MATA INDONESIA, JAKARTA– Seharusnya
para kelompok teroris Egianus Kogoya dan seluruh anggota Tentara
Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM)
mengingat perjuangan Silas Papare. Mereka pun harus mengingat pesan
Silas kepada seluruh putra-putri Papua, “Jangan sanjung aku, tetapi teruskanlah perjuanganku”.
Kenapa
harus Silas Papare? Karena sepanjang hidupnya, putra asli Papua itu
paling gencar melawan penjajah kolonial, untuk berjuang demi kebebasan
tanah bumi Cenderawasih dari jajahan Belanda.
Buat
yang belum mengenal siapa itu Silas Papare, MataIndonesia.id mengajak
kalian untuk kenal lebih dekat pria kelahiran 18 Desember 1918 ini. Ia
adalah pejuang yang rela berkali-kali masuk penjara demi menyatukan
Irian Barat ke ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sesuai harapan di balik nama IRIAN:
“Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”, Silas ingin Irian bebas dari
cengkeraman penjajahan Belanda. Wajar, karena saat Indonesia merdeka
pada 17 Agustus 1945, Papua masih berada jajahan Belanda.
Berkat jasanya tersebut, pria kelahiran
Serui, Papua ini namanya diabadikan menjadi salah satu Kapal Perang
Korvet kelas Parchim TNI AL dengan nomor lambung 386.
Tak hanya itu, sejumlah pemerintah
daerah di Papua memiliki cara tersendiri untuk mengenang perjuangannya
selama kemerdekaan. Contoh saja di Serui, pemerintah setempat mendirikan
sebuah Monumen Silas Papare di dekat pantai dan pelabuhan laut Serui.
Sementara di Jayapura, namanya
diabadikan sebagai nama Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Politik (STISIPOL)
Silas Papare, yang berada di Jalan Diponegoro. Sedangkan di kota Nabire,
nama Silas Papare dikenang dalam wujud nama jalan.
Berdasarkan rekam jejaknya, Silas
Papare merupakan lulusan Sekolah Juru Rawat pada tahun 1935. Ia pernah
bekerja sebagai pegawai pemerintah Belanda.
Semasa hidupnya, ia dikenal gigih dalam
memperjuangkan kemerdekaan Papua. Kegigihannya itu membuat ia sering
berurusan dengan aparat keamanan Belanda dalam memerangi kolonialisme
Belanda.
Dan pada akhirnya ia dipenjarakan di
Jayapura karena memengaruhi Batalyon Papua untuk memberontak. Semasa
menjalani masa tahanan di Serui, Silas berkenalan dengan Dr. Sam
Ratulangi, Gubernur Sulawesi yang diasingkan oleh Belanda ke tempat
tersebut.
Perkenalannya tersebut semakin menambah
keyakinan ia bahwa Papua harus bebas dan bergabung dengan Republik
Indonesia. Akhirnya, ia mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian
(PKII).
Alhasil ia kembali ditangkap oleh
Belanda dan dipenjarakan di Biak. Saat perjalanan ke Biak, Silas Papare
dan isterinya, Regina Aibui berhasil melarikan diri dan menuju
Yogyakarta.
Seiring waktu berjalan, pada bulan
Oktober 1949 di Yogyakarta, ia mendirikan Badan Perjuangan Irian di
Yogyakarta,. Badan ini untuk membantu pemerintah Republik Indonesia
untuk memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah RI.
Silas Papare yang ketika itu aktif
dalam Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) juga diminta oleh
Soekarno menjadi salah seorang delegasi Indonesia dalam New York
Agreement pada 15 Agustus 1962. Perjanjian itu menyebutkan bahwa Irian
Barat resmi masuk wilayah RI pada 1 Mei 1963.
Setelah itu, akan dilakukan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969. Perjuangan Silas Papare pada akhirnya terbayar sudah.
Karier terakhir Silas Papare adalah
sebagai anggota DPRS menggantikan almarhum Dr Radjiman Widiodiningrat.
Tahun 1956 Silas Papare diangkat menjadi anggota DPR wakil rakyat Irian
Jaya. Pada tahun yang sama diangkat sebagai anggota Dewan Perancang
Nasional Sementara Republik Indonesia dan anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
Ia menjalani hidup sebagai wakil rakyat
hingga pensiun tahun 1960. Silas pun kembali ke tanah kelahirannya di
Serui, hingga akhir masa hayatnya pada 7 Maret 1973.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar