Rabu, 03 Januari 2024

Jangan Nanggar




 Kata "menanggar" dengan kata dasar "tanggar" adalah kosa kata yang asing bagi orang Indonesia, khususnya yang bukan penutur bahasa Melayu. Tanggar artinya sanggup melakukan sesuatu. Lalu, apa bedanya dengan "sanggup"? Tanggar lebih cenderung bermakna sanggup menahan sesuatu yang tidak disukai, bersikap pasif, tidak berbuat apa-apa untuk mengubahnya. Misalnya, seseorang yang diam saja saat dipukuli. Dalam bahasa tidak formal kata "menanggar" biasa disingkat menjadi "nanggar".

Emak saya selalu mengajarkan hal ini: jangan nanggar. Artinya, jangan bertahan dalam keadaan tidak nyaman, jangan biarkan keadaan tidak patut, lakukan sesuatu, cari solusi. Contoh sederhana, Emak sangat tidak suka kalau ada anaknya yang tidur dikerubungi nyamuk. Jangan nanggar digigit nyamuk. Pindahlah ke ranjang yang berkelambu.
Kalau rumah kotor, jangan tahan dengan kotoran itu. Bersihkan. Emak tak suka melihat pinggan atau cawan kotor bergelimpangan. Semua harus dibersihkan.
Hal yang lebih besar, misalnya, kalau atap rumah bocor, tamballah. Atau gantilah atapnya. Di kampung kami atap rumah terbuat dari daun nipah. Usianya sekitar 2 tahun. Kalau sudah lebih dari 1,5 tahun ada bagian-bagian yang sudah bocor. Jadi harus ditambal dengan menyelipkan beberapa lembar daun baru. Tapi kalau sudah lebih dari 2 tahun, atap harus diganti.
Tak sulit untuk mengganti atap. Cukup pergi ke tepi laut, meramu daun nipah, kemudian menganyamnya dengan belahan batang nibung atau pinang, memakai belahan rotan. Di kampung kami pekerjaan itu disebut nyucuk atap.
Di kampung kami boleh dikata semua kebutuhan disediakan alam. Yang perlu dibeli cuma pakaian. Makanan tersedia dalam berbagai bentuk. Mau ikan tinggal memancing di parit. Ayam bisa dipelihara tanpa perlu diberi makan. Bahkan kami memelihara kambing tanpa perlu disediakan rumputnya. Cukup kami lepas di kebun. Untuk membuat rumah, cukup pergi ke hutan meramu kayu.
Di kampung kami orang bisa hidup patut, dalam arti tidak kelaparan, punya tempat tinggal layak, kalau mau saja menggerakkan badannya. Tapi faktanya banyak orang nanggar. Rumah reot, atap bocor, dinding hilang sebagian, dia nanggar saja. Bahkan di musim barat (musim hujan, saat padi belum berbuah), ada sejumlah orang yang sudah kehabisan beras, tak punya bahan makanan. Mereka datang minta singkong ke kebun kami. Padahal mereka bisa menanam sendiri, tapi tak dilakukan.
Banyak orang kampung yang begitu mentalnya. Nanggar, bertahan dalam keadaan tidak nyaman. Emak tak suka itu. Kata Emak, itu miskin pikiran. Sebab utama orang jadi miskin adalah karena miskin pikiran.
Emak mengajarkan, jangan nanggar, jangan biarkan keadaan tak patut. Segera berbuat untuk mengubahnya.
Puluhan tahun kemudian sebagai pengajar manajemen, saya mengajarkan hal yang sama. Kaizen adalah perbaikan berkelanjutan. Prinsip dasarnya, jangan biarkan ada keadaan tak patut atau tak pantas. Kalau sedang mengajar di Jawa, saya memakai istilah "ora wangun". Perbaiki yang tak pantas.
Berikutnya, yang sudah diperbaiki itu diperbaiki lagi. Selalu ada ruang untuk bisa lebih baik lagi. Inilah substansi kaizen. Tapi ini tidak akan terjadi kalau yang tak pantas saja tak membuat orang bergerak untuk memperbaiki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar