Rabu, 03 Juli 2024

Sejarah Perang Puputan Badung 1906: Ketidakadilan Belanda

 


Sejarah Perang Puputan Badung 1906: Ketidakadilan Belanda

Bencana itu bermula dari sebuah kapal/wangkang berbobot 90,27 Ton bernama 'Sri Kumala' yang mengangkat sauh dari Banjarmasin. Tanggal 27 Mei 1904, kapal karam ini di pesisir pantai Sanur,Wilayah selatan kerajaan Badung.

Menurut laporan sang pemilik yang bernama Kwee Tiktjiang, kapalnya tengah memuat gula pasir, minyak tanah, dan terasi yang akan dibawakan di Bali. Terdapat juga puluhan ribu uang kepeng dan uang perak senilai 3000 Ringgit atau setara dengan 7.500 Gulden.

Setelah gelombang laut reda, dengan didampingi syahbandar Tionghoa Sanur bernama Sik Bo, pemilik kapal dan nahkoda melaporkan kejadian ini pada punggawa sanur Ida Bagus Ngurah.

Ada kesepakatan antara kerajaan-kerajaan Bali dengan Belanda yang menyatakan bahwa raja harus melindungi dan menyelamatkan isi kapal yang karam. Kesepakatan ini diteken pada 1849.

Sebelum tahun itu, yang berlaku adalah hukum Tawan Karang/Taban Karang, dimana sebaliknya raja justru berhak atas kapal yang terdampar di wilayah beserta seluruh muatannya.


Punggawa Sanur lantas memerintahkan bawahannya untuk menjaga bangkai kapal 'Sri Kumala' beserta isinya. Sayang setelah beberapa hari, bangkai kapal tidak bisa terancam dan terancam tenggelam. Punggawa memerintahkan rakyat sekitar untuk membongkar dan mengumpulkan muatannya di desa Beaung.

Beberapa pekan setelah peristiwa pembongkaran ini, pemilik kapal mengadu pada Residen Bali dan Lombok bernama J. Eschbach yang berkedudukan di Singaraja.

Dia memohon karena menganggap bahwa kapal beserta hartanya telah dirampas penduduk Sanur. Ia juga mengatakan bahwa ia telah kehilangan uang peraknya yang berharga 7500 Gulden.

Aneh karena para nahkoda dan penduduk berhasil menyelamatkan barang-barang dagangannya. Logikanya, jika benar ada uang di kapal tentulah para penduduk akan menyelamatkan tempat uang terlebih dahulu dibandingkan dengan barang dagangan yang nilainya jauh di bawahnya. Pengaduan tersebut tentu saja menyebabkan munculnya antara pemilik kapal dengan kerajaan Badung.


Residen J. Escbach menugaskan bawahannya, yakni seorang kontrolir pada Kantor Urusan Masalah Bumi Putera bernama HJE F. Schwartz agar melakukan pemeriksaan secara teliti di Badung. Schwartz tiba di Badung pada 16 Juli 1904 dan langsung menemukan keterangan dari punggawa Sanur serta menyimpan catatan penyimpanan kapal. Ia tidak mampir ke puri Badung sehingga tidak bertemu dengan raja I Gusti Made Agung yang baru saja dinobatkan 2 tahun sebelumnya.

Dari hasil penyelidikan Schwartz, residen J. Esbach mengirim laporan kepada gubernur Jendral Van Heutsz di Batavia melalui surat Nomor 55/18 Agustus 1904/Rahasia yang isinya sebagai berikut.
  • menyimpulkan benar telah terjadi pencurian dan penjarahan oleh penduduk Sanur terhadap kapal 'Sri Kumala.

  • kerajaan Badung tidak melanggar pasal 11 perjanjian 13 Juli 1849 mengenai penghapusan Tawan Karang, namun raja dianggap lalai karena tidak menjaga kapal 'Sri Kumala' sehingga penjarahan tidak dapat dihindarkan.

  • mengusulkan agar permasalahan dibawa ke Majelis Kerta (Badan Peradilan Kerajaan Badung)

  • menetapkan agar raja Badung membayar kerugian yang dialami pemilik kapal senilai 7500 Gulden

Sebagai Gubernur Jendral, van Heutsz wajib menyertakan Dewan Hindia Belanda sebelum mengambil kebijakan. Ia menugaskan residen agar memantaunya ke Dewan Hindia Belanda.

Tanggal 28 Oktober 1904, J Eschbachpun memberikan laporan pada sidang Dewan Hindia Belanda di ibu kota Batavia. Pada 4 November 1904 Dewan Hindia Belanda mengeluarkan nasehat pada pemerintah agar.

  • mengambil tindakan yang sangat berhati-hati dalam menyelesaikan masalah 'Sri Kumala'

  • menganggap berlebihan bila raja dibebankan biaya ganti rugi 7500 Gulden karena terdapat indikasi ketidakjujuran pemilik kapal Kwee Tjiang dan Residen J. Eschbach yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dari musibah 'Sri Kumala.

  • menyarankan gubernur jendral untuk menunggu keputusan Majelis Kerta untuk memutuskan perkara sesuai dengan hukum adat yang berlaku di Badung


Van Heutsz tidak menerima saran dari Dewan Hindia tersebut. Ia ternyata melihat sebuah peluang. Kini terbuka jalan bagi sang gubernur jenderal untuk menjalankan misinya di atas kerajaan Badung. Misi menjalankan prinsip Pax Neerlandica.

PAX NEERLANDICA

Johannes Benedictus Van Heutsz adalah pahlawan perang Belanda. Meskipun kontroversial, hingga kini namanya tetap dikenang dalam memori kolektif warga Belanda.

Ia pernah diabadikan sebagai nama kapal pada tahun 1926, sebagai nama monumen di Aceh dan Batavia tahun 1932, sebagai nama resimen infanteri kerajaan Belanda, nama jalan yang kini berganti menjadi jalan Teuku Umar di wilayah elit Jakarta, hingga judul lagu mars. Sungguh bukan pahlawan kelas kaleng-kaleng.

Perjalanan Luar Biasa. membayangkan, ia menginjakkan kaki pertama kali di tanah Aceh sebagai seorang prajurit letnan dua, namun saat keluar dari bumi serambi Mekah tersebut pangkatnya adalah yang paling tinggi; gubernur militer aceh. Semua itu berasal dari kegemilangannya menjinakkan Aceh.

Tak dinyana perang berlangsung berdarah-darah dan berlarut-larut. Belanda sudah hampir hilang akal akibat besarnya kerugian material dan prajurit yang diderita, sedangkan tanda-tanda kemenangan masih belum terlihat.


Van Heutsz dengan bantuan penasehatnya, Snouck Hurgronje mengatasi masalah, mempelajari adat setempat sehingga mampu menemukan strategi yang tepat guna melihat heroiknya perlawanan orang Aceh.

Iapun mampu merumuskan strategi brilian yang berhasil mengubah perang. Prestasi yang membawanya duduk di kursi empuk jabatan gubernur jendral Hindia Belanda untuk masa 5 tahun.

Ia terkenal sebagai perwira yang pro akan terwujudnya Pax Neerlandica, yakni penguasaan seluruh nusantara dibawah satu kesatuan pemerintahan mutlak di bawah pimpinan pemerintah pusat kolonial di Batavia.

Idealisme ini membuat Van Heutsz menutup mata pada realitas di lapangan. Kenyataan yang berlaku di masa itu tidak sesuai karena beberapa wilayah di Hindia Belanda termasuk di Bali memerlukan pendekatan yang berbeda.

Sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat sebelumnya, peraturan-undangan pemerintah kolonial tidak berlaku bagi kerajaan-kerajaan di Bali. Bagi Van Heutsz hal semacam ini sangat tidak sesuai dengan prinsip kolonialisme dan mengganggu kewibawaan kerajaan Belanda.

Di bawah sebagai orang jajahan nomor satu di tanah jajahan, ia sangat terdorong untuk menguasai Bali dan menempatkan raja-raja Bali langsung di pemerintahan pusat Batavia. Tentu saja niat Van Heutsz itu tidak mudah diwujudkan karena perjanjian 13 Juli 1849 secara hukum menjamin berlangsungnya pemerintahan dalam negri kerajaan-kerajaan Bali tanpa campur tangan Belanda.

Memulai perang penaklukan di Bali tanpa sebab tentu akan membuat gaduh suasana politik Batavia dan berimbas pada terganggunya hubungan dengan Dewan Hindia maupun dengan parlemen kerajaan Belanda. Peristiwa 'Sri Kumala' adalah peluang tidak terduga yang telah dinantikannya selama ini.

BLOKADE PERAIRAN BADUNG OLEH ANGKATAN LAUT HINDIA BELANDA

Pada 19 Desember 1904 Residen J Eschbach berkunjung ke ibu kota kerajaan Badung Denpasar untuk berbicara dengan raja I Gusti Ngurah Made Agung yang didampingi para pembesar dan punggawa kerajaan.

Residensi pemerintah Hindia Belanda atas ganti rugi'Sri Kumala' yang dibebankan pada raja. Tuntutan ditolak dengan tegas karena raja tersebut dan pemerintah menyatakan Badung merasa tidak bersalah.

Raja telah bertindak sesuai prosedur yakni memerintahkan agar dilakukan penjagaan atas bangkai kapal. Meskipun belum berhasil, beliau juga sudah berusaha mencari pencuri yang dikatakan telah menjarah kapal.

Punggawa Sanur, 11 orang yang menurunkan muatan 'Sri Kumala', serta jumlah penduduk yang bersumpah di pura bahwa mereka tidak mengambil isi kapal.

Sebaliknya, dalam pembelaannya, raja menjelaskan bahwa hanya berkat bantuan 11 orang itulah yang dapat membantu tepat pada waktunya. Ke sebelas orang itu melaksanakan dengan jujur ​​dan tidak mencuri.

Selanjutnya raja berujar bila Kwee Tektjiang merasa dirugikan, sebaiknya dia datang ke Denpasar dan permasalahannya di sidang Majelis Kerta di Denpasar. Jika hal itu disetujui, maka raja juga akan tunduk pada segala putusan Majelis Kerta.
 

 


Demi mendapatkan tegas tanpa tedeng aling-aling ini, Residen J Escbach meninggalkan Denpasar pada 23 Desember 1904 sambil meninggalkan surat ultimatum disertai ancaman agar raja I Gusti Ngurah Made Agung membayar ganti rugi Selambat-lambatnya pada 5 Januari 1905.

Residen J Eschbach melaporkan semuanya pada Gubernur van Heutsz di Batavia melalui kawat 25 Desember 1904 bernomor 621/ Rahasia. Ia meminta agar segera dikirimkan kapal perang dan pengangkut yang akan digunakan memblokade perairan Badung.

Pendaftarannya disetujui. Dikirimlah kapal 'Zwalu' dan 'Spits milik Angkatan laut Belanda. Waktu berlalu dan seperti yang telah dilupakan sebelumnya, hingga tanggal 5 januari 1905, ganti rugi benar-benar tidak dipilih oleh raja Badung.


 

 


keesokan harinya Belanda mulai melarang penangkapan ikan yang buruk. Keluar barang dagangan juga tidak boleh. Pada 14 Januari 1905 Residen J Escbach mengadakan kunjungan ke perairan Badung untuk memeriksa pelaksanaan blokade. Dalam kesempatan tersebut, ia juga mengadakan pertemuan dengan raja-raja Bali yang lain.

PARA PENGUASA BALI

Residen melakukan pendekatan pada para penguasa Bali agar mendukung blokade terhadap Badung. Berturut-turut ia menemui raja Klungkung, Karangasem, Bangli, dan Tabanan. Raja Bangli Dewa Gede Rai dan raja Gianyar Dewa Manggis VIII memberikan bantuan kepada pemerintah.

Karangasem mendukung Belanda karena telah ditaklukan pada tahun 1894. Raja Karangasem Gusti Gede Jelantik menunjukkan bahwa sudah seharusnya penguasa Badung bertanggungjawab atas insiden “Sri Kumala' dengan membayar ganti rugi.


Raja Klungkung Dewa Agung Jambe II lebih netral. Ia mendesak agar diselesaikan dengan cara damai. beliau mengirimkan utusannya ke Denpasar namun upayanya tidak berhasil.

Sikap Klungkung ini bisa dijangkau karena Klungkung banyak mengadopsi beras dari Badung. Bila terjadi blokade dikhawatirkan akan mengganggu pasokan sehingga penduduk terancam menderita.
 

 


 

 


Pada dasarnya semua kerajaan yang telah ditaklukan Belanda membantu pemerintah kolonial walaupun masing-masing sulit memutuskan hubungan dengan Badung karena juga memiliki kepentingan masing-masing. Saat itu Klungkung dan Bangli belum ditaklukan.

Raja Tabanan Gusti Ngurah Agung memilih berpihak pada raja Badung I Gusti Ngurah Made Agung karena hubungan dua kerajaan ini sangat dekat. Mereka bahkan memiliki perjanjian pertahanan Bersama. Menurutnya, blokade Badung tidak hanya akan merugikan Badung saja melainkan seluruh Bali pada umumnya.

Blokade menjadi tidak efektif karena Tabanan tidak efektif karena Badung tidak membatasi perbatasannya.

KETEGUHAN DAN HARGA DIRI I GUSTI NGURAH MADE AGUNG

I Gusti Ngurah Made Agung, raja yang keras kepala dan anti diplomasi. Pada 10 Februari 1905 beliau sekali lagi mengirimkan surat pada residen dan menegaskan kembali bahwa badung tidak menodai kesepakatan yang pernah dibuat dan benar-benar tidak bersalah.

Blokade membuat rakyat sengsara karena tidak boleh melaut dan bea cukai dari kerajaan tersendat. Sebagai itikad baik, raja menghadirkan seorang anggota Dewan Kerta untuk bertindak sebagai pembela Kwee Tektjiang. Pemerintah Belanda juga harus membayar ganti kerugian akibat dampak blokade nomor 1500 ringgit atau 3.750 Gulden.

Permohonan ini tidak digubris pemerintah dan blokade jalan terus. Kondisi Badung mencekam sekaligus muram akibat politik ini. sejumlah peristiwa aneh dan fenomena alam ditandai sebagai pertanda akan terjadinya bencana di kalangan rakyat Bali yang masih berlangsung dihinggapi takhayul dan mistis.

Salah satunya adalah peristiwa runtuhnya sebagian bangunan pura Luhur Uluwatu, yang terletak di atas tebing karang tinggi, yang menjorok ke laut di desa Pecatu akhir tahun 1905. Kekhawatiran masyarakat Badung memuncak.


Rakyat dan jumlah pemuka Badung menghadap raja dan menambahkan bahwa mereka sanggup bergotong-royong menghimpun dana ganti rugi sebesar 75.000 Gulden agar hubungan dengan Belanda kembali seperti sedia kala.

Para pedagang Bugis dan Tionghoa yang bermukim di Kuta dan pulau Serangan berduyun-duyun datang menghadap hal serupa. Dapat dimaklumi oleh merekalah pihak yang paling dirugikan karena adanya blokade. Mereka tidak bisa berdagang lagi. Ekspor impor Badung berhenti total. Semua permintaan tersebut dengan tegas ditolak oleh raja I Gusti Ngurah Made Agung.

Konon muncul cerita bahwa pada suatu malam, datang seorang utusan berkebangsaan Belanda ke Puri Satria di dalam Puri Agung Denpasar. Utusan tersebut menanyakan apakah raja tidak memiliki uang untuk mengganti kerugian yang diminta.

Raja menjawab bahwa ia memiliki lebih dari cukup harta untuk membayar ganti rugi. Raja tidak menghargai bukan karena masalah uang, karena masalah harga diri.

Untuk menjaga martabat dan kewibawaan kerajaan Badung di mata rakyat dan sekaligus membela diri dari ketidak adilan yang dilakukan pemerintah Belanda atas kasus 'Sri Kumala' yang menimpanya.

PERUNDINGAN TERAKHIR

Bulan demi bulan berlalu dengan tidak adanya perkembangan berarti penyelesaian masalah. Iklim politik di kalangan pemerintah eksekutif Hindia Belanda di Buitenzorg ( Bogor) dan kalangan legislatif di Batavia tengah meninggi akibat semakin populernya Pax Neerlandica. Makin banyak pihak yang keranjingan pada pandangan ini.

Meskipun angin segar bertiup, Van Heutzs yang sejatinya sudah sangat menginginkan perang masih berhati-hati dengan meminta Dewan Hindia Belanda memberikan pendapatnya sehubungan dengan perkembangan yang terjadi.

Dalam rapat pada 31 Maret 1905, Dewan Hindia menginginkan agar Van Heutz berhati-hati dalam masalah pengiriman ekspedisi militer ke Badung.

Dewan Militer tidak setuju dengan Analisis Van Heutzs bahwa raja Badung tidak setuju membayar ganti rugi karena keras dan angkuh. Dewan memberi bukti bahwa raja Badung sebenarnya sangat kooperatif dan memiliki kemauan baik bekerja sama dengan pemerintah.

Pada tanggal 22 Desember 1904 raja I gusti Made Ngurah Agung pernah membuat keputusan tangani kesepakatan yang mengatur penghentian adat 'sati' atau 'mesatiye' (adat kerelaan membakar diri istri-istri bila raja meninggal) di kerajaannya, yang menurut pemerintah sangat tidakb.

Dewan ingin mendekatinya lagi dengan pejabat pejabat tinggi yang berpengalaman.
Gubernur jendral Van Heutzs menindak lanjuti rekomendasi tersebut dengan mengirimkan seorang anggota Dewan Hindia bernama FA Liefrinck pada 7 April 1905 untuk berunding dengan Residen Bali dan raja Badung.

Liefrick berangkat ke Bali pada 12 April tahun yang sama dan 3 hari kemudian mendarat di Singaraja, ibu kota Buleleng yang sekaligus merupakan ibu kota karesidenan Bali. Selanjutnya ia bertolak ke Bali selatan menggunakan kapal “Kwartel.

Lienfrick menjelaskan di hadapan raja Badung bahwa Kwee Tjiang adalah kawula Hindia Belanda yang berlayar dengan kapal berbendera Belanda sehingga pemerintah memiliki wewenang dan menyelesaikan masalahnya. Pemerintah Belanda juga menawarkan dukungan biaya blokade, raja Badung cukup membayar ganti rugi 7.500 Gulden saja.

Sikap raja diberitahukan oleh Van Kol dalam bukunya yang berjudul “Drie Maal Dwars Door Sumatra En Zwerfthochten Bali (Tiga kali melintas Sumatra dan Pelancongan di Bali) Sebagai berikut:

“Oleh karena gangguan-gangguan baru pihak Belanda dan menderita oleh tekanan-tekanan baru pula, maka membacalah raja Badung dengan penuh kebangaan: Lebih baik mati saja dari pada bertahta sebagai raja diperlakukan dengan cara seperti ini.

Pembicaraan Lienfrick dengan I gusti Ngurah Made Agung tidak menghasilkan kesepakatan yang memuaskan. Lienfrick Kembali ke Singaraja pada 5 Mei 1905.

PERJANJIAN PERTAHANAN BERSAMA BADUNG DAN TABANAN

Setelah gagalnya perundingan, raja Badung menghidupkan kembali perjanjian pertahanan dengan raja Tabanan. I Gusti Ngurah Made Agung mengunjungi puri Taban pada 14-19 Mei 1905. Kedua raja melakukan sumpah di pura pamerajan puri agung Tabanan untuk saling membantu satu sama lain dalam peperangan.

Kunjungan tersebut berbalas dengan kunjungan raja Tabanan ke puri agung Denpasar pada 23-30 Juni 1905. Pada 28 Juni 1905 kedua raja mengadakan sumpah setia di pura Tambang Ayung. Raja Puri Agung Pamecutan juga hadir.

Perlu diketahui bahwa secara tradisional, kerajaan Badung diperintah oleh 3 raja, yakni raja Puri Agung Pamecutan, raja Puri Agung Pamecutan, dan raja Puri Agung Kesiman dengan raja Badung bertindak sebagai raja utama berkedudukan di Badung).

Waktu dan permasalahan menjadi semakin membengkak dan seolah-olah berubah menjadi berbeda antara kerajaan Badung dan Taban melawan pemerintah pusat di Batavia.

Pada 17 Juli 1906, Van Heutzs yang telah sampai pada 'point of no return' memberi laporan pada Menteri jajahan Belanda di Den Haag dan menerbitkan Surat Keputusan Gubernur Jendral no. 1 yang berisi ultimatum pemerintah pada Badung dan Tabanan.

Di kantor karesidenan di Singaraja sendiri sejak April 1906 telah ditempatkan seorang perwira Staf Umum Angkatan Darat Hindia Belanda, yakni kapten SH Schutstal van Woudenberg yang menyimpan peta penempatan secara besar-besaran di Badung dan Tabanan. Semua sudah yakin bahwa Badung dan Tabanan tidak akan menggubris ultimatum Belanda.

Raja Badung dan Taban menyadari bahwa mereka tidak akan memenang kan peperangan, namun mereka yakin dengan segala konsekuensinya demi mempertahankan kehormatan dan keadilan. Mayjend. MB Rost van Tonningen ditunjuk sebagai pemimpin ekspedisi militer.

Sebagai upaya terakhir, Lienfrick mengirimkan ultimatum pada raja Badung yang harus dijawab dalam 1×24 jam, dan pada raja Tabanan dalam 3×24 jam. Kedua raja menolak ultimatum untuk segera dilaksanakan.

JALANNYA PERANG YANG BERAT SEBELAH

Tanggal 12 September 1906 semua kapal perang dan kapal pengangkut telah merapat di Sanur dan menempati pos masing-masing. Kekuatan Belanda terdiri atas 2.312 pasukan, 140 marinir, 741 tenaga non militer, 10 meriam yang 4 diantaranya adalah meriam Houwitzer, 20 ekor kuda untuk perwira, dan 45 kuda untuk mengangkut logistik.

Pada 14 September malam hari , pantai Sanur diterangi lampu senter dari kapal-kapal besar Angkatan perang Hindia Belanda karena intelejen mendapat informasi akan adanya serangan pasukan Badung.

Serangan itu tidak terbukti dan bahkan punggawa Sanur menghadap Belanda dan menyatakan bahwa ia dan berharap rakyat Sanur tidak akan melawan.



Quote:

pertempuran yang sebenarnya pecah pada 15 September saat dari pasukan Badung dari Denpasar dan Kuta menyerang bivak-bivak Belanda di Pabean Sanur. Pengepungan berlangsung hingga tengah hari dan mengakibatkan gugurnya 33 jiwa dan 12 orang luka dari pihak Badung.

Kapal-kapal perangpun mulai menembakkan Meriam ke arah Denpasar dan desa-desa sekitarnya selama 2 hari. Puri Agung Denpasar dan Puri Agung Pamecutan menjadi target utama.

Untuk menghambat serangan kavelari berkuda Belanda, Badung memasang ranjau bambu runcing di Renon. Pertahanan di desa-desa sekeliling 3 puri agung antara lain Sesetan, Lantang Bejuh, Kelandis, Tanjung Bungkak, bengkel.

Batalyon ke 18 dan ke 20 yang tiba di desa Panjer disambut serangan gencar dari sekira 2.000 pasukan Badung. Karena hari sudah sore, batalyon mundur ke bentengnya di sanur.

Di banteng serangan muncul serangan oleh 30-an pasukan Badung dari Kesiman. Tembakan perlindungan yang dilancarkan dari kapal perang berhasil melindungi batalyon ini.

Perang pada 16 September ini sangat menguras tenaga sehingga Belanda memutuskan untuk tidak menyerang pada tanggal 17. Meriam kapal dan Meriam banteng tetap ditembakkan ke arah puri.

kabar mengejutkan dari Puri kesiman pada 18 September. Punggawa Kesiman Gusti gede Ngurah Kesiman dibunuh oleh pembangkangan oknum dari suatu kelompok rakyat yang menolak perang terhadap pemerintah.


Tanggal 19 September pagi, dengan kekuatan pasukan Belanda meninggalkan banteng Sanur untuk menyerang Denpasar. Tujuan pertama adalah desa Kesiman dimana diperkirakan pasukan Badung akan mempertahankan puri Agung Kesiman. Saat tiba di desa Tukad Ayung, belanda disambut oleh tembakan dari kebun kelapa penduduk.

Terjadi pertempuran sengit antara tentara modern yang terstruktur melawan kekuatan rakyat yang bercorak tradisional. Strategi tempur berhadap-hadapan dengan jiwa kewiraan satria. Jumlah korban yang jatuh tidak berimbang.

Dalam bukunya yang berjudul 'Indische Reisherinneringgen' (Kenang-kenangan Perjalanan ke Hindia), Jhr .Dr. HM van Weede yang menyertai pasukan ekspedisi militer ini menggambarkan kekagumannya pada pertempuran berani yang belum pernah dilihatnya sebelumnya:

“dalam ingatan saya masih jelas tergambar seorang Bali berbadan tegap yang berdiri di suatu tempat yang agak tinggi, kira-kira 200 meter jaraknya dari pasukan infanteri kita.

Dia berdiri untuk memegangmbaknya yang Panjang yang ditancapkan di tanah. Dengan gerak dan suara ia mendorong dan merangsek yang menggambarkan sikapnya yang tidak gentar menghadapi maut sehingga menjadi teladan bagi yang lain.”


Setelah menghadapi beberapa pertempuran, pada pukul 14.30 Belanda berhasil menguasai Puri Kesiman yang telah dikosongkan. Panglima Van Toninggen segera menetapkan puri sebagai bivak pasukan Belanda.


Tanggal 20 September 1906 pasukan dari batalyon ke 11 dan 18 bergerak menuju Denpasar melewati desa Semerta. Serangan terlebih dahulu dengan tembakan 60 peluru meriam ke arah puri Denpasar sehingga menimbulkan kerusakan besar.

Perlawanan Badung di desa Semerta sangat hebat sehingga jatuh korban dari pasukan Belanda yang cukup signifikan. Setelah berhasil menguasai keadaan, pasukan Belanda bersitirahat selama 1 jam untuk selanjutnya bergerak kembali. Pukul 9 pagi pasukan Belanda mulai memasuki Denpasar.

Pada waktu itu, raja I Gusti Ngurah Made Agung beserta sekira 250 orang anggota keluarga dan pengikut setia tengah berkumpul di puri.

Mereka memegang teguh memegang ajaran, mereka menjunjung jiwa ksatria dan bersumpah setia hingga akhir untuk membantu raja meskipun meskipun konsekuensinya adalah kematian.

Raja lalu memerintahkan untuk membakar puri.

Pada pukul 11 ​​di jalan Denpasar – Tangguntiti pasukan Belanda melihat sejumlah besar rombongan orang Bali yang bergerak kea rah timur. Pasukan artileri menembaki kelompok tersebut, namun mereka tetap merangsek maju.

Sesampainya di perempatan jalan Jero Belaluan pasukan diserang oleh beberapa orang dari rombongan tersebut. mengetahui rombongan tersebut adalah raja I Gusti Ngurah Made Agung beserta kerabatnya yang setia, termasuk wanita dan anak-anak, yang sudah siap mati.

Berulang kali diberi peringatan agar berhenti, tetapi rombongan tetap bergerak maju mendekat hingga 100 meter, 80, lalu 70 meter. Pada jarak itu tiba-tiba raja I Gusti Ngurah Made Agung dan para pengikutnya yang setia berlari kencang sambal menghunus keris dan tombak menerjang pasukan Belanda.

Pada saat itulah tembakan salvo diikuti dengan tersungkurnya sejumlah orang. Raja Badung I Gusti Made Ngurah Agung gugur.




Sekali lagi Jhr .Dr. HM van Weede membuktikannya sebagai berikut:

“Raja dan para pengikutnya pengikutnya mengenakan pakaian yang serba indah bersenjatakan keris yang hulunya terbuat dari emas berhiaskan permata yang berkilauan. Semuanya berpakaian dalam warna merah atau hitam.

Rambut mereka diatur dengan rapi dan ditaburi minyak wangi. Para wanita berdandan dengan pakaian yang paling indah dan semuanya mengenalan selendang putih

Kami mengira kekuatan induk musuh berada dalam puri, kami mengira mereka dalah penduduk yang diutus raja untuk menghadang kami.

Setelah terdengan letusan, perlahan-lahan kami bergerak maju di suatu lapangan kecil. Sungguh pemandangan yang kami lihat di sana. Tumpukan mayat seperti gunung. Pria dan wanita menikam dirinya dan anak-anaknya. Jerit nyawa mereka yang tengah meregang terdengan dimana-mana”


Dari posisi gugurnya raja, pasukan Belanda bergerak maju menuju puri agung Denpasar. pasukan disergap oleh pasukan Badung di kampung-kampung yang dilewati, namun semua perlawanan bias diatasi tanpa kesulitan.

Sesampainya di Puri Agung Denpasar, panglima Van Toninggen memerintahkan untuk melakukan pemeriksaan dan pencarian alutsista Badung yang tersisa.

Pada salah satu bangunan di dalam puri yang bernama Kaniyamata, Belanda menemukan jenazah saudari tiri serba raja yang berbusana putih dan mengenakan perhiasan serba indah, yang berbaring di atas sebuah balai. Diduga sang putri telah membunuh diri atau menyuruh abdinya menikamkan keris ke tubuhnya setelah mendengar kabar kematian raja.

Pukul 15.00 pemeriksaan atas Puri Agung Denpasar telah selesai. Pasukan lalu bergerak menuju sasaran terakhir, yakni Puri Agung Pamecutan. Berita meninggalnya I Gusti Made Ngurah Agung telah terdengar oleh I Gusti Gede Ngurah Pamecutan, satu-satunya raja Badung yang tersisa. Ia memerintahkan agar puri dibakar sebelum melakukan pertempuran dengan Belanda.



Sejarah Perang Puputan Badung 1906: Ketidakadilan Belanda

Dalam gerak maju menuju Pamecutan, pasukan menghadapi perlawanan yang hebat, diantaranya dari seorang pangeran berusia 12 tahun. Kesaksian-kesaksian Jhr .Dr. HM van Weede di Pamecutan adalah sebagai berikut:

“semua orang berhati-hati karena rombongan warga Bali yang kedua tiba, yang dipimpin oleh adik raja lain ibu yang masih berusia 12 tahun. Ia tidak menanggung biaya yang besar dan panjang. Kapten Van Woudenberg memerintahkannya untuk berhenti.

Mula-mula menuntut anak itu ingin menuruti perintah tesebut sampai tampak salah satu pengikutnya mendesaknya untuk terus bergerak maju. Serangan hebat terjadi dan pada waktu pengambilan foto, anak muda itu beserta sejumlah pengikutnya tumbang disapu oleh peluru. Rombongan pahlawan ini menemui ajal yang mereka cari sendiri”

“semua orang telah dicoba haus untuk mati. Beberapa wanita melemparkan uang emas pada prajurit kita sambal menuding jantung mereka sebagai media agar mereka ditembak mati. Bila tidak tertembak, mereka akan menikam diri sendiri.

Orang yang bergerak bergerak diantara mayat-mayat yang bergelimpangan sambal menikam mereka yang terluka namun masih hidup di kanan dan kiri. Ia sendiri akhirnya juga tertembak mati. Senantiasa muncul lagi orang berikutnya yang disimpan untuk disimpan “

“Setelah meriam mereka dihentikan oleh meriam pasukan kita yang berkaliber 3,7 Cm, raja dan para pengiringnya, baik wanita dan anak-anak yang jumlahnya tidak kurang dari 100 orang maju menghadang dan semua membunuh diri.

Kami menemukan mereka bertumpuk. Badan raja terpendam oleh badan-badan para pengikutnya seolah-olah mereka berharap kesetiaan mereka melindungi raja sampai mati.

“Wanita-wanita muda yang paling jelita terlihat tidak bergerak lagi disamping anak-anak mereka. Tandu keemas an raja dan barang-barang lain berhamburan di tegah-tengah mayat. Dengan demikian berakhirlah secara suka rela dua keturunan raja, wakil dari keluarga yang paling di Badung”



DALAM TEKANAN, TABANAN TERPAKSA MENYERAH TANPA SYARAT

Setelah menyelesaikan urusan Badung, Van Toninn untuk menggerakkan pasukan ke Tabanan yang juga ikut membangkang ultimatum 16 September 1906. berita bahwa raja Tabanan Gusti Ngurah Agung dan putra mahkota Pangeran Gusti Ngurah Anom beserta pembesar kerajaan, punggawa dan pedanda ingin bertemu dengan Van Toninngen.


Tanggal 28 September 1906 pukul 08.00, raja Gusti Ngurah beserta rombongannya tiba di Baringkit dari desa Abean Tuwung dan mengadakan pertemuan dengan panglima Van Toninngen yang didampingi Asisten Residen Schwartz.

Belanda meminta penyerahan tanpa syarat apapun atau Tabanan akan menerima konsekuensi pembangkangannya. Tabanan tidak memiliki pilihan lain terlebih setelah mengetahui bahwa sekutunya, yakni raja Badung telah gugur dalam puputan.

Atas dasar penyerahan itu, raja beserta putranya akan mengasingkan diri ke Lombok. Sembari menunggu keberangkatan ke Lombok, raja dan rombongan ditempatkan di Puri Agung Denpasar.

Keesokan harinya tanggal 29 September 1906, terjadi peristiwa mengejutkan. Raja Tabanan Gusti Ngurah Agung Bersama dengan putra mahkota Pangeran Gusti Ngurah Anom ditemukan sudah tidak bernyawa.

Raja memutuskan bunuh diri dengan memotong urat nadinya menggunakan pisau kecil. Putra mahkotanya tewas meminum racun. Kejadian tersebut dilaporkan Liefrinck kepada Menteri Jajahan Belanda di Den Haag.

KERAJAAN BADUNG SELANJUTNYA

Meski telah direstorasi pada 1926, rakyat Badung masih tetap tidak bisa melupakan kekejaman kolonialis Belanda yang telah secara tidak adil memporak-porandakan negrinya.

Atas desakan tokoh-tokoh masyarakat di Lombok dan Bali, salah satu putra raja I Gusti Ngurah Made Agung yang saat berperang di Lombok, yakni Pangeran I Gusti Alit Ngurah diangkat oleh Belanda untuk kedudukan ayah sebagai raja Badung dengan sebutan “regent” (Kerajaan). Badung saat itu resmi menjadi salah satu wilayah swapraja atau daerah istimewa setingkat kabupaten dalam wilayah Karesidenan Bali dan Lombok).

Puri ketiga di Badung dihidupkan kembali.

Raja Badung I Gusti Ngurah Made Agung yang mendapat gelar anumerta “Cokorda Mantuk Ring Rana (raja yang gugur di medan laga) ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 4 November 2015 berdasarkan Keputusan Presiden No.116/TK/2015.

 



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar