Masyarakat Indonesia adalah mayoritas pemeluk agama Islam maka tidak
mengherankan jika banyak diantara kita yang memiliki gelar Haji dan
sudah menunaikan Ibadah Haji. Di dalam Islam, menunaikan haji adalah
sebuah kewajiban yang tertuang di dalam rukun Islam. Jika sudah berhaji
maka bisa dikatakan ibadahnya sempurna. Fenomena ibadah ini akan diikuti
dengan penambahan gelar H. untuk Pria dan Hj (Hajjah) untuk wanita.
Sebuah fenomena unik karena di hal ini hanya berlaku di Indonesia.
Secara otomatis mereka yang sudah pulang dari Tanah Suci akan menyandang
gelar tersebut.
Hal ini ternyata dapat ditelusuri jejak sejarahnya di Indonesia.
Tercatat jauh sebelum kedatangan Belanda, sudah banyak orang Indonesia
yang pergi berhaji. Ludovico di Barthema, penjelajah dari Roma pertama
yang mengunjungi Makkah pada tahun 1503, melihat jamaah haji dari
kepulauan Nusantara yang dia sebut "India Timur Kecil". Di perkirakan
mereka berasal dari Kesultanan Samudra Pasai, hal ini di buktikan dengan
catatan berbahasa Portugis yang menyebutkan telah ada lima kapal besar
Aceh yang berlabuh di Jeddah. selain untuk berhaji, mereka disana juga
melakukan proses perdagangan dan juga mencari Ilmu agama. kebanyakan
dari mereka adalah utusan Sultan. Sejak kedatangan Bangsa Belanda, animo
masyarakat untuk pergi berhaji juga sangat besar. oleh karena itu,
pemerintah Kolonial berinisiatif mendirikan badan khusus untuk urusan
haji. Pada masa itu, berhaji merupakan sebuah perjuangan yang berat
karena lamanya waktu tempuh, minimal mereka melakukan pelayaran selama 3
Bulan dengan melakukan transit beberapa kali. Selain itu biaya yang
dikeluarkan juga tidak sedikit, Pada 1825 pemerintah Hindia Belanda
menerbitkan ordonansi baru berupa keharusan bagi calon haji untuk
memiliki pas jalan. 110 gulden adalah hal yang harus disiapkan, yang
ketika itu nilainya sepadan dengan harga rumah yang cukup besar. Namun
animo masyarakat justru semakin meningkat, buktinya pada 1878 (dengan
kapal layar) jamaah haji Indonesia sekitar 5.331 oarng. Setahun kemudian
(1880), menjadi 9.542 jamaah atau naik hampir dua kali lipat.
Di atas kapal, para calon jamaah haji ini banyak melakukan kegiatan
antara lain melakukan pengajian dan juga diskusi tentang agama. diatas
Kapal ini pikiran mereka terbuka dengan dialog-dialog yang di
diskusikan. selain belajar agama, mereka juga banyak belajar tentang
konsep kebebasan dan persamaan hak. Setibanya di Jeddah, pelabuhan Arab
Saudi saat itu mereka yang berhaji selain melakukan ibadah wajib namun
juga banyak belajar ilmu, bukan hanya ilmu tentang agama namun juga ilmu
politik, hukum. mereka banyak belajar melalui masjid-masjid di Mekkah.
pikiran mereka terbuka dan membawa gagasan Nasionalisme Islam.
Sekembalinya mereka ke Tanah air mereka banyak menelurkan ilmunya kepada
masyarakat sekitar dengan melakukan dakwah dan juga banyak dari mereka
yang mendirikan layanan Pendidikan berupa Pondok Pesantren. Pikiran
Kritis para haji membuka pikiran sempit masyarakat Hindia saat itu
terutama di Jawa dan Sumatra. Mereka yang pergi berhaji dianggap
melakukan pemurnian agama Islam.
Pemerintah Kolonial mulai menaruh curiga terhadap para haji yang
kebanyakan memiliki pengikut dalam jumlah besar, mereka khawatir akan
terjadi sebuah usaha pemberontakan. mereka menganggap para haji sebagai
orang-orang fanatik dan pemberontakan. apalagi jumlah orang Hindia
(Indonesia) di Mekkah sangat besar. Kekhawatiran tersebut terbukti
dengan banyak terjadi pergolakan yang di pelopori oleh Para Haji,
peristiwa Cianjur (1883), Cilegon (1888), dan Garut (1919) adalah
sebagian kecil saja yang tercatat. hal tersebut berlanjut di Tambun
(Bekasi) dan Tangerang pada 1924. Para Haji menganggap bahwa orang
Belanda sebagai Iblis yang menyengsarakan orang mukmin. Tokoh-tokoh itu
berpidato di hadapan massa sambil menyerukan perlawanan terhadap Belanda
dengan ucapan Allahu Akbar.
Untuk menanggulangi masalah ini, Pemerintah Kolonial berupaya melakukan
moratorium keberangkatan haji, di beberapa daerah arogansi penjajah
bahkan ditunjukkan dengan adanya pelarangan haji secara terang-terangan.
Namun, Pemerintah Kolonial mencabutnya karena besarnya pendapatan yang
diperoleh Pemerintah Kolonial dari jasa pemberangkatan haji ini. Oleh
karena itu kemudian pemerintah Kolonial melakukan pemberlakuan
administratif berupa penambahan gelar di depan nama, yaitu H. (haji) dan
Hj. (hajjah). Selain itu para Haji juga diharuskan menggunakan
identitas baru dengan peci putih serta sorban setiap kali pergi untuk
beraktifitas maupun kegiatan dakwah. Selain itu Pemerintah Kolonial
melalui Kerajaan Belanda juga membuka Konsulat jendral di Jeddah dan
berubah menjadi Kedutaan Besar dalam upaya untuk melakukan pengawasan.
Dengan identitas baru mereka, para haji akan mudah dalam dilakukan
pengawasan dengan ciri-ciri khusus serta nama mereka.
istilah Haji dan Hajjah ini memang unik dan hanya ada di Indonesia dan
menariknya masih terus berlanjut sampai sekarang. menurut sebagian ulama
mengatakan bahwasannya menggunakan gelar Haji dan Hajjah adalah riya,
namun di masyarakat sudah menjadi kebiasaan yang lazim dengan
menambahkan Haji dan Hajjah di depan nama mereka. JAS MERAH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar