interpretasi 1 tidak falsifiable dan tidak lebih daripada versi Freudianisme yang akan dianggap Popper “unscientific”. Dawkins sebetulnya hanya ingin mengatakan sesuatu yang lebih sederhana, yaitu bahwa perilaku religius itu semacam infantilitas berkepanjangan. Tapi untuk mengatakan itu dia perlu berargumentasi secara memutar dengan teori evolusi yang ternyata juga tetap kelihatan dipaksakan untuk membenarkan anggapannya.
That is not a science but a bad philosophy. Memang “skyhook” yang ‘mencomot’ obyek dari atas kurang meyakinkan ilmuwan, karena tanpa menapak pada bumi akan roboh. “Crane” lebih meyakinkan Dawkins karena bekerja perlahan dan bertahap dari bawah, tetapi “crane” salah bekerja jika melompat. Dalam interpretasi 1 ada jurang yang dalam di antara perilaku ngengat dan perilaku religius manusia yang dilompati crane Dawkins. Bisa dipastikan crane itu roboh!
Sebelum melangkah ke pokok berikut, saya menyela dengan sebuah catatan kecil. Selama teka teki asal-usul kesadaran belum dapat dipecahkan oleh sains, selama itu pula dunia makna tidak bisa dijelaskan secara ilmiah dengan ilmu-ilmu alam. “Ledakan linguistis” yang tengah kita alami lewat Twitter, Facebook, Whatsapp, Youtube merupakan alasan untuk takjub akan kenyataan bagaimana dunia makna menjadi otonom dari dunia fakta-fakta dan makin plural. Isi kepala yang makin banyak dibuka dan dibeberkan, justru menjadi makin beragam, dan sebagai keseluruhan malah makin misterius, karena kita menjadi makin sadar akan gap yang makin lebar antara otak dan kesadaran.
“Kesadaran agaknya selalu tampak seperti sebuah mukjizat”, tulis Sam Harris, seorang neurosaintis (John Brockman (ed), “This Idea Must Die”, Harper Perennial, New York, 2015, h.138). Penulis lain lagi, Douglas Rushkoff, lebih takjub lagi dengan kesadaran. “Bertolak dari tidak adanya Allah sebagai asas dasariah penalaran ilmiah,”begitu tulisnya,”kita membuat diri kita secara tidak perlu menentang kebaruan kesadaran manusia, kesinambungan potensialnya sepanjang waktu, dan kemungkinan bahwa ia memiliki tujuan” (J. Brockman (ed.), ibid., h. 104).
Ke manakah arah evolusi kesadaran, termasuk di dalamnya evolusi bahasa, peradaban, teknologis, dst.? Banyak yang belum terjawab. Lebih daripada dunia material, subyektivitas manusia merupakan dunia tersendiri yang dapat dieksplorasi bagai perjalanan ke perut bumi sampai lapisan-lapisan asing yang tidak terduga.
Interioritas manusia ini bukan obyek ilmu-ilmu alam, melainkan ilmu-ilmu kemanusiaan, seperti psikologi, etnologi, sosiologi, ilmu komunikasi, ilmu sejarah, dan bahkan ilmu sastra. Agama juga berada dalam interioritas manusia, dan interioritas ini terjadi bersamaan dengan revolusi kesadaran yang sampai hari ini asal-usulnya masih enigmatis.
Mengapa doa harus dianggap inefisiensi dalam seleksi alam? Mengapa bukan ungkapan kesadaran tertinggi manusia? Bukankah anjing peliharaan kita tidak berdoa? Dawkins enggan masuk ke interioritas manusia itu dan buru-buru menyegel pintu masuknya dengan papan peringatan “Awas delusi!”. Kalaupun seleksi alam ikut berperan dalam asal-usul agama, proses biologis pasti tidak bekerja sendirian dan tidak dengan cara seperti dijelaskan Dawkins.
Kita lanjutkan ke pokok keempat, yakni tentang asal-usul moral. Teori ini bukan hanya kurang meyakinkan, melainkan juga memprihatinkan dari perspektif etis. Baik dan buruk dilihat Dawkins hanya sebagai masalah ‘teknis’ survival. Altruisme lewat kekerabatan genetis, pertukaran, reputasi, dan kemurahhatian sebagai iklan adalah egoisme kompleks dan bukan altruisme.
Kata ‘altruisme’ ditemukan Auguste Comte di tahun 1850 dan diartikannya sebagai sesuatu yang Anda lakukan untuk orang lain (alter) dan bukan untuk diri Anda sendiri (ego). Jadi, altruisme per definitionem
adalah pelampauan diri dan ketanpapamrihan.
Dawkins tidak beranjak jauh dari para pendukung egoisme etis di Inggris abad ke-18, seperti Hobbes dan Bentham. Altruisme tidak sejati, melainkan kedok egoisme. Di antara selfish genes bisa saja terjadi seleksi alam, tetapi cukup meragukan bahwa dari mekanisme “survival of the fittest” bisa dilahirkan altruisme sejati. Bagaimana mungkin pengorbanan diri, cinta kasih, dan keikhlasan terjadi di antara para egois alamiah? Apa sesungguhnya motor evolusi yang menarik homo sapiens untuk melampaui ikatan-ikatan biologis? Sebagaimana ada gaps antara benda dan kehidupan, antara kehidupan dan kesadaran, dan bahkan antara hukum seleksi alam dan arah tujuannya, ada gap antara egoisme dan altruisme yang tidak dapat ditambal oleh teori evolusi lewat seleksi alam.
Kalaupun Dawkins tidak suka gap ini segera diisi dengan Allah, seperti cibirannya berulang kali dalam bukunya (h.151 dst.), dia seharusnya tidak membiarkannya tetap menganga. Jika, seperti dikatakannya, sains belum bisa menjawab semuanya, mengapa pula tergesa-gesa menjadi ateis? Bukankah lebih baik membiarkan hal itu tetap terbuka baik untuk sains maupun untuk agama?
Kelima, kita perlu meninjau soal delusi Allah itu. Dawkins mencoba membuktikan agama sebagai delusi Allah, yakni: hasil seleksi alam, salah target yang tidak efisien, tak lebih dari “jeux d’esprit” (h.191), maka pengalaman religius juga sebuah delusi.
Tapi benarkah bahwa pengalaman religius, sama saja dengan “Binker” atau – demikian sebutan Anne Frank untuk buku hariannya – “Kitty”, yakni dialog dengan diri sendiri? Betulkah hal itu salah target dan tidak otentik? Pendapat seperti itu dapat dibantah dengan fakta sebaliknya dari pengalaman religius yang otentik sebagaimana diteliti psikologi. Mistikus seperti St. Teresia dari Avila, misalnya, sadar sepenuhnya, yakni tidak sedang nge-fly, bahwa dia yang berbicara dalam doanya bukan dirinya, juga bukan diri keduanya, bukan imajinasinya, juga bukan setan, melainkan Allah. Hal itu memberinya hiburan spiritual yang tidak terperikan. Dia tidak sedang berhalusinasi atau mengalami delusi Allah.
Pengalaman serupa juga terdapat dalam Islam dan Yudaisme. (lih. Robert. H. Thouless, An Introduction to Psychology of Religion, h. 145). Adanya pengalaman spiritual yang otentik ini telah membuat agama tetap menarik sampai hari ini dan tidak mudah dimiskinkan oleh interpretasi ateistis.
Keenam, tentang cara baca kitab suci. Dawkins, sama parahnya seperti para fundamentalis agama, membaca Bible secara literalistis, padahal banyak pendirian usang yang diserang Dawkins itu, seperti anggapan bahwa “outgroups” masuk neraka, larangan kebebasan berpikir, surat indulgensi dst. sudah lama ditinggalkan dalam teologi Kristiani. Jadi, Dawkins menembak ruang kosong.
Penelitian arkeologis dan eksegetis kitab suci dan refleksi teologisnya sudah pasca literal dengan menggunakan asas-asas eksegetis yang terbuka pada kritik. “Religious language-game” menggunakan simbol-simbol untuk mengacu pada pengalaman eksistensial manusia yang tentu tidak dapat diperlakukan sebagai laporan ilmiah sebagaimana dikira Dawkins. Interpretasi kitab sucinya terkesan amatir, kurang referensi, dan juga sangat dangkal, lalu didapat “monster Alkitab” itu, yang bahkan seorang fundamentalis Kristianipun tidak akan membayangkan itu.
Dengan pembacaan “cherry picking” dan argumen-argumen yang dipaksakan itu Dawkins menghindari ayat-ayat yang justru sentral bagi agama tetapi merugikan argumennya, seperti misalnya: “Allah adalah kasih” (I Yoh: 8b). Kegeramannya kepada fundamentalisme agama mengaburkan pandangannya sehingga gagal membaca pesan agama yang sesungguhnya. Ketika mentarget radikalisme agama yang melakukan kekerasan, dia memang tidak melebih-lebihkan bahaya iman yang berubah menjadi kepicikan ideologis, tetapi dia jelas melebih-lebihkan sisi kelam agama dan buta terhadap cahaya yang dibawanya.
Seandainya tidak hanya mempelajari biologi, tapi juga mendalami ilmu-ilmu kemanusiaan, Dawkins tentu akan lebih sabar dengan ambivalensi manusia dan agamanya dan interpretasinya tidak akan semelarat itu.
Ketujuh dan terakhir, para antusias sains seperti Dawkins sangat tajam mengkritik agama sebagai ancaman kebebasan dan bahkan paksaan kepada anak-anak. Hampir satu bab, yakni bab 9, dia bicara soal ini. Menurutnya agama telah menciptakan sebuah sistem paksaan yang tidak dipersoalkan lagi sehingga kita tidak lagi menyadari sebagai paksaan. Anak-anak pun diasuh menurut agama orangtuanya. Anak Kristen, anak Muslim atau anak Yahudi adalah bentuk indoktrinasi, katanya. Keberatan terhadap kritik Dawkins, misalnya, bahwa anak-anak kecil masih dalam hak asuh orangtua mereka, pasti tidak digubris.
Kelemahan argumen Dawkins terletak pada anggapan bahwa sebuah masyarakat ilmiah yang bebas agama akan jauh lebih menghargai kebebasan anak-anak daripada masyarakat religius. Siapa dapat menjamin hal itu? Antusiasme itu salah sejak awal. Bukankah sains pun bisa menjadi paksaan baru kepada anak-anak?
Kritikus sains yang cukup ekstrem seperti Feyerabend bisa lumayan mengimbangi Dawkins. Menurutnya sains di zaman kita sudah menggantikan agama. Saat ini orangtua masih bisa memilihkan anaknya sekolah, entah berbasis agama atau tidak, tetapi tidak ada sekolah bebas sains. Anak-anak mau tak mau belajar matematika dan ilmu alam, jika mau sukses. Orangtua harus mendesakkan hal itu sejak dini, kalau tidak mau dianggap tak bertanggungjawab (Feyerabend, Erkenntnis für freie Menschen, Suhrkamp, Frankfurt a.M., 1979, h.103).
Sains yang mengganti agama dalam menduduki kekuasaan akan bisa sama tiranisnya dengan agama di masa lalu. Jadi, selama masih hidup di dunia yang penuh ambivalensi, kita harus tetap waspada terhadap ideologisasi apapun, termasuk terjadap ideologisasi sains.
DUNIA REAL DAN MELARATNYA ATEISME
Dari seluruh isi buku yang sangat bersemangat menyerang agama itu ada satu hal menarik yang dapat kita pakai untuk menutup uraian ini. Menjelang akhir “The God Delusion”, Dawkins bicara tentang model. “Apa yang kita lihat dari dunia real”, begitu tulisnya,”bukanlah dunia real apa adanya, melainkan sebuah model tentang dunia real yang ditata dan disesuaikan oleh data indra – sebuah model yang terkonstruksi sedemikian sehingga berguna untuk menghadapi dunia real” (h.416-417).
Di sini Dawkins benar. Binatang yang di darat, yang terbang atau yang berenang melihat dunia real dengan model mereka masing-masing yang berbeda satu sama lain. Manusia tentu jauh lebih kaya lagi melihat dunia. Ide ini bijaksana, tetapi sayang sekali tidak ditulis di awal atau bagian-bagian lain. Kalau Dawkins konsisten dengan ide ini sehingga berlaku juga untuk ateismenya, dia harus setuju bahwa ateisme hanyalah salah satu model untuk melihat dunia real, sementara agama adalah model lain lagi.
Seperti dikatakan Paul Feyerabend, dalam masyarakat demokratis ateisme dan bahkan rasionalitas bukanlah wasit bagi model-model berpikir, melainkan salah satu model saja (bdk. Feyerabend, Erkenntnis für freie Menschen, Suhrkamp, 1979, h. 54).
Tentu pada manusia ada model yang lentur sehingga menangkap kekayaan dunia real, ada penggantian model yang memungkinkan perspektif lain, dan ada model ketat yang memiskinkan padangan dunia real. Untuk model ketat itu Dawkins memakai ilustrasi dari praktik para konservatif Islam, yakni burka. “Apa yang dilakukan sains untuk kita” begitu katanya,”adalah melebarkan jendela. Dia membuka lebar-lebar sehingga pakaian hitam yang memenjarakan itu turun hampir seluruhnya, menyodorkan panca indra kita kepada kebebasan yang segar dan bergairah” (h. 406). Jelas alamatnya adalah para agamawan yang dianggapnya picik, tidak efisien, infantil, irrasional, penuh kebencian, dst.
Tujuh keberatan yang saya ajukan di atas perlu dilengkapi dengan sebuah saran agar nasihat Dawkins tentang burka itu juga dialamatkan kepada dirinya sendiri. Jika sains dan model ketatnya dikira sama dengan dunia real, keduanya berubah menjadi ‘burka intelektual’ yang melihat dunia real, termasuk kompleksitas realitas agama, hanya dari satu sisi, yaitu: sisi empiris.
Sains sebagai sains memang bekerja demi sisi empiris dunia, tetapi sains tidak bisa dijadikan prinsip hidup yang jauh lebih kaya. Dawkins tidak mau mencoba melihat dunia dari sisi non-empiris karena hal itu dianggapnya konyol dan mustahil. Dengan ateismenya dia tidak lagi bersikap sebagai seorang ilmuwan, melainkan sebagai seorang pembela agama yang benar yang menganggap keyakinan-keyakinan lain omong kosong. Sama seperti fundamentalis agama, dia tidak ingin mencoba melihat dengan cara lain karena memang tidak punya cara lain selain mereduksi kompleksitas dunia ke model ketatnya. Itulah kemelaratan ateismenya.