Kamis, 28 Desember 2023

Konflik Perburuhan di Pelabuhan Semarang Pada Masa Revolusi & Era Republik

 ada masa revolusi hingga awal republik, wilayah pelabuhan Semarang menjadi pusat kegiatan perburuhan yang penting. Para pekerja pelabuhan, terutama buruh pelabuhan dan pekerja bongkar muat, terlibat dalam perjuangan untuk hak-hak mereka, seperti upah yang layak dan kondisi kerja yang lebih baik. Serikat-serikat pekerja tumbuh dalam upaya untuk memperjuangkan hak-hak mereka di tengah perubahan politik dan ekonomi yang terjadi saat itu. Wilayah pelabuhan Semarang memiliki sejarah perburuhan yang kuat dengan kehadiran berbagai profesi yang berkaitan dengan aktivitas pelabuhan, seperti buruh pelabuhan, pekerja bongkar muat, dan tenaga logistik. Upaya pengorganisasian seringkali dilakukan oleh serikat pekerja untuk memperjuangkan hak-hak mereka terkait upah, kondisi kerja, dan keamanan di tempat kerja.



Konflik perburuhan di Pelabuhan Semarang selama masa Revolusi dan Republik Indonesia merupakan salah satu bagian dari perjuangan pekerja untuk mendapatkan hak-hak mereka. Pada masa itu, terjadi ketegangan antara pekerja pelabuhan, pemerintah kolonial Belanda, dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam eksploitasi tenaga kerja. Konflik ini sering kali dipicu oleh tuntutan pekerja terkait upah yang rendah, kondisi kerja yang buruk, serta ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi yang tidak merata. Perjuangan ini juga terkait dengan semangat kemerdekaan dan perubahan sosial yang berkobar di kalangan pekerja selama periode revolusi dan pendirian Republik Indonesia.



Gambar : Ilustrasi Pegawai Buruh. (Sumber : SINDOnews)


Perselisihan tenaga kerja di pelabuhan Semarang merupakan suatu masalah yang menetap, terjadi tidak hanya pada masa pemerintahan kolonial Belanda, tetapi juga selama periode revolusi dan pemerintahan Republik. Kelompok utama yang terlibat dalam protes ini adalah para pekerja tongkang. Mereka secara konsisten menargetkan perusahaan transportasi utama di pelabuhan, Semarangsch Stoomboot en Prauwenveer. Keterlibatan yang berulang dalam konflik perburuhan juga terkait erat dengan kehadiran Partai Komunis Indonesia di Semarang, yang telah berakar sejak pendiriannya pada tahun 1920. Pengaruh PKI melalui serikat buruh pelabuhan yang dikelolanya menjadi ciri khas Kota Semarang sebagai pusat gerakan pekerja.

Dari tahun 1950 hingga 1957, serangkaian mogok kerja dan penurunan produksi di Pelabuhan Semarang yang dipelopori oleh pekerja tongkang berlangsung di bawah naungan dua serikat buruh, yaitu Gabungan Buruh Pelabuhan dan Serikat Buruh Pelabuhan dan Pelayaran. Sebenarnya, jenis aksi semacam itu sudah dimulai dalam skala yang lebih kecil selama masa revolusi. Kehadiran yang kuat dari gerakan buruh pada tahun 1950-an menandai kemunculan yang kuat setelah kedaulatan Republik Indonesia ditegaskan. Pada periode ini, secara politis, serikat buruh tersebut mengalami pergeseran dari posisi yang dulunya dianggap sebagai musuh pemerintah pada masa kolonial Belanda menjadi mitra pemerintah Republik Indonesia (RI). Perubahan ini sejalan dengan keputusan Barisan Buruh Indonesia pada 19 September 1945, yang mendapatkan dukungan penuh dari Komite Nasional Indonesia Pusat.

Pada tahun 1957, perusahaan Belanda yang beroperasi di pelabuhan Semarang diserahkan kepada pemerintah Indonesia melalui nasionalisasi. Hal ini mengakibatkan keterbatasan gerakan buruh, yang memunculkan pertanyaan mengenai kekuatan sebenarnya gerakan buruh pada era 1950-an, apakah hanya sebatas toleransi sementara dari negara? atau mungkin kedua-duanya? Selain itu, menarik untuk mengeksplorasi sejauh mana upaya majikan dan peran pemerintah dalam menangani konflik-konflik perburuhan di pelabuhan Semarang, serta apakah pemerintah cenderung mendukung buruh atau justru memihak pada majikan, mirip dengan kebijakan kolonial Belanda yang menindas gerakan buruh pribumi dan mendukung majikan.


1.   Bangkitnya Kembali Gerakan Buruh

Pada periode 1945 hingga 1949, gerakan buruh di berbagai negara mengalami pertumbuhan cepat setelah Perang Dunia II. Mereka memperjuangkan hak-hak seperti upah yang adil, jam kerja yang layak, serta perbaikan kondisi kerja. Ada momen penting seperti mogok kerja besar-besaran dan pembentukan serikat buruh yang kuat di berbagai negara, termasuk peran gerakan buruh dalam kemerdekaan Indonesia melawan penjajah.

Di waktu yang sama, upaya untuk menghidupkan kembali ekonomi Kota Semarang, pusat aktivitas ekonomi Jawa Tengah, dilakukan oleh pemerintah pendudukan Belanda. Mereka berusaha memulihkan aktivitas pelabuhan Semarang sebagai pelabuhan komersial, walaupun infrastrukturnya rusak parah setelah pendudukan Jepang. Perbaikan secara bertahap dimulai sejak awal tahun 1947, dengan memberi kesempatan kepada perusahaan Belanda yang sebelumnya disita atau dikuasai oleh Jepang untuk beroperasi lagi.

Namun, sementara usaha untuk membangkitkan ekonomi berlangsung, pemerintah Belanda di Semarang juga harus menghadapi perlawanan gerilya rakyat setempat. Fokus pada dua hal tersebut mungkin membuat perhatian terhadap serikat buruh di pelabuhan berkurang. Bahkan, ada kemungkinan bahwa pemerintah Belanda membiarkan serikat buruh muncul agar tidak condong ke pihak Republik. Salah satu serikat buruh pertama, Gabungan Buruh Pelabuhan (GBP), didirikan pada 1947 dengan sikap netral, sehingga mungkin tidak dianggap sebagai ancaman. Anggotanya berasal dari berbagai kategori buruh.

Aksi mogok kerja pada tahun 1947 dipicu oleh kondisi buruh tongkang. Pembayaran buruh tongkang oleh SSPV berdasarkan paket kerja, namun ada ketidakpuasan yang mengakibatkan mogok kerja. Walikota Semarang turun tangan untuk merundingkan tuntutan para buruh. Ancaman mogok juga datang dari buruh bongkar-muat Semarang Veem yang bergabung dalam SBPP pada tahun berikutnya, karena merasa dirugikan oleh kegiatan buruh lainnya, terutama dari SSPV, yang berdampak pada produktivitas mereka.

 

2.   Konflik Perburuhan Pada Masa Republik

Pada mulanya, buruh pelabuhan berpikir bahwa pengakuan dan penyerahan kedaulatan Indonesia oleh Belanda akan mengakhiri konflik-konflik perburuhan selama revolusi. Mereka mengantisipasi bahwa perusahaan asing akan beralih ke pemerintah Indonesia. Namun, kenyataannya tidak demikian. Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, menetapkan bahwa orang Belanda masih diizinkan untuk melanjutkan usaha di Indonesia.

Aksi-aksi buruh itu timbul karena krisis ekonomi yang mulai memengaruhi Indonesia sejak tahun 1950-1951. Pendapatan negara menurun, terutama produksi pangan seperti beras yang turun drastis. Menurut sumber dari SOBSI, produksi beras menurun hingga 50%, dari 8.969.000 ton pada 1949 menjadi hanya 4.469.000 ton pada 1950.

Keterkaitan antara munculnya aksi-aksi buruh dengan pengakuan kemerdekaan dan penyerahan kedaulatan Indonesia oleh Belanda juga terkait dengan harapan akan perbaikan nasib mereka. Karena itu, mereka segera mengungkapkan keluhan-keluhan mereka terhadap masalah yang dihadapi. Ketika respon yang diharapkan tak kunjung datang, mereka segera mengambil langkah dengan melakukan pemogokan dan tindakan lainnya.

 

3.     Masa Kejayaan Serikat Buruh Pelabuhan dan Pelayaran

Tak lama setelah pembubaran GBP, SBPP kembali membentuk Front Kesatuan Buruh Pelabuhan (FKBP) dan pada 7 April 1953, mereka mengajukan dua tuntutan yang sebelumnya diajukan, yaitu tunjangan Lebaran tahun 1953 dan profit sharing. Pihak perusahaan menyetujui tunjangan Lebaran, tapi menolak profit sharing dengan alasan belum pernah diberikan kepada karyawan Eropa maupun pribumi.

Para buruh menyadari bahwa tuntutan semacam itu tidak akan diterima oleh manajemen perusahaan. Meskipun demikian, kader SBPP terus menyuarakan tuntutan tersebut dengan slogan "bagi hasil paro-paro", artinya setengah dari keuntungan perusahaan harus disalurkan kepada buruh. Dengan demikian, gerakan buruh di pelabuhan Semarang semakin terpolitisi dengan tujuan mencapai kepentingan politik.

Hingga tahun 1956, pelabuhan Semarang terus dilanda aksi pemogokan anti-lembur dengan tuntutan profit sharing sebagai isu utamanya. Namun, informasi rinci tentang jalannya aksi buruh pada periode itu tidak tersedia. Meskipun aksi pemogokan semakin meningkat, pengusaha bongkar-muat di pelabuhan Semarang, terutama SSPV sejak 1954, tampaknya kurang tertarik untuk menyelesaikan konflik-konflik buruh tersebut.

 

4.   Nasionalisme Semarangsch Stoomboot en Prauwenveer Serta Akibatnya Bagi Gerakan Buruh di Pelabuhan

Nasionalisasi resmi SSPV oleh pemerintah RI akhirnya terwujud tiga tahun kemudian pada tahun 1957. Awalnya, para buruh pelabuhan berharap akan adanya peningkatan kesejahteraan dan kondisi kerja yang lebih baik setelah nasionalisasi ini. Mereka berpikir bahwa sebagai pemilik SSPV, pemerintah RI akan lebih mendukung mereka daripada pemilik Belanda sebelumnya.

Nasionalisasi SSPV dilakukan oleh Kodam VII/Diponegoro sebagai Penguasa Perang Daerah, dengan dukungan dari Kodamar IV sebagai Penguasa Perang Laut. Hal ini mengubah kepemilikan SSPV dari manajemen pengusaha Belanda menjadi manajemen militer Republik. Pada tahun 1958, Kapten Margono dari ALRI ditunjuk sebagai direktur berdasarkan keputusan dari kepala Kodam VII/Diponegoro.

Manajemen baru SSPV yang dipimpin oleh militer menerapkan pendekatan keamanan dengan landasan dari satu peraturan dan dua undang-undang darurat. Peraturan pertama, yaitu Peraturan Kekuasaan Militer (Pusat) No. 1 tahun 1951 tentang penyelesaian konflik buruh telah berlaku sejak awal tahun 1950 sebagai respons terhadap banyaknya konflik perburuhan di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini juga didukung oleh Undang-Undang Darurat No. 16/1951 yang mengatur proses mogok kerja dengan membatasi waktu tiga minggu setelah pemberitahuan kepada P4D.


Dari apa yang di paparkan di atas, maka dapat di ketahui bahwasanya konflik perburuhan di Pelabuhan Semarang selama periode 1945-1957 merupakan perjalanan yang menarik. Pada masa itu, berbagai faktor seperti perubahan politik, ekonomi, serta dinamika kekuasaan antara berbagai pihak dapat menjadi faktor penyebab konflik yang berkepanjangan. Faktor-faktor ini bisa melibatkan persaingan politik antarorganisasi buruh, perubahan kebijakan pemerintah, dan dinamika sosial yang mengakibatkan perselisihan yang terus-menerus. Analisis lebih mendalam terhadap peran aktor utama dan peristiwa krusial dalam rentang waktu tersebut dapat memberikan wawasan yang lebih jelas mengenai kompleksitas konflik perburuhan di Pelabuhan Semarang.

Perjuangan buruh di pelabuhan Semarang selama periode penting dalam sejarah Indonesia. Pada awalnya, gerakan buruh bangkit kembali setelah kemerdekaan untuk memperjuangkan hak-hak mereka, menyebabkan konflik yang intens dengan pihak otoritas. Konflik perburuhan pada masa Republik mencerminkan dinamika politik dan ekonomi yang memengaruhi para buruh pelabuhan. Masa kejayaan serikat buruh pelabuhan dan pelayaran menunjukkan upaya keras mereka dalam memperjuangkan hak-hak pekerja.

Fenomena Nasionalisme Semarangsch Stoomboot en Prauwenveer juga berdampak signifikan terhadap gerakan buruh di pelabuhan dengan memunculkan identitas lokal yang kuat di tengah dinamika politik nasional yang lebih luas. Akibat dari semua ini dapat dilihat pada perubahan posisi, kekuatan, serta strategi yang diadopsi oleh gerakan buruh di pelabuhan Semarang. Dampaknya terasa dalam pengaruh politik, kesadaran identitas, dan perjuangan untuk hak-hak pekerja, mencerminkan dinamika serta kompleksitas pergerakan buruh pada masa itu.

Pada dasarnya, serikat buruh dibentuk dengan tujuan ekonomi, untuk memperjuangkan peningkatan kesejahteraan dan kondisi kerja anggotanya. Selama zaman revolusi (1945-1949), keadaan tidak stabilnya pemerintah pendudukan Belanda di Kota Semarang serta lambatnya pemulihan perusahaan-perusahaan bongkar-muat Belanda, khususnya SSPV di pelabuhan Semarang, menciptakan kesempatan bagi bangkitnya kembali serikat buruh yang pernah ditindas pada masa kolonial dan dibubarkan saat pendudukan Jepang. Namun, aksi-aksi buruh tersebut tidak menyebabkan kerusakan yang parah sehingga menghentikan semangat perusahaan Belanda untuk mengembangkan perdagangan melalui pelabuhan Semarang.

Setelah kemerdekaan Indonesia, terutama setelah penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia, buruh pelabuhan Semarang berharap akan perbaikan nasib mereka. Meskipun perusahaan-perusahaan Belanda masih diizinkan beroperasi setelah penyerahan kedaulatan, harapan mereka tetap besar. Namun, suasana harapan ini tidak berlangsung lama. Pada tahun-tahun berikutnya, buruh pelabuhan Semarang terus menekan kepentingan perusahaan Belanda melalui berbagai aksi yang dikoordinir oleh GPB dan SBPP. Antara tahun 1954-1957, SBPP semakin mengarahkan gerakan buruh, terutama karena dukungan yang kuat dari SOBSI dan PKI setelah pemilu 1955. Banyaknya aksi pada periode ini melemahkan perusahaan Belanda.

Ketika nasionalisasi perusahaan Belanda di pelabuhan Semarang terjadi pada tahun 1957, buruh pelabuhan berharap akan perbaikan ekonomi mereka dengan pemerintah Indonesia yang sebelumnya tidak selalu memperhatikan kepentingan mereka. Namun, harapan tersebut segera sirna karena pemerintah Indonesia memilih untuk menjamin kepentingan ekonomi negara, termasuk perdagangan melalui pelabuhan Semarang yang harus tetap berjalan lancar. Untuk itu, aparat militer diamanatkan untuk menjamin kepentingan tersebut dengan dukungan peraturan dan undang-undang darurat yang mengekang gerakan buruh.



Sumber Referensi Buku 
Sita Van Bemmele, Raben Remco. "Antara Daerah dan Negara : Indonesia Tahun 1950-An, Pembongkaran Narasi Besar Integrasi Bangsa"(Jakarta : Pustaka Yayasan Obor)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar