Kita pasti banyak mengenal para pahlawan - pahlawan dalam perang kemerdekaan Indonesia, seperti Mayor Daan Mogot, Panglima Besar Jenderal Soedirman, Bung Tomo, Letkol I Gusti Ngurah Rai, dan Robert Wolter Mongisidi. Tapi mungkin tidak banyak yang tahu bahwa ada di antara pejuang - pejuang terdapat orang - orang asing yang ikut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, mereka yang bukan asli Indonesia tapi karena kecintaan yang besar terhadap negeri ini mereka rela ikut berjuang bersama pasukan kemerdekaan Indonesia. Ada yang dari Korea, dari Jepang, Skotlandia, bahkan ada yang dari Belanda.
Rahmat Shigeru Ono
Lahir : Furano, 26 September 1918
Meninggal : Batu, 25 Agustus 2014
Shigeru Ono merupakan tentara Jepang yang ditugaskan di Pulau Jawa pada masa pendudukan Jepang. Pada 1945 Jepang menyerah terhadap sekutu dan menyerahkan kedaulatan seluruh wilayahnya dan Belanda bermaksud ingin berkuasa kembali di Indonesia, dan Ono yang tidak mengenal kata menyerah dan bermaksud untuk membalas jasa - jasa bangsa Indonesia ketika membantu Jepang, akhirnya bergabung dengan para pejuang Indonesia. Ono dalam perang kemerdekaan pada pernah melakukan serangan pos - pos Belanda di Jawa Tengah, bahkan Ono yang ahli dalam menggunakan pedang katana pernah menghabisi sekitar 20 prajurit Belanda bersama beberapa temannya ketika akan disergap. Pada tahun 1947 ketika terjadi penyerangan para pejuang kemerdekaan ke markas KNIL di Mojokerto, Ono ikut serta dalam penyerangan itu. Setelah itu Ono ditugaskan untuk melatih prajurit TNI di kaki gunung Semeru, dan beliau juga menulis buku bersama Kolonel Zulkifli Lubis "Bapak Intelijen Indonesia" tentang petunjuk khusus taktik perang gerilya. Bersama Arif Tomegoro Yoshizumi dan Ichiki Tatsuo bersama 25 tentara Jepang lainnya, mereka membentuk Pasukan Gerilya Istimewa ( PGI ) dan pertempuran pertama mereka ketika menyerang pos Belanda di Pajaran karena Belanda sudah terlebih dahulu melanggar perbatasan. Tetapi setelah gugurnya Yoshizumi dan Tatsuo dalam pertempuran, PGI digabung ke pasukan militer formal dan berganti nama menjadi pasukan Untung Suropati 18. Ono harus kehilangan tangan kirinya akibat ledakan mortir. Setelah perang Ono menetap di Batu, Malang, Jawa Timur, dan pada tahun 1950 beliau menikah dengan Darkasih dan dikaruniai lima orang anak. Rahmat Shigeru Ono meninggal pada 25 Agustus 2014 akibat penyakit tifus dan pembengkakan pembuluh darah, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Batu.
Ichiki Tatsuo
Lahir : Kumamoto, 1906
Meninggal : Malang, 9 Januari 1949
Sebagai pemuda Jepang yang terlahir dari kota kecil Taraki di perfektur Kumamoto, Tatsuo memliki keinginan untuk keluar dari kota kelahirannya dan merantau untuk memiliki kehidupan baru. Kesempatan itu datang ketika teman sekampungnya Tsuruoka Kazuo berhasil membuka sebuah toko kelontong di Palembang dan mengajak Tatsuo untuk tinggal di sana. Tatsuo pun dengan antusias berangkat ke Palembang dan bekerja di sebuah studio foto. Pada tahun 1933 Tatsuo pergi ke Bandung dan menetap disana. Sempat berubah profesi menjadi kondektur bus, Tatsuo akhirnya memilih berhenti dan menetap di sebuah kampung di Bandung. Di sini Tatsuo menemukan kedamaian, dan dianggap titik balik dirinya menjadi seorang Indonesia. Tatsuo tidak lepas dari dunia politik, dan sempat menghimpun informasi politik negaranya di klub Jepang di Bandung. Ketika masa pendudukan Jepang Tatsuo direkrut oleh pemerintahan pendudukan Jepang sebagai pekerja paruh waktu di pendidikan PETA di Bogor, dia bertugas untuk menerjemahkan buku manual tentara Jepang ( Rikugun Hohei Soten ) ke bahasa Indonesia. Disini jugalah Tatsuo diberikan nama Abdul Rachman oleh H. Agus Salim. Ketika Jepang kalah dan menyerahkan Indonesia ke tangan sekutu, Tatsuo marah besar dan sangat kecewa terhadap negaranya itu. Tatsuo menganggap pemerintahan Jepang sudah membohongi bangsa Indonesia, dan akhirnya Tatsuo memilih bergabung dengan kelompok pejuang kemerdekaan Indonesia. Tatsuo bergabung dengan Pasukan Gerilya Istimewa ( PGI ), sebuah pasukan khusus yang berisikan tentara - tentara Jepang yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Pada 9 Januari 1949 terjadi pertempuran di desa Dampit dekat Malang, Tatsuo keluar dari persembunyian dan menerjang ke arah pasukan Belanda. Hal ini dilakukannya untuk menaikan moral pasukan Indonesia yang sempat ragu melihat kekuatan Belanda di desa itu, dan sebuah peluru Belanda menembus dahi Tatsuo yang langsung meninggal seketika.
Johannes Cornelis Princen
Lahir : Den Haag, 21 November 1925
Meninggal : Jakarta, 22 Februari 2002
Princen lahir dan besar di Belanda bahkan dia pernah mendapatkan pendidikan seminari di kota kelahirannya. Pada tahun 1943 Nazi Jerman menginvasi Belanda, Princen mendapatkan masalah dengan Nazi sehingga dia ditangkap dan dikirim ke kamp konsentrasi di Vught. Setelah Belanda bebas dari cengkraman Jerman, Pemerintah mengadakan wajib militer bagi para pemudanya untuk dikirim ke Indonesia, tapi Princen menolak untuk bergabung dengan militer karena alasan kemanusiaan. Princen sempat harus lari ke Prancis karena menjadi buruan pemerintah Belanda, dan disana dia mendapatkan pencerahan untuk melakukan hal kemanusiaan di Indonesia. Maka dia kembali ke Belanda, dan oleh Pemerintah Belanda Princen pun ditangkap dan dipaksa bergabung dengan militer serta dikirim ke Indonesia. Di Indonesia Princen banyak menemukan kekejaman yang dilakukan oleh Belanda terhadap rakyat Indonesia. Princen pun merencanakan untuk bergabung dengan Republik Indonesia, dengan berbekal sedikit uang dan alamat dia pergi ke Semarang, mencari kontak tentara Republik. Setelah bertemu dengan beberapa tentara Republik Princen pun melanjutkan perjalanan ke Pati, tapi malah tertangkap oleh pasukan merah ( milisi komunis ) dan dipenjara. Sebulan kemudian batalyon Kala Hitam piminan Mayor Kemal Idris membebaskan Princen, dan membawa Princen menemui Kolonel Gatot Subroto. Tak disangka ternyata Kolonel Gatot Subroto mempercayai Princen dan memberikan kesempatan Princen untuk bergabung dengan tentara Indonesia. Princen pun mengambil peran sebagai mata - mata karena dia yang orang Belanda sehingga mudah keluar masuk ke tempat - tempat yang terlarang bagi orang Indonesia pada umumnya, tugas dia seperti memata - matai markas atau pos - pos Belanda, mencuri senjata di gudang persenjataan, dan mengontak mata - mata Republik di Kota. Princen pun sempat menikah dengan Nyi Odah dan ikut bergerilya termasuk long march ke Jawa Barat, tapi kebahagiaan princen hanya sementara karena istri dan anaknya yang sedang dalam kandungan meninggal ditembak pasukan Belanda dalam suatu pertempuran. Setelah gencatan senjata Princen pun masih tetap di militer, bahkan turut serta dalam penumpasan pemberontakan APRA ( Angkatan Perang Ratu Adil ) pimpinan Westerling. Ketika Indonesia bebas dari Belanda Princen memutuskan keluar dari militer dan sempat menjadi anggota parlemen setelah pemilu 1955, dan Princen terkenal sangat aktif mengkritik pelanggaran - pelanggaran kemanusiaan yang terjadi baik dari orde lama maupun orde baru. Princen meninggal pada 22 Februari 2002, dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Pondok Kelapa, Jakarta Timur.
Yang Chil Sung
Lahir : Wanjoo, 29 Mei 1919
Meninggal : Garut, 10 Agustus 1948
Yang Chil Sung merupakan orang Korea yang ikut bertempur dalam perang kemerdekaan Indonesia. Sebelum perang dunia dimulai Korea sudah terlebih dahulu dijajah oleh Jepang, dan untuk mendukung Jepang dalam perang Asia Timur Rayanya banyak pemuda - pemuda Korea yang direkrut oleh Jepang untuk menjadi tentara Kekaisaran Jepang. Termasuk Yang Chil Sung yang bergabung ke dalam angkatan darat Jepang, dan dalam pelatihan Sung memiliki keterampilan dalam merakit bom dan ahli dalam kode sandi. Sung ditugaskan ke Jawa lebih tepatnya ke Bandung, untuk bertugas di kamp tawanan perang. Sung sempat menikah dengan seorang perempuan bernama Lience Wenas, tapi Sung tidak bertahan lama karena Jepang pada akhirnya menyerah dari sekutu. Sung dan beberapa pasukan Jepang di regunya khawatir akan diperlakukan sebagai penjahat perang oleh sekutu. Suatu hari kelompok militer Pasukan Pangeran Pakpak ( PPP ) pimpinan Mayor Saoed Moestofa Kosasih menyerang markas Jepang dan menawan lima tentara Jepang, diantara lima orang itu terdapat Sung didalamnya. Sung dan rekan - rekan militernya diperlakukan dengan baik oleh mayor Kosasih, dan pengalaman ini menjadikan Sung menaruh simpati terhadap perjuangan bangsa Indonesia. Hingga suatu hari Sung dan rekan - rekan militernya menghadap mayor Kosasih dan menyatakan untuk masuk Islam dan bergabung dengan PPP. Mayor Kosasih menanggapi baik antusias mereka, dan sejak saat itu Sung berganti nama menjadi Komarudin. Tak berapa lama PPP harus menghadapi serbuan Belanda menuju Wanaraja, berita rencana penyerbuan ini bocor ke PPP dan mereka hendak menghancurkan jembatan Cimanuk yang menghubungkan Kota Garut dan Wanaraja. Sung yang ahli dalam merakit bom dengan cepat memasang bom tersebut di bawah jembatan, dan tidak berapa lama kemudian bom meledak dan jembatan itu pun hancur. Rencana Belanda untuk menyerbu Wanaraja akhirnya gagal total. Pada Agustus 1948, pasukan PPP mengadakan pertemuan di wilayah kaki gunung Dora untuk membahas taktik melawan pasukan negara Pasundan ( Negara Boneka Belanda ) dan pemberontakan DI/TIII yang secara bersamaan juga sedang berlangsung. Tak disangka ternyata ada yang membocorkan letak pertemuan itu, dan secara cepat Belanda berhasil mengepung area pertemuan. Terjadi pertempuran sengit tapi pada akhirnya Sung dan beberapa pasukan PPP menyerah kepada Belanda. Belanda pun langsung mengadakan pengadilan militer dengan sangat cepat dan menjatuhi Sung hukuman mati bersama dua orang Jepang lainnya. Pada 10 Agustus 1948, Sung diangkut menuju lapangan Kerkhoff diseberang sungai Cimanuk. Sung dengan baju koko putih dan sarung merah dihadapkan dengan regu tembak, Sung pun meneriakan Merdeka! dan senapan regu tembak langsung menembaki Sung. Sung pun meninggal dan dimakamkan di pemakaman Pasirpogor bersama dua pejuang Jepang lainnya, tapi akhirnya kerangka mereka dipindahkan ke taman makam pahlawan Tenjolaya.
Muriel Stuart Walker
Lahir : Glasgow, 19 Februari 1898
Meninggal : Sydney, 27 juli 1997
Muriel Stuart Walker adalah orang Skotlandia yang ikut mengambil peranan dalam perang kemerdekaan Indonesia, beliau memang tidak mengangkat senjata tapi suaranya terkenal di Eropa karena memberitakan perjuangan bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan di radio Republik. Pada awalnya Muriel adalah seorang penulis naskah di Amerika Serikat pada tahun 1930 - 1932, dan kecintaannya pada Indonesia terutama Bali muncul setelah dia menonton sebuah film berjudul "Bali, The Last Paradise". Setelah menonton film ini beliau mendapatkan pencerahan untuk pergi ke Bali, dan benar saja pada tahun 1934 Muriel berangkat ke Bali. Di Bali dia tidak sengaja berhenti disebuah bangunan khas Bali dan mengira itu sebuah pura tapi ternyata itu sebuah istana kecil dan disambut oleh Raja Bangli Anak Agung Gede, dan tidak berapa Muriel pun diangkat menjadi anak dan diberi nama K'tut Tantri. Kebahagiaan Muriel di Bali tidak bertahan lama karena Jepang masuk Indonesia, dan Muriel yang berkulit putih pun diburu oleh Jepang tapi berhasil melarikan diri ke Solo. Di Solo Muriel ternyata tertangkap oleh Jepang dan disiksa dalam tahanan, Muriel dipaksa mengaku sebagai mata - mata Amerika tapi Muriel yang merasa bukan mata - mata tetap kukuh tidak mau mengaku. Singkat cerita setelah Jepang kalah pasukan kemerdekaan Indonesia dibawah pimpinan bung Tomo membebaskan Muriel, dan diberikan dua pilihan pergi kembali ke negaranya dengan jaminan pengamanan dari Tentara Indonesia atau ikut berjuang dalam perang kemerdekaan Indonesia. Muriel pun memilih untuk ikut berjuang, dan dia diberikan posisi sebagai penyiar radio perjuangan. Setiap malam Muriel mengudara di radio menyampaikan berita tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan memakai bahasa Inggris, hal ini dilakukan untuk membuka mata internasional bahwa sebuah negara bernama Indonesia sudah merdeka dan sedang bertarung mempertahankan kemerdekannya. Bahkan Muriel sempat menjadi orator di radio perjuangan dengan bahasa Inggris, menyerukan kejahatan - kejahatan perang yang dilakukan oleh Belanda maupun Inggris. Perjuangan Muriel yang palin dikenang adalah ketika pertempuran Surabaya sedang berlangsung, dimana peluru dan bom meledak disekitaran stasiun radio perjuangan tapi Muriel tidak gentar dia tetap mengudara dan memberitakan perjuangan Indonesia dalam pertempuran Surabaya. Melalui berita Muriel inilah Inggris banyak mendapat tekanan internasional termasuk dari sekutunya Amerika Serikat, dan tidak lama kemudian Inggris pergi angkat kaki dari Indonesia dan meninggalkan Belanda yang membonceng sebelumnya. Ketika ibu kota dipindahkan Jogjakarta Muriel juga ikut pindah kesana dan bekerja pada kantor menteri pertahanan yang dijabat oleh Amir Syarifuddin. Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia, Muriel banyak melakukan perjalanan ke luar negeri untuk menggalang aksi pengakuan terhadap Republik Indonesia. Muriel meninggal pada 27 Juli 1997 di Sydney, Australia, menjelang dikremasi bendera Indonesia dan lembaran kain kuning dan putih khas Bali dihamparkan diatas petinya.
Itu tadi beberapa pejuang Indonesia yang bukan asli Indonesia, tapi mau merelakan dirinya untuk kemerdekaan Indonesia. Mereka bukanlah orang yang lahir disini dan tidak memiliki kewajiban membela tanah air ini, tapi mereka begitu mencintai Indonesia dan memiliki suatu koneksi jiwa terhadap bangsa ini. Mereka tidak mengeksklusifkan diri karena mereka berbeda tapi mereka bersatu bersama pejuang - pejuang lain, berbaur untuk satu kata "MERDEKA".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar