Jumat, 28 Juni 2024

Nashar, Pelukis Minang di Teras Marginal

 

Kehidupan pelukis Nashar tercermin dari goresan kuasnya diatas kanvas yang penuh teka-teki, sulit dimengerti. Dalam berkarya, ia memilih jalan sunyi, marginal dari pasar.

Padahal, Nashar begitu produktif melukis. Ratusan lukisannya tersebar di beberapa kolektor dan galeri. Lukisannya pun bisa dikatakan bernilai tinggi, dan sebetulnya bisa menjadikan ia kaya. Tapi nasib berkata, hingga akhir hayat, lelaki asal Pariaman ini tidak punya sepetak rumah pun.

Ia selalu membawa sketsa, ditulis lalu dituangkan di atas kanvas. Lukisan dia bukan tak dilirik pasar, justru ia memilih untuk tidak dalam dekapan pasar atau melukis untuk pasar.

Mendiang Jeffrey Hadler (sejarawan dari University of California, Barkeley), beberapa tahun lalu, datang ke Universitas Andalas, Padang, dalam rangka meriset Nashar.

Dalam kesempatan tersebut, Jeffrey Hadler mengatakan Nashar adalah pelukis Indonesia yang sangat idealis, memilih marginal dari pasar. Ia melawan arus komersialisasi dari seorang pelukis.

Nashar lahir di Pariaman, Sumatera Barat, 3 Oktober 1928. Sedari kecil sudah hidup dalam gelimang kemiskinan. Ketika zaman penjajahan Jepang, Nashar diboyong merantau ke Jakarta oleh keluarganya.

Nashar lebih menjadi liar ketika ayahnya menikah lagi. Ia memilih dunia seni lukis, ketimbang menjalankan keinginan ayahnya agar menjadi pedagang.

“Nashar , orang Pariaman yang besar di rantau. Ketika zaman revolusi, ia bergabung dengan Seniman Muda Indonesia (SMI), dan mengikuti lembaga itu pindah ke Madiun dan Solo. Nashar juga pernah tinggal di Yogyakarta di sanggar Affandi,” jelas Jeff, panggilan Jeffrey Hadler.

Titik penting Nashar dalam dunia lukis adalah ketika dibaptis ‘tak berbakat’ oleh Bapak Seni Rupa modern Indonesia Selo Sudjojono.

Ajip Rosidi dalam buku Mengenang Orang Lain: Sejumlah Otobiografi, menuliskan, Pertemuan Nashar dengan Sedjojono bermula ketika Nashar mendaftar belajar melukis yang diselenggarakan Keimin Bungka Sidhoso -Pusat Kebudayaan Jepang-, yang dipimpin Sudjojono.

Mungkin saja maksud Sudjojono baik, supaya Nashar terus belajar tiada akhir. Dan kata-kata Sudjojono pula kemudian menjadi cemeti bagi Nashar untuk membuktikan bahwa dia berbakat.

Dimata Ajip, Nashar orangnya begitu keras kepala. Ia pantang menyerah untuk terus bisa membuktikan bisa melukis, terutama kepada Sudjojono yang menyepelekannya.

Kepada kawan-kawannya sesama pelukis dan juga mahasiswanya kelak, Nashar sering melafalkan kalimat seperti ini, “Bila kau tak memiliki bakat, kau harus menerobos tembok yang memisahkan tidak berbakat dan berbakat itu. Dengan begitu kau tahu, apakah kau memang tidak berbakat atau justru berbakat”.

Hari-hari Nashar sebetulnya adalah tahun 1960-an dan 1970-an. Periodik dimana dia begitu menanjak dalam berkarya, dan masa-masa kegetiran yang tertuang dalam Surat-Surat Malam yang ditulis tahun 1976.

Selepas dari Yogyakarta, Nashar hijrah ke Jakarta. Menurut Jeff, ia tinggal di rumah Lutan Madjid, tokoh dan sesepuh partai Murba. Sebelumnya, Tan Malaka pun pernah tinggal di sana.

Di rumah Lutan, Nashar bersentuhan dengan karya-karya Tan Malaka. Di Jakarta pun kemudian, Nashar melebur di Gabungan Pelukis Indonesia (GPI).

Kelak, melalui istri Lutan, Nashar mendapat jodohnya. Ia memperistri gadis Sunda. Buah percintaan mereka melahirkan 3 orang anak. Semuanya mengikuti jejaknya, jadi seniman terutama melukis.

Kesusahan hidup, menurut Jeff, tahun 1967, Nashar pernah diusir dari rumah kontrakan. Sejak itu, ia memilih nomaden.

Tinggal di Balai Budaya hingga sanggar lukis di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ), kelak berubah menjadi Institut Kesenian Jakarta.

Di ruang-ruang demikian, ia menghabiskan malam dengan melukis, dan tidur atas tikar jika merasa sudah teramat mengantuk.

“Nashar dunia wisma. Tinggal di ruang-ruang budaya di Jakarta. Ada artikel yang menulis Nashar si pelukis miskin,” ujar Jeff dalam diskusi tentang Nashar di ruang pertemuan dekanat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, Senin (22/7/2014).

Tahun 1963, Nashar ikut menandatangani Manifes Kebudayaan (Manikebu). Ia pun terlibat dalam pendirian LPKJ tahun 1976.

Nashar terkenal sebagai sosok yang idealis, konsisten menjaganya tanpa mau berkompromi terutama kemauan pasar.

“Ia tidak suka menjual lukisannya. Jika hanya butuh uang, ia lemparkan ke mahasiswa membeli lukisannya berapa pun duit adanya,” terang penulis buku Sengketa Tiada Putus yang meninggal dunia 11 Januari 2017 ini.

Nashar, dikatakan Jeff, memberi contoh melukis 100 persen murni melukis. “Nashar setia sekali dengan hati dan ide dia sendiri,” tukasnya.

Seperti juga hal yang ditulis Ajip, bagi Nashar, melukis adalah ekspresi diri, sehingga apa yang ia lukis merupakan pancaran dari dirinya. Melukis juga telah menjadi pacar sejati baginya hingga akhir hayat.

“Nashar adalah contoh monumental tentang dedikasi seniman terhadap keseniannya,” kata Ajip.

Dalam melukis, Nashar mengesampingkan teori. Ia mengembangkan kemungkinan-kemungkinan untuk menghasilkan karya yang imajinatif, dengan mendekonstruksi teori seni lukis.

Jeff sendiri berpendapat, Nashar beraliran sosio realis. Lukisannya absrak seperti pola hidupnya. Lukisan Nashar, kata Jeff, memiliki ciri khas seperti ada sesuatu organik, binatang, dan ada goresan terang.

Penyair Sumatera Barat Rusli Marzuki Saria menilai, Nashar sangat total dalam melukis. Ia menghayati bahwa orang Minang dalam membangun republik dalam kondisi kemelaratan.

Salah satu lukisan terkenal Nashar adalah Renungan Malam. Lukisan tahun 1978 ini, Nashar mengungkapkan bagaimana perasaannya pada bentuk-bentuk bebas dari representasi alam atau objek apa pun.

Dalam melukis atau pun diskusi dan menulis, Nashar selalu ditemani kretek dan juga bir.Budayawan Sumatera Barat Edi Utama yang mengenal dekat Nashar, mengatakan, diskusi sambil minum bir di Taman Ismail Marzuki (TIM) adalah hobi Nashar.

“Ia seperti sufiistik. Ia tidak terlalu banyak memikirkan hidup,” ujar Bung Edi.

Menurutnya, Nashar hadir sebagai sebuah pribadi antara ada dan yang tiada.

Nashar meninggal di Jakarta, 13 April 1994, dalam usia 65 tahun. Ia meninggal dalam masa-masa sulit. Bahkan untuk biaya berobat, ia mencoba menjajakan lukisan melalui kawan-kawan. Namun itu tidak menolong.

Nashar memiliki tiga orang anak yakni Anwar Juliadi, Sugata Nashar, dan Buyung Sujali (Alm).

Sama seperti Nashar, anaknya juga menapaki dunia kepelukisan. Anwar begitu menghormati Nashar dan juga karyanya, kata Jeff, sementara Sugata melanjutkan estafet gaya hidup Nashar, dengan tetap tinggal di Balai Budaya Jakarta saat ini.

 



 

Peminggiran dan Penggerusan Identitas Masyarakat Suku Tengger

 


Peminggiran dan Penggerusan Identitas Masyarakat Suku Tengger



Desantara Tengger, yang penduduknya dulu dikenal sebagai petani tradisional yang tangguh, yang ramah dan suka memuliakan tamu-tamu mereka, yang tidak mengenal kasta, ini telah sejak lama menjadi medan persaingan (kontestasi) yang kompleks antarberbagai kelompok dan kepentingan dalam bidang ekonomi dan agama—yang berpengaruh besar terhadap perubahan sosial-budaya masyarakat Suku Tengger. Awalnya adalah pembukaan wilayah Tengger pada akhir abad ke-17 sebagai sentra perkebunan yang luas, terutama di lereng bawah, oleh VOC Belanda. Cengkeh, kopi, kakao, tumbuh subur di sana, dan mendorong perpindahan penduduk dari luar Tengger.

Robert Hefner, antropolog dari Boston University, penulis Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik, mencatat, mula-mula banyak warga Madura dan orang-orang Jawa bagian barat pindah mendiami wilayah Pegunungan Tengger di lereng bawah. Seiring makin derasnya arus migrasi, warga di lereng bawah yang rata-rata beragama Islam pun beranjak mendominasi dalam berbagai bidang, mengalahkan masyarakat Tengger di lereng atas. Tak hanya dominan dalam ruang sosial-politik, mereka kemudian juga mendominasi perumusan berbagai kebenaran atas dasar Agama Islam.

Pada zaman pendudukan Jepang, kondisi sosial dan ekonomi Tengger menjadi runyam. Jepang merusak perkebunan-perkebunan milik orang-orang Eropa di lereng bawah, menanaminya dengan pohon jarak untuk bahan bakar kapal dan pelumas senjata. Petani Tengger dipaksa membatasi pengusahaan tanaman perdagangan. Jepang juga menebangi pepohonan di Tengger untuk bahan bakar kereta api dan industri batu bara, padahal pepohonan itu berfungsi penting bagi kelestarian air dan tanah. Perilaku tentara Jepang yang kejam, ditambah beban kerja-paksa, membuat banyak warga muda Tengger melarikan diri ke dataran bawah.

Setelah Indonesia merdeka, keadaan cukup membaik, situasi ekonomi di pegunungan Tengger kembali bangkit. Namun, kondisi itu tak berlangsung cukup lama karena satu generasi kemudian terjadi tragedi G30S/1965, yang lalu menjadi gerbang berbagai perubahan sosial besar bagi Suku Tengger.

Hefner melaporkan, sejak masa penjajahan ada dua golongan utama yang mendominasi kawasan Tengger. Di dataran rendah, di Pasuruan dan sekitarnya, NU (Islam) merupakan organisasi paling besar, sementara kelompok kejawen mendominasi dataran tinggi Tengger. Mayoritas kelompok kejawen inilah yang kelak bergabung dengan PNI dan PKI.

Pada 1960, pemerintah Orde Lama menetapkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA No. 5/1960), yang menjadi landasan program redistribusi tanah atau landreform. Dalam perkembangannya, di kawasan Tengger, orang-orang PNI banyak yang terlibat kasus-kasus penggelapan tanah-tanah bekas perkebunan untuk kepentingan pribadi, sementara PKI memanfaatkan momentum itu untuk merebut simpati para petani miskin dengan aksi-aksi perampasan tanah dari “tuan-tuan tanah”, para pemilik lahan-lahan luas.

Praktis, ketika G30S meletus, darah segera tumpah-ruah membasahi bumi Tengger. Pembantaian menggila bukan hanya semata karena klaim-klaim kebenaran agama dan keyakinan politik antara orang bawah dengan orang atas (Tengger), tetapi juga bersebab perebutan kepemilikan tanah dan issu-issu landreform. Selain itu, juga disebabkan persaingan berebut ruang sosial antara orang Tengger dengan para migran Jawa-Madura di lereng bawah yang berlangsung sejak zaman penjajahan.

Sepanjang kurun akhir 1960-an sampai pertengahan 1970-an itu, sekadar menjadi Wong Tengger saja sudah merupakan hal mengerikan. Identitas “Tengger” menimbulkan ketakutan tersendiri karena selalu dilekatkan dengan “non-Islam”, antek PKI. Fenomena itu jelas sangat buruk dampaknya bagi Wong Tengger.

Trauma massal tentu saja menghantui masyarakat Suku Tengger pasca-G30S/1965. Dalam kondisi sekelam itu, identitas Wong Tengger kembali dicederai, kali ini oleh kebijakan pemerintah dalam hal beragama. Penguasa Orde Baru hanya mengakui adanya lima agama resmi, dan keyakinan masyarakat Tengger tidak termasuk salah satunya. Mereka adalah penganut Hindu-Jawa, atau Agomo Budo-Tengger—yang berbeda dengan agama Buddha maupun Hindu Dharma.

Lewat perdebatan alot antarpara dukun pandhita (pemuka agama) Tengger pada 1973, akhirnya diputuskan bahwa orang-orang Tengger secara resmi akan memeluk Agama Hindu. Keputusan itu pun tak mencapai mufakat, sebab dukun dari Desa Ngadas-Malang lebih memilih Buddha dibanding Hindu.

Namun, permasalahan agama Tengger rupanya tak kunjung selesai hingga hari ini. Tak sedikit peneliti yang merekam kekuatiran beberapa dukun Tengger akan upaya-upaya pemurnian (purifikasi) agama Hindu, atau tepatnya: intervensi kebiasaan Bali dalam susunan ritual adat Tengger. Kekuatiran itu dibenarkan salah satunya oleh Mbah Mudjono, Koordinator Dukun Tengger sekaligus Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Probolinggo. Ia mengaku, ada beberapa tokoh Bali yang mencoba membujuknya untuk menyertakan kebiasaan Bali dalam upacara adat di Tengger, dan ia menolaknya karena menurutnya adat Bali sama sekali berbeda dengan adat Tengger.

Selain “Balinisasi”, terjadi juga perebutan klaim antaragama: Islamisasi, Kristenisasi, dan Buddhanisasi. Persaingan antara pendakwah Budha dengan Hindu memang tak begitu kentara, tak tampak secara formal, tetapi terjadi di bawah permukaan sejak 1968 sampai sekarang. Sedangkan Islamisasi dan Kristenisasi berlangsung secara lebih mencolok mata.

Beriringan dengan masalah agama, kultur pertanian tradisional Tengger berubah drastis akibat revolusi hijaunya Orde Baru. Tanaman pangan diganti tanaman komersial. Di lereng tengah, singkong dan jagung (makanan pokok orang Tengger) diganti kopi dan cengkeh. Di lereng atas, jagung diganti kentang, kubis, dan bawang merah. Pertanian baru di Tengger itu dimonopoli orang-orang kaya, karena industri pertanian butuh modal tak sedikit.

Di bidang politik, rezim Orba menerapkan kebijakan massa mengambang, floating mass, yang melarang partai politik punya cabang di tingkat kecamatan ke bawah. Terjadilah depolitisasi rakyat, pembodohan, dan “penjinakan” sikap kritis bahkan sebelum sikap itu dibangun masyarakat.

Pada saat yang sama, sistem pendidikan Orba yang kental unsur dominasi dan submissifnya (cenderung patuh kepada otoritas) lalu menciptakan lulusan bermental pegawai, pencari kerja, yang kehilangan fitrahnya sebagai individu merdeka berakal pikiran, dan lahirnya kaum intelek yang bebal kepekaan sosialnya, serta banyaknya generasi muda yang berpikiran positivistik. Hal-hal itu menjadi salah satu sebab makin banyaknya generasi muda Tengger berpendidikan yang mencari kerja ke luar daerah, yang dampaknya adalah mengaburkan perbedaan wong gunung (orang dataran tinggi: Tengger) dengan wong ngare (orang dataran rendah), serta memperlemah loyalitas kelompok.

Berbagai-bagai masalah yang mendera masyarakat Tengger sejak zaman VOC hingga sekarang seperti terpapar di atas itu memicu krisis identitas dan menipisnya rasa percaya diri akan tradisi lokal mereka. Sebelumnya, pada zaman Jepang, tradisi Tengger sudah mulai terabaikan karena saat itu tak banyak orang Tengger yang cukup mampu untuk membiayai upacara. Masa itu, banyak teks-teks doa Tengger yang disembunyikan, hingga rusak karena cuaca dan dimakan rengat ketika ditemukan beberapa tahun kemudian.

Dalam kondisi krisis identitas tersebut, masyarakat Tengger menghadapi masalah hak ulayat: pada 14 Oktober 1982, dalam Kongres Taman Nasional se-Dunia ke-3 di Denpasar, Bali, pemerintah Indonesia menetapkan dataran tinggi Bromo, Tengger, dan Semeru sebagai Taman Nasional—“suatu kawasan atau wilayah yang dilindungi pemerintah dari perkembangan manusia dan polusi”.

Pagi hari 14 Oktober 1982 itu, masyarakat Tengger bangun dari tidur dan tiba-tiba mendapati tanah-tanah adat mereka berada dalam wilayah terlarang. Terlarang mengambil kayu bakar dari hutan, terlarang memetik tanlayu (edelweiss jawa, Anaphalis javanica) yang diperlukan untuk berbagai upacara adat, tak leluasa lagi berladang gilir-balik karena mungkin saja calon lokasi ladang baru sekarang telah dikapling pemerintah sebagai bukan-zona-pemanfaatan.

Penetapan Taman Nasional tanpa konsultasi publik sebelumnya ini kelak akan menimbulkan berbagai masalah sosial, yang berpangkal pada kecenderungan pemerintah menghegemoni dan meminggirkan masyarakat, dalam hal ini masyarakat adat Tengger.[]

Foto: Sekeluarga bangsa Armenia dalam perjalanan menuju Tosari, Pasuruan. Foto diambil antara tahun 1890–1930, koleksi Tropenmuseum, Belanda. Banyak pedagang Armenia dari Amsterdam merantau ke Hindia-Belanda sejak 1800-an. Mereka terutama menetap di Jawa, mendirikan perusahaan serta perkebunan; Di antaranya di daerah Tosari, Pasuruan, tempat tinggal Suku Tengger.

http://budayajaya.com/peminggiran-da...-suku-tengger/
 



 

Bissu: Komunitas Unik dan Hampir punah di tanah Bugis

 


Bissu: Komunitas Unik dan Hampir punah di tanah Bugis

Bissu: Komunitas Unik dan Hampir punah di tanah Bugis

Bissu: Komunitas Unik dan Hampir punah di tanah Bugis

Sepertinya hanya di budaya Bugis, dikenal lima (5) jenis gender. Menurut penelitian anthropolog Australia, Sharyn Graham dalam research reportnya; Sex, Gender and Priests in South Sulawesi, Indonesia, 29 November 2002 , budaya Bugis mengenal empat jenis gender dan satu para-gender; laki-laki (oroane), perempuan (makunrai), perempuan yang berpenampilan seperti layaknya laki-laki ( calalai), laki-laki yang berpenampilan seperti layaknya perempuan (calabai) dan para-gender bissu.

Jenis yang terakhir ini lebih banyak disalah artikan dan dianggap identik dengan jenis calabai, walau secara peran dan kedudukannya dalam budaya. Bugis tidak demikian. Juga, tidak sedikit yang mempertautkan keunikan para-gender Bissu ini dengan kepercayaan lokal yang disebut Tolotang, hal yang mana dibantah secara nyata oleh komunitas Amparita Sidrap yang menjadi representasi penganut Tolotang dalam suku Bugis.

Kehadiran dan Peranannya

Gambaran pergeseran struktur nilai dalam kebudayaan Bugis selayaknya bisa kita sematkan pada salah satu realitas budaya bugis yang mulai terpinggirkan; Bissu. Peran Bissu di awal pembentukan masyarakat Bugis sangatlah kuat. Keberadaan Bissu dalam sejarah manusia Bugis dianggap sezaman dengan kelahiran suku Bugis itu sendiri.

Ketika Batara Guru sebagai cikal bakal manusia Bugis dalam sure’La Galigo, turun ke bumi dari dunia atas (botinglangik) dan bertemu dengan permaisurinya We Nyili Timo yang berasal dari dunia bawah (borikliung), bersamaan dengan itu turun pula seorang Bissu pertama bernama Lae-lae sebagai penyempurna kehadiran leluhur orang Bugis tersebut.

Menurut tutur lisan Hajji Baco’, seorang Bissu, Batara Guru yang ditugasi oleh Dewata mengatur bumi rupanya tidak punya kemampuan management yang handal, karenanya diperlukan bissu dari botinglangik untuk mengatur segala sesuatu mengenai kehidupan. Ketika Bissu ini turun ke bumi, maka terciptalah pranata-pranata masyarakat Bugis melalui daya kreasi mereka, menciptakan bahasa, budaya, adat istiadat dan semua hal yang diperlukan untuk menjalankan kehidupan di bumi. Melalui perantara bissu inilah, para manusia biasa dapat berkomunikasi dengan para dewata yang bersemayam di langit.

Bissu adalah pendeta agama Bugis kuno pra-Islam. Bissu dianggap menampung dua elemen gender manusia, lelaki dan perempuan (hermaphroditic beings who embody female and male elements), juga mampu mengalami dua alam; alam makhluk dan alam roh (Spirit). Ketua para bissu adalah seorang yang bergelar Puang Matowa atau Puang Towa.

Secara biologis, sekarang, bissu kebanyakan diperankan oleh laki-laki yang memiliki sifat-sifat perempuan (wadam) walau ada juga yang asli perempuan, yang biasanya dari kalangan bangsawan tinggi, walau tidak mudah membedakan mana bissu yang laki-laki dan mana bissu yang perempuan. Dalam kesehariannya, bissu berpenampilan layaknya perempuan dengan pakaian dan tata rias feminim, namun juga tetap membawa atribut maskulin, dengan membawa badik misalnya.

Dalam pengertian bahasa, bissu berasal dari kata bugis; bessi, yang bermakna bersih. Mereka disebut Bissu karena tidak berdarah, suci (tidak kotor), dan tidak haid. Ada juga yang menyatakan bahwa kata Bissu berasal dari kata Bhiksu atau Pendeta Buddha, sebagaimana diungkapkan oleh C Pelras dalam Manusia Bugis, hal 68, sebagai salah satu bentuk pengaruh bahasa Sansekerta dalam bahasa Bugis. Tentang agama Buddha sendiri, beberapa sanak-saudara saya yang tinggal di Sengkang mengaku masih menganut agama Buddha ini, yang dikatakan sebagai agama mula-mula orang Bugis. Mereka masih melakukan ritual keagamaan tersendiri, walau saya belum melakukan perbandingan dengan ritual agama Buddha yang dilakukan oleh umumnya masyarakat Buddha di Indonesia.
Juga ada bukti sejarah yang memperkuat fenomena ini, misalnya penemuan Arca Buddha bercorak Amarawati di Sempaga di pantai Sulawesi Selatan yang berasal dari abad II Masehi. Ditengarai bahwa para pendeta Buddha, Biksu ini ‘menumpang’ kapal-kapal dagang India menuju perairan Nusantara.

Dalam struktur budaya bugis, peran Bissu tergolong istimewa karena dalam kehidupan sehari-hari dianggap sebagai satu-satunya operator komunikasi antara manusia dan dewa melalui upacara ritual tradisionalnya dengan menggunakan bahasa dewa/langit ( basa Torilangi), karenanya Bissu juga berperan sebagai penjaga tradisi tutur lisan sastra Bugis Kuno sure’ La Galigo. Apabila sure’ ini hendak dibacakan, maka sebelum dikeluarkan dari tempat penyimpanannya, orang menabuh gendang dengan irama tertentu dan membakar kemenyan. Setelah tabuhan gendang berhenti, tampillah Bissu mengucapkan pujaan dan meminta ampunan kepada dewa-dewa yang namanya akan disebut dalam pembacaan sure’ itu. Bissu juga berperan mengatur semua pelaksanaan upacara tradisional, seperti upacara kehamilan, kelahiran, perkimpoian ( indo’ botting), kematian, pelepasan nazar, persembahan, tolak bala, dan lain-lain.Sakti?

Dari surek La Galigo sendiri sebagai referensi utama sejarah purba suku Bugis, membuktikan bahwa justru kehadiran Bissu dianggap sebagai pengiring lestarinya tradisi keilahian/religiusitas nenek moyang. Di masa lalu berdasarkan sastra klasik Bugis epos La Galigo, sejak zaman Sawerigading, peran Bissu sangat sentral, bahkan dikatakan sebagai mahluk suci yang memberi stimulus ‘perahu cinta’ bagi Sawerigading dalam upayanya mencari pasangan jiwanya; We Cudai. Di tengah kegundahan Sawerigading yang walau sakti mandraguna tapi tak mampu menebang satu pohon pun untuk membuat kapal raksasa Wellerrengge, Bissu We Sawwammegga tampil dengan
kekuatan sucinya yang diperoleh karena ambivalensinya; lelaki sekaligus perempuan, manusia sekaligus Dewa (Sharyn Graham, 2002).

Kisah kesaktian Bissu ini dapat juga kita temukan dalam kisah Arung Palakka ketika pada tahun 1667 melakukan penyerbuan bersama tentara Soppeng terhadap Lamatti, sebuah distrik di Bone Selatan, sebanyak seratus Bissu Lamatti tampil dengan senjata walida (pemukul tenun) sambil mendendangkan memmang (nyanyian). Anehnya, tak satupun senjata prajurit Bone dan soppeng yang mampu melukai para bissu sakti tersebut (LY Andaya, 2006, al 106).

Dalam ritual yang masih bisa ditemui sampai sekarang, tradisi maggiri’ merupakan salah satu pameran kesaktian Bissu. Tradisi menusuk diri dengan badik ini dimaksudkan untuk menguji apakah roh leluhur/dewata yang sakti sudah merasuk ke dalam diri bissu dalam sebuah upacara, sehingga apabila sang Bissu kebal dari tusukan badik itu, ia dan roh yang merasukinya dipercaya dapat memberikan berkat kepada yang meminta nya. Namun, apabila badik tersebut menembus dan melukai sang Bissu, maka yang merasukinya adalah roh lemah atau bahkan tidak ada roh leluhur sama sekali yang menghinggapi (Sharyn Graham).

Konflik dengan Islam?

Namun di saat yang bersamaan, karena proses konstruksi politik dan agama, Bissu dianggap sebagai satu celah yang tercela dalam masyarakat Bugis modern yang Islami karena dianggap menentang sunnatullah yang hanya mengenal jenis gender laki-laki dan perempuan, selain peran sinkretisme yang dibawanya. Bahkan salah satu doktrin yang memojokkan status mereka adalah adanya pemeo bahwa bila menyentuh Bissu atau calabai maka konon akan membawa sial selama 40 hari – 40 malam. Ironis! Menjadi bissu tidak lagi dianggap dapat menaikkan derajat sosial sebagaimana yang berlaku di masa lampau, malah mendatangkan petaka keterasingan dalam masyarakat (agamis) Bugis modern.

Dalam beberapa diskursus, eksistensi Bissu cenderung fenomenal mengingat keberadaannya yang kontroversial dalam masyarakat Bugis modern yang Islami. Karena keberadaannya yang ambivalen, bissu dianggap tidak menerima sunnatullah, karena secara fisik mereka adalah laki-laki tapi berpenampilan seperti perempuan (tranvestities). Bissu juga dianggap menyimpang dari agama karena kecenderungannya menganggap arajang dan mustika arajang memiliki kekuatan gaib dari leluhur (dinamisme). Padahal, menurut para bissu itu, mereka justru melakukan pemujaan terhadap Tuhan walau dengan tata cara ritual yang mereka yakini. Dan juga, mereka tidak menolak sunnatullah, melainkan menerima dan menjalankan sunnatullah.

Di tahun 1950-an saat pecah pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar, Bissu merupakan salah satu pihak yang paling menderita. Kahar Muzakkar menganggap kegiatan para Bissu ini adalah menyembah berhala, tidak sesuai dengan ajaran Islam dan membangkitkan feodalisme. Karena itu kegiatan, alat-alat upacara, serta para pelakunya diberantas. Ratusan perlengkapan upacara dibakar atau di tenggelamkan ke laut. Banyak sanro (dukun) dan Bissu di bunuh atau dipaksa menjadi pria yang harus bekerja keras.

Penderitaan para Sanro dan Bissu masih berlanjut ketika Orde Lama (Orla) ditumbangkan oleh rejim Orde Baru (Orba) pada tahun 1965. Keributan yang menyoroti arajang dan pelaksanaan upacara mappalili terjadi di Segeri. Arajang hampir diganyang oleh salah satu ormas pemuda yang berkuasa ketika itu. Para Bissu dan mereka yang percaya akan kesaktian arajang menjadi tertuduh penganut komunis atau anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka dianggap tidak beragama, melakukan perbuatan siriq, dianggap menganut ajaran anisme. Barang siapa masih menganggap arajang sebagai benda kramat berarti menduakan Tuhan. Di antara mereka yang tertangkap harus memilih antara mati di bunuh atau memilih masuk agama Islam serta menjadi manusia normal (pria). Muncul doktrin dalam masyarakat, bahwa bila melihat Bissu atau Wandu maka konon mereka yang melihatnya akan sial tidak mendapatkan rejeki selama 40 hari – 40 malam.

Demikian pula seluruh amal baik yang diperbuatnya selama 40 hari tersebut tidak diterima pahalanya oleh Tuhan YME. Karena itu, jika melihat Bissu atau Wandu maka dia harus diusir jauh-jauh. Banyak di antara sanro dan Bissu yang sebelumnya sangat dihormati oleh masyarakat, kini menjadi sasaran lemparan dan olok-olokan bocah di jalanan.

Gerakan pemurnian ajaran Islam tersebut mereka sebut “Operasi Toba” (Operasi Taubat) yang gencar-gencarnya terjadi pada tahun 1966. Sejak itu, upacara Mappalili mengalami kemunduran, upacara-upacara Bissu tidak lagi
diselenggarakan secara besar-besaran. Para Bissu bersembunyi dari ancaman maut yang memburunya. Masyarakat tidak lagi peduli akan nasib mereka, karena sebagian dari mereka memang mendukung gerakan “Operasi Toba” tersebut. Sebagian masyarakat yang bersimpati kepada para Bissu, hanya tinggal diam tanpa bisa berbuat apa-apa.

Namun ketika masyarakat menuai padinya, ternyata hasilnya memang kurang memuaskan sehingga beberapa masyarakat beranggapan hal tersebut terjadi karena tidak melakukan upacara Mappalili . Dengan kesadaran itulah beberapa di antara mereka menyembunyikan Bissu yang tersisa agar tidak di bunuh dan agar upacara mappalili dapat dilaksanakan lagi. Bissu-bissu yang selamat itulah yang masih ada sekarang ini. Kini jumlah mereka yang tersisa di seluruh wilayah adat Sulawesi Selatan tidak lebih dari empat puluh orang saja. Padahal untuk melakukan sebuah upacara Mappalili yang besar, jumlah Bissu minimal harus berjumlah empatpuluh orang (Bissu PattappuloE) dalam sebuah wilayah adat.

Sumber :http://forum.vivanews.com/
 



 

Gara-Gara Partai di Piala Dunia Inilah Kartu Kuning dan Kartu Merah Tercipta

 Dalam permainan sepak bola, jika salah satu pemain melakukan pelanggaran, mereka akan diberikan sebuah kartu pelanggaran berwarna Kuning atau Merah, tergantung seperti apa jenis pelanggarannya.

Kartu kuning merupakan kartu peringatan bagi para pemain yang melanggar peraturan permainan.

Jika pemain tersebut sudah mendapat kartu kuning sebanyak 2 kali dari wasit, maka mereka akan diganjar kartu merah dan harus meninggalkan lapangan.

Tapi jika salah satu pemain melakukan pelanggaran yang cukup berat dalam permainan, Ia bisa saja langsung mendapatkan kartu merah.

Sejak olahraga sepak bola ada untuk pertama kalinya di muka Bumi, penggunaan kartu pelanggaran ini tak pernah digunakan, bahkan sejak aturan dasar sepak bola disahkan di tahun 1881.

Tapi berkat pertandingan di Piala Dunia 1962 ini, kartu kuning dan kartu merah pun resmi tercipta. Seperti apakah pertandingannya? Berikut pembahasannya.

Gara-Gara Partai di Piala Dunia Inilah Kartu Kuning dan Kartu Merah Tercipta

Pada 2 Juni 1962, pertandingan fase grup di ajang Piala Dunia 1962 antara Italia dan tuan rumah Cile digelar di Estadio Nacional, Santiago de Chile. Pertandingan ini dihadiri oleh 66.057 orang penonton dan ditutup dengan kemenangan Cile, 2 gol tanpa balas.

Dua gol kemenangan Cile dicetak oleh Jaime Ramirez dan Jorge Toro di seperempat jam terakhir dari pertandingan tersebut.

Dibalik kemenangan tuan rumah Cile, pertandingan ini diwarnai perkelahian antara pemain Italia dan Cile.

Dan yang lebih parahnya adalah, aparat kepolisian pun sampai diturunkan untuk meredakan ketegangan dalam pertandingan tersebut. Bukan cuma sekali, tapi sampai 4 kali turun ke lapangan.

Kronologi dan Latar Belakang Kejadian

Gara-Gara Partai di Piala Dunia Inilah Kartu Kuning dan Kartu Merah Tercipta

Pelanggaran pertama dalam pertandingan ini terjadi saat pertandingan baru berjalan selama 12 detik. Lalu pada menit ke-8, salah satu pemain Italia yakni Giorgio Ferrini melakukan pelanggaran pada pemain Cile bernama Honorino Landa.

Karena tergolong sebagai pelanggaran yang cukup berat, Giorgio diusir dari lapangan oleh wasit, namun Ia menolak. Setelah memaksa beberapa kali untuk tetap bermain, aparat kepolisian pun turun untuk membawa Giorgio keluar dari lapangan.

Menjelang akhir babak pertama, perkelahian antara 2 pemain belakang Italia dan Cile, Leonel Sanchez dan Mario David pun dimulai. Wasit Ken Aston yang memimpin jalannya pertandingan sempat terkena pukulan Sanchez saat berusaha melerai kedua pemain tersebut.

Bukannya mereda, perkelahian keduanya kian memanas saat Mario menendang kepala Sanchez. Mario pun langsung dikeluarkan oleh wasit, namun lagi-lagi pemain Italia menolak dikeluarkan. Polisi kembali turun untuk mengendalikan situasi.

Usai mendapat tendangan dari Mario, Sanchez berniat untuk balas dendam. Bukannya menghajar Mario, Sanchez malah mengarah pemain Italia lainnya yang bernama Humberto Maschio.

Akibat perkelahiannya dengan Sanchez, Humberto mengalami patah hidung. Untuk ketiga kalinya, Polisi kembali turun ke lapangan untuk meredam ketegangan.

Situasi di lapangan pun semakin tidak kondusif, maka dari itu, Polisi kembali ke lapangan untuk yang keempat kalinya. Beruntung, itu adalah kali terakhir mereka harus ikut campur dalam meredam perkelahian antara para pemain.

Beberapa hari kemudian, cuplikan highlight dari pertandingan tersebut ditayangkan di stasiun TV Inggris, yaitu BBC.

David Coleman, komentator sepak bola legendaris Inggris menyebut kalau itu adalah pertandingan paling bodoh, paling mengerikan, paling menjijikkan dan paling memalukan sepanjang sejarah.

Dalam hasil observasinya, David menyebut kalau itu adalah kali pertamanya Italia bertemu dengan Cile di ajang Piala Dunia.

Kemudian, David menemukan fakta dimana saat pertandingan berakhir, para pemain Italia sempat dilempari batu oleh para penonton saat hendak masuk ke ruang lokernya.

Meski terhitung sebagai pertemuan pertamanya, pertanyaan pun mulai muncul dibenak publik, bagaimana bisa partai antara Italia melawan Cile bisa diwarnai oleh perkelahian yang sangat sengit? Untuk menjawab pertanyaan itu, semuanya disebabkan oleh media Italia dan Cile itu sendiri.

Jadi, sebelum hari pertandingan media Italia menjelek-jelekkan negara Cile dengan menyinggung masalah sosial, ekonomi sampai politiknya. Setidaknya, begitulah hasil tulisan yang dibuat oleh 2 jurnalis Italia yang bernama Antonio Ghirelli dan Corrado Pizzinelli.

Media cetak Italia lainnya, yakni La Nazione dan Corriere della Sera juga menyinggung Cile yang dianggap "gila" karena mengajukan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia 1962 pasca terkena gempa Valdivia pada tahun 1960.

Media Cile pun tersinggung dan membuat artikel balasan di media lokal yang menyindir masalah sosial, politik dan skandal doping dan narkoba yang dialami oleh klub Inter Milan pada waktu itu.

Menurut Daily Express, ajang Piala Dunia 1962 merupakan turnamen sepak bola Internasional yang sangat brutal dan selalu diwarnai dengan perkelahian.

Pertandingan "Kontroversial" Inggris VS Argentina di Piala Dunia 1966

Gara-Gara Partai di Piala Dunia Inilah Kartu Kuning dan Kartu Merah Tercipta

Pada 23 Juli 1966, Inggris berjumpa dengan Argentina di babak perempat final Piala Dunia 1966. Pertandingan yang digelar di Wembley Stadium, Inggris itu diakhiri dengan kemenangan tim tuan rumah lewat gol semata wayang Geoff Hurst di menit ke-78. Kedudukan 1-0 pun bertahan hingga peluit panjang ditiup.

Di penghujung pertandingan, sempat terjadi kontroversi yang melibatkan 2 pemain legendaris Inggris, Jack dan Bobby Charlton serta seorang pemain Argentina, Antonio Rattin.

Wasit Rudolf Kreitlein yang memimpin pertandingan saat itu, tiba-tiba saja memberikan sanksi kepada Jack dan Bobby Charlton, kemudian Ia mengeluarkan Antonio dari lapangan tanpa alasan yang jelas.

Gara-Gara Partai di Piala Dunia Inilah Kartu Kuning dan Kartu Merah Tercipta
Bobby dan Jack Charlton, 2 Pemain Legendaris Timnas Inggris (dok. Wikipedia)

Pelatih Inggris saat itu, Alf Ramsey melakukan protes kepada komite FIFA terkait sanksi yang diberikan kepada 2 pemainnya.

Kebetulan, Ken Aston yang sudah menjadi anggota komite FIFA saat itu mendapat inspirasi untuk merubah aturan permainan sepak bola hingga menjadi seperti yang kita kenal saat ini.

Ken Aston dan Inspirasi Terciptanya Kartu Kuning dan Merah

Gara-Gara Partai di Piala Dunia Inilah Kartu Kuning dan Kartu Merah Tercipta

Ken Aston yang mengetahui aksi protes timnas Inggris langsung pergi dari rumahnya untuk menemui mereka. Di perjalanan, saat Ken melewati lampu lalu lintas di Kensington High Street, fokusnya tertuju pada warna kuning dan merah yang berarti "awas" dan "berhenti".

Baca Juga:Kekalahan Dramatis Indonesia Lawan Irak dalam Kualifikasi Piala Dunia 2026

Ken pun sudah bertemu dengan jajaran pemain dan staff dari timnas Inggris dan sudah menerima keluhan mereka. Lalu, Ia pulang sambil memutar otak guna mencari solusi untuk permasalahan aturan permainan sepak bola yang menurutnya "mulai semrawut".

Sesampainya di rumah, Ken membicarakannya dengan sang Istri, yaitu Hilda. Dari curhatan sang Suami, Hilda mendapat ide untuk memotong potongan kertas berwarna kuning dan merah.

Hilda juga mengatakan maksud dari kedua kartu itu, yang mana maknanya mengikuti makna warna kuning dan merah pada lampu lalu lintas. Dari situlah kartu kuning dan kartu merah dalam permainan sepak bola tercipta.

Penggunaan kartu kuning dan kartu merah ini baru diaplikasikan pada ajang Piala Dunia 1970 yang digelar di Meksiko.

Selain di olahraga sepak bola, kartu kuning dan merah juga diterapkan di beberapa olahraga lain, mulai dari bulu tangkis, hoki lapangan, rugby, tenis meja sampai bola voli.


 



 

Yao Zhan, Hukuman Potong Pinggang Paling Mengerikan dari China

 


Yao Zhan, Hukuman Potong Pinggang Paling Mengerikan dari China!
Sumber Gambar

Hukuman Mati Potong Pinggang pada Dinasti Qing: Kegelapan dalam Sejarah Tiongkok

Dinasti Qing, yang memerintah Tiongkok dari tahun 1644 hingga 1912, dikenal karena berbagai aspeknya yang kompleks dan kadang-kadang kejam. Salah satu praktik yang paling mengejutkan dan mengerikan adalah hukuman mati potong pinggang, yang menjadi alat bagi pemerintah Qing untuk menegakkan kekuasaannya dengan kejam. Mari kita telusuri lebih dalam tentang praktik ini yang melahirkan ketakutan dan teror di antara rakyat Tiongkok pada masa itu.

Hukuman mati potong pinggang, atau yang dikenal sebagai "lingchi" dalam bahasa Tionghoa, adalah salah satu bentuk eksekusi yang paling mengerikan dalam sejarah manusia. Metode ini terkenal karena kekejamannya yang luar biasa. Dalam pelaksanaannya, terpidana diikat di sebuah tiang dan diberi obat bius sebagian, lalu dilakukan sayatan di berbagai bagian tubuhnya, termasuk dada, lengan, dan kaki. Pada akhirnya, pedang tajam digunakan untuk memenggal tubuh terpidana tepat di bagian pinggang, mengakibatkan kematian yang mengerikan dan lambat.

Tujuan utama dari hukuman mati potong pinggang adalah untuk menimbulkan ketakutan yang mendalam di antara masyarakat Tiongkok. Pemerintah Qing menggunakan hukuman ini sebagai alat untuk menunjukkan kekuasaan absolut mereka dan untuk menekan segala bentuk pemberontakan atau perlawanan terhadap pemerintah. Karena kekejamannya yang luar biasa, hukuman ini menjadi simbol dari kediktatoran dan tirani pemerintah Qing.

Tidak hanya menimbulkan ketakutan, hukuman mati potong pinggang juga digunakan untuk memberikan contoh kepada orang-orang lain yang berpikir untuk melawan pemerintah Qing. Dengan memperlihatkan konsekuensi yang mengerikan bagi mereka yang menantang otoritas, pemerintah Qing berharap untuk menekan segala bentuk pemberontakan atau perlawanan yang mungkin muncul di masa depan.

Meskipun hukuman mati potong pinggang digunakan secara luas selama berabad-abad di Tiongkok, praktik ini semakin menuai kritik pada akhir masa Dinasti Qing. Para pemikir dan reformis Tiongkok mulai menentangnya, menganggapnya sebagai barbar dan tidak manusiawi. Pada akhirnya, dengan runtuhnya Dinasti Qing pada awal abad ke-20 dan berdirinya Republik Tiongkok, praktik hukuman mati potong pinggang secara resmi dihapuskan.
 



 

Selasa, 04 Juni 2024

Kiprah Fraksi ABRI dalam dunia perpolitikan di Republik Indonesia

 - 

Angkatan bersenjata yang hadir dalam sebuah negara menjadi sesuatu yang lumrah. angkatan bersenjata dewasa ini merupakan alat milik negara yang digunakan untuk menegakan sebuah keteraturan dan menjaga keamanan serta melindungi kedaulatan negara dalam rangka mengantisipasi serangan dari luar. untuk indonesia, angkatan bersenjata sudah lahir bahkan sebelu adanya negara republik Indonesia. angkatan bersenjata yang ada di Indonesia hadir dalam masa perjuangan merebut kemerdekaan, pada saat itu disebut dengan sebutan BKR (badan keamananan rakyat) yang selanjutnya pasca kemerdekaan di sebut sebagai TNI (tentara nasional Indonesia). pasca penyerahan kekuasaan kepada pemerintah republik Indonesia praktis sebagai alat milik negara angkatan bersenjata harus tunduk di bawah kekuasaan sipil yaitu pemerintah. namun, militer yang berada di bawah kekuasaan pemerintah sipil merasa bahwa pemerintah sipil gagal dalam melaksanakan tugasnya dan tidak bisa menjaga stabilitas negara. hal itu terbukti pada masa itu terjadi banyak gerakan separatis di berbagai daerah buntut dari rasa tidak puas pada pemerintah pusat. kegelisahan dirasakan juga oleh A.H Nasution yang menjabat sebagai KSAD, ia beranggapan bahwa pemerintahan seharusnya dipegang oleh golongan yang kuat supaya pemerintahan dapat berjalan secara kondusif dan stabil. untuk itu A.H Nasution menyarankan untuk memberlakukan UU Darurat Perang (Martial Law) untuk mengatasi aksi separatisme di daerah. selanjutnya UU tersebut disetujui oleh presiden Sukarno yang isinya kurang lebih memberikan wewenang kepada TNI untuk mengeluarkan peraturan yang menyangkut ketertiban umum dan keamanan ketika kondisi darurat perang. Selain itu, dalam keadaan lebih gawat, militer dapat mengubah ketentuan peraturan umum serta berwenang mengambil tindakan apa pun yang dianggap perlu. menyebabkan militer memiliki sifat yang absolut dalam melaksanakan wewenangnya.



pasca gerakan untuk memadamkan gerakan separatisme di berbagai daerah dan keadaan nasional berlangsung stabil dan kondusif lalu timbul pertanyaan baru. Jika negara sudah aman sepenuhnya, apa yang akan diperbuat para tentara? dari pertanyaan fundamental ini muncul pemikiran Jendral Nasution untuk mengajukan gagasannya kepada Presiden Sukarno. gagasan nasution ini nantinya akan dikenal sebagai "jalan tengah'. gagasan ini juga yang akan menjadi embrio terciptanya dwifungsi ABRI di pemerintahan selanjutnya. pada saat Pengesahan UU Darurat Perang memberi kesempatan kepada tentara untuk bertindak lebih jauh lagi. Tentara semakin menjadi penentu serta mendominasi kondisi dalam negeri, bahkan melampaui parlemen dan kekuatan-kekuatan lain. saat itu nasution merasa TNI perlu untuk melanjutkan tugas dan fungsi yang diberikan pada masa darurat perang. Nasution pada tahun 1958 mengajukan gagasannya pada Sukarno yang mengatakan ada opsi jalan tengah dimana militer bisa berperan secara terbatas dalam pemerintahan sipil. ide ini didukung oleh sukarno dan ahirnya disahkan bahwa TNI dapat menempatkan wakilnya secara perseorangan secara terbatas dalam rangka turut serta menentukan kebijaksanaan negara kita pada tingkat-tingkat yang tinggi. hal ini secara terbuka memberikan jalan masuk bagi militer masuk dalam parlemen. kehadiran ABRI/TNI dalam parlemen mendapat penolakan dari PKI yang merupakan golongan yang sangat resisten terhadap ABRI khususnya Angkatan Darat.



pasca gerakan G30S, posisi tawar yang dimiliki oleh PKI semakin diperlemah dan juga secara besar berimbas dukungan pada Presiden Sukarno yang semakin melemah. apalagi saat itu beberapa jendral ABRI menjadi korban dalam aksi G30S yang membuat ABRI mendapat simpati dan atensi yang besar dari masyarakat. selain itu ABRI juga memiliki tokoh yang kharismatik yang namanya muncul pasca G30S yaitu mayor Jendral Suharto yang saat itu menjabat sebagai PANGKOPKAMTIB yang berperan memberangus PKI dari parlemen dan sebagian besar pendukungnya di Jawa pasca memperoleh surat sakti SUPERSEMAR. pada posisiya yang diatas angin, Nasution melakukan pematangan gagasannya dengan melakukan seminar angkatan darat II pada tanggal 25-31 Agustus 1966 di Bandung. Seminar yang diikuti oleh perwira ABRI menjadi maksud untuk mematangkan gagasannya dan membersihkan Angkatan Darat dari paham komunisme. Nasution yang sudah paham betul perpolitikan di tanah air berusaha memberikan pemahaman politik pada jajaran perwiranya tentang bagaimana peran ABRI dalam menjaga iklim perpolitikan di Indonesia. Nasution sendiri pernah menjabat sebagai Mentri Pertahanan pada masa Kabinet Kerja III dan juga pada masa ahir kepemimpinan Sukarno ia pernah menjabat sebagai Ketua MPRS yang berlanjut sampai tahun 1972.




setelah pergantian kekuasaan dibawah Presiden Suharto, Jalan tengah kemudian disempurnakan menjadi Dwifungsi ABRI. hal ini semakin menegaskan peran serta militer dalam bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial, budaya. pada masa orde baru, dwifungsi ABRI diterapkan seluas-luasnya dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat. orang militer diperbolehkan untuk menikmati kehidupan politik di dalam pemerintahan, bahkan di sektor-sektor lainnya. suharto melihat ABRI sebagai basis kekuatan utama dalam bidang politik yang mendukungnya terus selama 32 rtahun menciptakan kestabilan politik rezim orde baru. Departemen Pertahanan dan Keamanan dalam Dwifungsi dan Kekaryaan ABRI (1978) mengklaim Dwifungsi ABRI "punya dasar hukum yang kuat" karena didukung UUD 1945 serta aturan-aturan dasar yang tidak tertulis dan terwujud dalam praktik penyelenggaraan negara sejak 1945 (hlm. 8).Lebih rinci, pelaksanaan Dwifungsi ABRI dilegitimasi melalui penetapan dasar hukum yang berkesinambungan, dari Ketetapan MPRS No. II Tahun 1969 hingga Ketetapan MPR No. IV Tahun 1978, juga Undang-undang No. 82 Tahun 1982.



dengan memiliki legalitas hukum ABRI memiliki dua tugas pokok yaitu Pertama, menjaga keamanan serta ketertiban negara, dan kedua, memegang kekuasaan serta (berhak) mengatur negara. Selain itu, ABRI berperan ganda sebagai "dinamisator sekaligus stabilisator" dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Arifin Tambunan, dkk., Pejuang dan Prajurit: Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI, 1984:171). kapasitas ABRI ini diwujudkan dalam pembentukan Fraksi ABRI dalam parlemen. bukan lagi melalui perorangan seperti sebelumnya namun sebagai organisasi secara lengkap seperti partai. hak dan kewajibannya juga sama seperti partai yaitu memiliki tugas legislasi. kebijakan dwifugsi ini mendapatkan dukungan penuh dari orde baru dengan melakukan aksi pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya dwifungsi ABRI dalam menjaga ketertiban di masyarakat. Tak hanya di sektor politik dan pemerintahan, militer berkecimpung di partai politik. Kaum serdadu selama Orde Baru bertebaran di mana-mana, di setiap sendi dan lini kehidupan masyarakat, sebutlah di lembaga atau perusahaan milik negara, peradilan, bahkan di ranah bisnis sebagai tentara merangkap pengusaha. banyak dijumpai walikota, bupati, gubernur, bahkan mentri kabinet yang merupakan seorang militer aktif yang masih berdinas. negara jadi terkesan militeristik dengan dewan junta militer serta pemerintah yang absolutisme.



rakyat ulai sadar tentang bahaya dari politik dwifungsi ini yang puncaknya terjadi reformasi diikuti dengan gulung tikarnya rezim orde baru serta dengan segala sistemnya diganti dengan sistim kehendak rakyat. dwifungsi ABRI juga seiring waktu pergantian jaman dipandang kurang efektif terutama dalam hal rangkap jabatan. secara bertahap Dwifungsi ABRI dihapuskan dan ditegaskan dengan hasil rapat pimpinan ABRI tahun 2000 yang mengahpuskan dwifungsi ABRI dan akan diterapkan pasca pemilu 2004 dimana dilaksanakan pemilu pertama sejak reformasi. penghapusan ini juga berdampak dimana tentara dilarang untuk berpolitik praktis dan mengharuskan melepaskan jabatan tentaranya dan menjadi warga sipil bila ingin berpolitik. nama-nama berlatar militer masih sering bercokol di dalam pemilu yang masih menjadi primadona pilihan rakyat karena dianggap memiliki kemampuan. banyak Ex-Militer ahirnya terjun berpolitik tanpa harus membawa embel-embel dwifungsi lagi. sebut saja Susilo Bambang Yudhoyono, Prabowo Subianto, Edy Rahmayadi, Agum Gumelar dan banyak lagi. tanpa perlu menjadi prajurit lagi mereka masih bisa menikmati persaingan politik di negri ini.
-JAS MERAH-

 

 



 

 

Sabtu, 01 Juni 2024

Saat 'Kapal Kayu' Yos Sudarso Bertempur Tanpa Torpedo di Laut Aru

 




GARDANASIONAL, JAKARTA - Komodor Yosaphat Soedarso atau dikenal Yos Sudarso tampaknya tak percaya jika operasi senyapnya yang didukung tiga Kapal Republik Indonesia (KRI) di perairan Maluku terbaca militer Belanda.

Alhasil, dua pesawat tempur Belanda dan kapal perang Belanda bernama Karel Dorman memborbardir ketiga kapal yang terdiri dari KRI Matjan Toetoel, KRI Harimau dan KRI Macan Kumbang.



Melihat kalah posisi dan persenjataan, Yos Sudarso justru memerintahkan KRI Harimau dan KRI Macan Kumbang untuk mundur. Lalu bagaimana dengan KRI Matjan Toetoel? Ya, Yos menjadikan kapal buatan Jerman yang ditumpanginya itu menjadi martir dalam pertempuran yang terjadi pada 15 Januari 1962.

Apa alasan Yos begitu berani melawan kapal Belanda yang memiliki persenjataan yang canggih dan modern, ketimbang KRI Matjan Toetoel yang terbuat dari kayu mahogani? Bisa jadi Deputi Operasi I KSAL ini yakin jika spesifikasi kapal motor torpedo bertipe Jaguar Class dengan nomor lambung 650 ini cukup mumpuni untuk bertahan dari serangan militer Belanda.

KRI Matjan Toetoel ini memiliki ukuran panjang 42,6 meter, dan lebarnya tidak lebih dari 7,1 meter. Sayangnya, saat operasi militer berlangsung, kapal ini tidak dilengkapi senjata andalan yakni empat torpedo MK-3, ranjau laut dan depth charges atau bom laut.

Asal tahu saja, Indonesia kesulitan mendapatkan Torpedo dari Inggris, lantaran Belanda adalah sekutu Inggris dalam NATO. Padahal, Yos yakin dapat menghancurkan kubu lawan jika menembakkan torpedo yang memang jadi ciri khas Jaguar Class.

Dengan hanya mengandalkan dua pucuk meriam Bofors 40 mm L/70, masing-masing di haluan dan buritan dan tambahan dua pucuk SMB (senapan mesin berat) M2HB Browning kaliber 12,7 mm, KRI Matjan Tutul tidak mampu menahan serangan pesawat tempur Belanda. Yos dan 24 awak kapal lainnya pun gugur dalam medan perang tersebut.

Sebagai informasi, MTB Jaguar Class ini hanya diproduksi sebanyak 20 unit, periode produksinya dimulai sejak tahun 1957 hingga 1960, di mana Indonesia memiliki 8 unit.

Kejadian perang di Laut Aru menjadi pelajaran berharga pemenuhan alutsista militer Indonesia. Jika pada saat itu Indonesia tidak bisa mendapatkan torpedo untuk persenjataan KRI Matjan Toetoel, kini Indonesia tak perlu khawatir lagi.

Adalah PT Dirgantara Indonesia yang mampu membuat Torpedo Surface and Underwater Target (SUT). Yang menarik, torpedo ini memiliki kabel yang berfungsi memberikan data-data akustik guna mengendalikan arah tujuan torpedo, dan juga berfungsi sebagai penangkal jamming karena datalink dipandu dua arah.

Tak hanya itu, Torpedo SUT digerakkan dengan motor listrik yang mampu memberikan daya dorong hingga 35 knots dengan tingkat kebisingan rendah. Setelah torpedo dirasa aman dari reduksi jamming sonar lawan, kabel akan terlepas dan kendali diambil alih secara mandiri oleh data prosesor yang ada di dalamnya. Torpedo SUT ini juga dilengkapi sistem pemandu sonar pasif, pengembangan kedepannya akan diintegrasikan juga dengan sonar aktif.

Sejatinya torpedo SUT dibuat pertama kali oleh Jerman saat perang dunia II, namun kini sudah tidak diproduksi lagi. Produksinya kini dikerjakan oleh Korea Selatan dalam satu paket alih teknologi kapal Selam 209.

Spesifikasi KRI Matjan Toetoel:



Produksi : Lursen & Kroger
Dimensi : 42,6 x 7,1
Berat : standar 183,4 ton – full 210 ton
Mesin: Empat mesin diesel Mercedes-Benz MB51B kekuatan 3.000 tenaga kuda
Daya Dorong : Empat baling-baling berdiameter 1,15 meter
Kecepatan maksimum: 42 knot (sekitar 77 km per jam)
Kapasitas angkut bahan bakar dan air: 25 ton bahan bakar, 1,12 ton pelumas, dan 2 ton air tawar.
Kapasitas angkut orang: 39 anak buah kapal (ABK) – terdiri dari 4 perwira, 2 juru masak, 17 petugas kamar mesin, 18 pelaut
Radius tempuh: 700 nautical mile (setara 1.300 km) pada kecepatan 35 knot.

Spesifikasi AEG SUT 533mm Torpedo:



Diameter: 533 mm

Panjang dengan kasket: 6,620 mm

Panjang tanpa kasket: 6,150 mm

Berat varian perang: 1.414 kg

Berat varian latihan: 1.224 kg

Jarak operasional: 38 km

Kecepatan/ jarak: 35 knots/24,000 yd; 23 knots/ 56,000 yd

Hulu ledak: 225 kg

Maksimal kedalaman menyelam: 100 m

 
 

Perjanjian Breda

 



Peta Pulau Run tertanggal 1623. Foto dari Wikimedia

Ada banyak sejarah Indonesia yang semakin hari semakin terkubur. Sedikit anak muda saat ini yang mau mempelajari sejarah karena dianggap kuno. Padahal, sejarah bisa membuat kesatuan semakin erat dan rasa bangga yang tinggi.

Salah satunya mengenai Perjanjian Breda yang terjadi pada 1667. Disebut Perjanjian Breda atau Treaty of Breda karena perjanjian ini ditandatangani di Kota Breda, Belanda.

Perjanjian ini sebagai bukti bahwa Indonesia pernah menjadi tempat penting dalam perekonomian dunia. Lebih jelasnya, berikut fakta mengenai Perjanjian Breda.

Alasan terjadinya Perjanjian Breda

Pada 1603, Belanda mendatangi Pulau Run yang terletak di Kepulauan Banda, Maluku Tengah, untuk membeli rempah-rempah. Berharganya rempah-rempah kala itu membuat bangsa Eropa, termasuk Inggris, berlayar menuju timur untuk mendapatkan rempah rempah pula.

Hingga pada 1616, Inggris sampai di Pulau Run dan melakukan kontrak dengan penduduk setempat. Awalnya, perjajian ini hanyalah perjanjian ekonomi yang menyatakan Inggris membeli rempah-rempah, khususnya pala, di pulau tersebut.

Namun, pada akhirnya Inggris menyatakan bahwa Pulau Run merupakan wilayah koloni mereka. Sayangnya, Belanda yang kala itu sudah menguasai Maluku tidak rela melepaskan Pulau Run kepada Inggris. Terlebih dengan banyaknya pala yang dihasilkan oleh pulau tersebut.



Warga menunjukkan buah pala yang telah matang di Banda Neira. Foto oleh Fanny Octavianus/Antara

Pala sendiri merupakan buah yang banyak dicari oleh seluruh dunia kala itu. Salah satu fungsinya sebagai bahan pengawet. Saking berharganya buah yang satu ini, bahkan ada yang menyebutkan bahwa kala itu pala lebih berharga dibandingkan emas.

Perebutan pala oleh bangsa Inggris dan Belanda ini terus terjadi, mereka berperang demi mendapatkan Pulau Run sekaligus palanya. Hingga akhirnya mereka mengangkat bendera putih pada 31 Juli 1667.

Isi perjanjian Pulau Breda

Perjanjian ini ditandatangani oleh pihak Belanda dan Kerajaan Inggris di Kota Breda, Netherland.

Isi utama dari perjanjian ini adalah kerajaan Inggris harus angkat kaki dari Pulau Run, dan sebagai gantinya Belanda menyerahkan Pulau Manhattan yang menjadi koloninya kepada Inggris.

Belanda sendiri menjajah Pulau Manhattan pada 1624. Manhattan kala itu dinamai ‘Nieuw Amsterdam’ oleh Belanda. Setelah Belanda memberikan pulau Manhattan kepada Inggris untuk ditukar dengan Pulau Run, Inggris mengubah nama ‘Nieuw Amsterdam’ menjadi ‘New York’.

Belanda rela menukar Pulau Manhattan dengan Pulau Run karena pala memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Bahkan kala itu, Belanda memiliki peran peting dalam ekonomi dunia karena memiliki Pulau Run.

Keadaannya terbalik saat ini


Kota New York / Kompas.com

Sempat dipuja-puja pada abad ke-17, ternyata keadaan Pulau Ruun saat ini sudah jauh berbeda. Tidak lagi diperebutkan, tidak lagi menjadi pusat ekonomi dunia, pala tidak lagi menjadi buah yang diincar.

Buah pala yang tadinya dianggap lebih berharga dari pada emas seperti ditinggalkan. Merosot termakan zaman dan buruknya pengelolaan.

Adanya teknologi mesin pendingin membuat masa kejayaan pala turun perlahan-lahan. Hingga hari ini, petani pala harus memeras keringat hari demi hari agar buahnya bisa terjual dengan harga yang sesuai dengan kerja kerasnya.

Berbeda dengan New York saat ini, kota besar yang menjadi pusat ekonomi dunia. Warganya bisa menikmati kejayaan dan pemandangan gedung-gedung bertingkat. Padahal pulau ini pernah menjadi pulau yang tidak diinginkan oleh para penjajah.

SUMBER : https://www.rappler.com/indonesia/ay...rjanjian-breda