Kamis, 28 Desember 2023

Kisah Soerotokunto dalam Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia

  Kemerdekaan Republik Indonesia merupakan momentum yang krusial, baik bagi bangsa Indonesia sendiri maupun penjajah pada saat itu. Namun dalam proses untuk menuju kemerdekaan Indonesia tidaklah mudah. Banyak sekali perbedaan pendapat seperti golongan tua dan golongan muda. Menurut golongan tua kemerdekaan Republik Indonesia merupakan wewenang PPKI, namun menurut golongan muda kemerdekaan Republik  Indonesia segera dilaksanakan dan murni perjuangan rakyat Indonesia.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum kemerdekaan sudah banyak tercatat oleh sejarah, namun masih banyak lagi peristiwa populis yang belum dibuka secara luas dan nyata kepada masyarakat Indonesia. Seperti tokoh Soerotokunto, Ia merupakan mahasiswa kedokteran yang mampu mengawal proses kemerdekaan Republik Indonesia dengan cara membobol radio jepang pada saat itu.

Teori yang digunakan untuk penelitian ini adalah Teori Dialektika, yakni pertentangan sebab dan akibat suatu fenomena peristiwa. Untuk menganalisis suatu fenomena secara dialektis harus mempunyai wawasan yang luas dan kebebasan dalam berpikir. Menurut Hegel dalam proses sejarah itu tidak ada sesuatu yang kebetulan. Dasar dialektika ini mengenai negasi dan penyangkalan, kepositifan sebaliknya menunjukkan tidak adanya perkembangan, kemandegan menjadi fosil dan beku.


Pada masa Perang Dunia II semua pesawat radio di wilayah kependudukan Jepang disegel oleh tentara Jepang. Karena jepang pada saat itu berkomunikasi kepada seluruh pasukan dengan radio untuk merancang strategi ataupun hal-hal yang memiliki kepentingan bagi mereka. Namun radio tersebut berhasil dibobol dengan membonngkar segel tersebut oleh Soeroto Koento dan Soebianto Djojohadikoesomo yang merupakan mahasiswa kedokteran atau Ikadaigaku.  Soeroto Koento dan Soebianto yang memperoleh informasi menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada dini hari segera menghubungi rekannya di Markas Pusat PETA, Asrama Budi Kemuliaan Jakarta. Hal itu diungkapkan Mayor Oetarjo dalam Buku Sejarah Perjuangan Soeroto Koento Bersama Masyarakat Karawang. Buku itu disusun oleh Sukarman, Warliyah, dan Ii Wahyudin yang dipublikasikan Dinas Penerangan Pariwisata dan Budaya Kabupaten Karawang pada 2006.

Dengan informasi tersebut, perwira PETA segera mendatangi Dan Yon PETA Abdoel Kadir di rumahnya untuk merundingkan langkah-langkah yang harus diambil menjelang kedatangan tentara Sekutu. Mereka berkeinginan agar peristiwa serupa saat Belanda menyerahkan Bangsa Indonesia kepada Jepang tidak terulang. Oleh karena itu, Dan Ton PETA Daan Jahja dan Soebianto Djojohadikoesoemo dipilih untuk mengunjungi Bung Hatta. Mereka memohon agar Bung Hatta dan Bung Karno segera memproklamasikan kemerdekaan tanpa campur tangan pihak manapun

Sementara itu, kelompok pemuda lainnya, termasuk Soekarni dan kawan-kawan dari Asrama Menteng Raya 31, juga berusaha mencapai tujuan yang sama dengan mendatangi Soekarno di kediamannya. Sayangnya, upaya kedua kelompok tersebut tidak berhasil. Mengingat potensi situasi gawat di Jakarta akibat rencana pemberontakan terhadap Jepang, Dan Ton PETA Singgih, Dr Soetjipto dari Batalyon I PETA Jakarta, dan Soekarni memutuskan untuk mengantarkan Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok demi keamanan. Kedua pemimpin tersebut diamankan di daerah Kompi PETA Soebono di Rengasdengklok, yang telah dikuasai sejak 16 Agustus 1945. Tentara Jepang dilucuti dan ditawan oleh pasukan PETA di bawah pimpinan Umar Bachsan, Affan, dan Soeharjana. Pada tanggal tersebut, bendera Jepang di Rengasdengklok diturunkan, dan bendera Merah Putih dikibarkan. Di Rengasdengklok, Soekarno dan Hatta sepakat untuk memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia pada esok harinya, yaitu 17 Agustus 1945.

Soeroto Koento, setelah bergabung dengan Badan Kemanan Rakyak (BKR) Jakarta Raya, menjadi bagian dari perubahan BKR menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pusat Komando TKR Jakarta Raya kemudian dipindahkan ke Cikampek, sebuah kota strategis sebagai titik silang jalan raya dan kereta api dari Jakarta, Cirebon, Bandung, dan Cilamaya. Markas TKR Resimen Cikampek didirikan di bekas hotel di Jalan Raya Cikampek.

Resimen V Cikampek, yang berperan menjaga front timur sebagai gerbang masuk Jakarta, menjaga keamanan lalu lintas kereta api Jakarta-Yogyakarta, dan melaksanakan tugas-tugas strategis lainnya, dipindahkan menggunakan kereta api dari stasiun-stasiun yang aman dari Sekutu, seperti Stasiun Jatinegara, Senen, Manggarai, dan Tanah Abang. Soeroto Koento diangkat sebagai Kepala Staf Resimen V Cikampek dan memiliki tanggung jawab mengawasi lalu lintas kereta api Allied Prisoners of War and Interness (APWI).

Pada Desember 1945 hingga Mei 1947, Resimen V Cikampek terlibat dalam operasi Panitia Oeroesan Pemoelangan Jepang dan APWI (POPDA), mengangkut ribuan wanita dan anak-anak Belanda melalui daerah tak beruan sekitar Bekasi, sebagai bagian dari persetujuan RI-Sekutu. Kolonel Moeffreni, atasannya Soeroto Koento, dipindahkan menjadi Komandan Resimen XII Cirebon pada Februari 1946.

Namun, pada November 1946, terjadi kegemparan di Resimen Cikampek. Komandan Resimen V Cikampek, Letnan Kolonel Soeroto Koento, beserta Kepala Staf Mayor Adel Sofjan, pengawal, dan sopirnya menghilang. Kendaraan mereka ditemukan kosong di Desa Warungbambu, sekitar 6 kilometer timur Karawang. Soeroto Koento baru saja menghadiri rapat Komando Pertahanan Jakarta Timur di Kedunggede dan telah ditunjuk sebagai perwakilan RI dalam perundingan Indonesia-Belanda di Bekasi pada 29 November 1946. Mayor Sadikin kemudian menggantikan Soeroto Koento sebagai Komandan Resimen V Cikampek, sementara Ery Soedewo menjadi stafnya. Upaya pencarian dilakukan oleh unsur Resimen Cikampek, namun Soeroto Koento tidak ditemukan. Beberapa perwira menduga bahwa ia mungkin diculik oleh Lasykar Rakyat Jakarta Raya yang menentang perundingan dengan Belanda dan bersikap oposisi terhadap pemerintah.

Dalam peristiwa ini, teori yang digunakan adalah teori dialektika. Karena teori ini sejalan dengan peristiwa hilangnya Soerotokunto yang diduga hilang dibunuh oleh Lasykar Rakyat Jakarta Raya. Soerotokunto berposisi di pemerintahan sedangkan Lasykar Rakyat Jakarta pada saat itu menjadi oposisi dari pemerintah sehingga terjadi ketidaksepakatan dan pada akhirnya menentang perundingan pemerintah dengan belanda.

Kemerdekaan Republik Indonesia adalah suatu hasil dari proses perjuangan para pendahulu kita dengan tumpah darah dan cinta tanah air. Perjuangan yang dilalui pun tidaklah mudah, mengusir penjajah dengan mempertaruhkan nyawa sendiri adalah sebuah kewajiban para pejuang kemerdekaan. Berbagai elemen pada saat itu saling bahu membahu dan berjuang untuk mencapai kemerdekaan, namun sentimen dari berbagai elemen tersebut pun ada. Seperti yang dilakukan oleh Lasykar Rakyat Jakarta yang tidak suka jika Indonesia masih ada ketergantungan ataupun kepentingan bersama belanda. Dan hal tersebut bertolak belakang dengan apa yang dilakukan pemerintah, sehingga salah satu tokoh perjuangan yakni Soerotokunto hilang dibunuh dan sekarang tempat ditemukan kendaraannya dijadikan sebagai monumen Soerotokunto dan Ia menjadi nama Jalan Provinsi di Kabupaten Karawang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar