Dari usia 5 tahun dia sudah yatim. Dia dan adik perempuannya dibesarkan oleh Ibunya. Dari kecil dia dibesarkan dengan cinta dan harapan. Tentu sang ibu berharap agar anak laki lakinya bisa menjadi tongkat di masa tuanya dan sekaligus menjadi palang pintu kehormatan bagi adiknya yang perempuan. Itu sebabnya dengan susah payah ibunya membesarkan dia dan mengirimnya ke universitas agar dia punya bekal terbaik bagi masa depannya.
Tapi apa yang terjadi? perkembangnya di luar rumah, menggiringnya tidak menjadi putra ibunya. Dia tumbuh di luar cahaya dan harapan ibunya. Dia terbius oleh hasutan dari mereka yang sedang memperjuangkan agenda politik untuk berkuasa. Anak muda yang sedang mencari jati dirinya itu terperangkap dalam semangat apocalipso, siap mati demi keimanannya. Demi nilai nilai yang dianggapnya jauh lebih tinggi dari doa dan harapan ibu yang melahirkannya.
Lambat laun dia tidak lagi nampak seperti putra ibunya. Dia tak merasa berdosa bila harus memarahi dan menegur ibunya, jika melakukan ritual adat, seperti barasanji. Marah kepada ibunya itu biasa saja. Seharusnya demi menegakkan aqidah, dia bunuhpun ibunya, itupun halal. Di hadapanya, ibunya adalah kaum yang tersesat akan kurafat, maksiat dan bidaah. Lupa dia bahwa sorga itu di bawah telapak kaki ibu. Lupa dia membentak ibu itu menggetarkan aras bumi yang membuat seluruh malaikat mengutuknya.
Keyakinan yang telah mencuci otaknya itu lebih dahsat daripada korban narkoba. Cinta ibu dan anak terkoyakan begitu saja. Drama pengorbanan ibu yang melahirkannya dengan menyabung nyawa dan dibesarkan dengan susah payah sirnah sudah. Diapun merasa tidak perlu lagi tinggal bersama ibunya. Dia pergi meninggalkan ibu dan adik perempuannya demi keyakinannya beragama. Bahkan ketika menikah, dia tidak perlu memberitahu ibu dan adiknya.
Akhirnya dia dan istrinya yang baru menikah 6 bulan, membuat keputusan menempuh jalan apocalipso yang menjanjikan sorga dengan 72 bidadari cantik. Dengan tampa rasa takut dia membawa bom yang diikat pada tubuhnya. Sebelum tujuanya tercapai bom itu meledak. Kepalanya terlepas dan terlempar ke atas atap rumah orang. Berakhir sudah cerita di dunia. Dia berharap mencapai puncak seorang insan yang mati karena sahid, dengan cara membunuh diri dan orang lain. Padahal hidup adalah berkah dari Tuhan yang menugaska manusia untuk memakmurkan bumi dengan cinta.
Dia telah tiada. Para pendukung dan mentornya pasti sudah melupakannya. Karena masih banyak orang lain yang antri untuk jadi seperti dia. Sementara ibu dan adik perempuannya, dalam kemiskinan menangis. Mereka yang jadi mentornya tidak peduli dengan air mata ibu dan duka adik perempuannya. Bagaimanapun, korban pertama kali dari cuci otak beragama yang salah itu adalah pelaku teroris itu sendiri. Sementara mentornya tinggal di rumah mewah bersama keluarganya dan hidup secara hedonis dan terhormat sebagai tokoh agama.
Sebaiknya, jaga putra putri anda dari pergaulannya di luar rumah. Larang dia ikut pengajian tertutup. Kalau tidak bisa juga dilarang lebih baik berhentikan dia kuliah. Cari tempat lain yang bersih dari gerakan radikal. Ingat pencucian otak radikalism jauh lebih merusak daripada narkoba. Jadi jagalah anak, sebelum semuanya terlambat.
.
.
EJB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar