1. Freemason Era Soekarno. Di tahun 1945-1950an, loji-loji Freemasonry
oleh kaum pribumi Indonesia disebut pula sebagai “Rumah Setan”
disebabkan ritual kaum Freemason selalu melakukan pemanggilan arwah
orang mati. Lama-kelamaan hal ini mengusik istana, sehingga pada Maret
1950, Presiden Soekarno memanggil tokoh-tokoh Freemasonry Tertinggi
Hindia Belanda yang berada di Loji Adhucstat (sekarang Gedung
Bappenas-Menteng) untuk mengklarifikasi hal tersebut. Di depan Soekarno,
tokoh-tokoh Freemasonry ini mengelak dan menyatakan jika istilah
“Setan” mungkin berasal dari pengucapan kaum pribumi terhadap “Sin Jan”
(Saint Jean) yang merupakan salah satu tokoh suci kaum Freemasonry.
Walau mereka berkelit, namun Soekarno tidak percaya begitu saja.
Akhirnya, Februari 1961, lewat Lembaran Negara nomor 18/1961, Presiden
Soekarno membubarkan dan melarang keberadaan Freemasonry di Indonesia.
Lembaran Negara ini kemudian dikuatkan oleh Keppres Nomor 264 tahun 1962
yang membubarkan dan melarang Freemasonry dan segala “derivat”nya
seperti Rosikrusian, Moral Re-armament, Lions Club, Rotary Blub, dan
Baha’isme. Sejak itu, loji-loji mereka disita oleh negara.
2. Freemason Era Gus Dur. 38 tahun kemudian pada saat Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih menjadi presiden Indonesia ketiga,
ia mencabut Keppres nomor 264/1962 tersebut dengan mengeluarkan Keppres
nomor 69 tahun 2000 tanggal 23 Mei 2000. Sejak itulah, keberadaan
kelompok-kelompok Yahudi seperti Organisasi Liga Demokrasi, Rotary Club,
Divine Life Society, Vrijmetselaren-Loge (Loge Agung Indonesia) atau
Freemasonry Indonesia, Moral Rearmament Movement, Ancient Mystical
Organization Of Rosi Crucians (AMORC) dan Organisasi Baha’i menjadi
resmi dan syah kembali di Indonesia.
3. Gerakan Freemason Indonesia ada di Buku-Buku Sejarah. Namun meski
ratusan tahun beroperasi di Nusantara, keberadaan Freemason
(Belanda:Vrijmetselaarij), nyaris tak tertulis dalam buku-buku sejarah.
Padahal, banyak literatur yang cukup memadai untuk dijadikan rujukan
penulisan sejarah tentang gerakan salah satu kelompok Yahudi di wilayah
jajahan yang dulu bernama Hindia Belanda ini. Literatur atau buku-buku
tentang Freemasonry yang sempat ada di Indonesia, diantaranya adalah:
-Vrijmet selaarij: Geschiedenis, Maats chapelijke Beteekenis en Doel
(Freemason: Sejarah, Arti untuk Masyarakat dan Tujuannya) yang ditulis
oleh Dr Dirk de Visser Smith pada tahun 1931.
-Geschiedenis der Vrymet selary in de Oostelijke en Zuidelijke Deelen
(Sejarah Freemason di Timur dan Selatan Bumi) yang ditulis oleh J
Hagemen JCz pada tahun 1886.
-Geschiedenis van de Orde der Vrijmetselaren In Nederland Onderhoorige
Kolonien en Londen (Sejarah Orde Freemason di Nederland di Bawah
Kolonialisme) yang ditulis oleh H Maarschalk pada tahun 1872.
-Gedenkboek van de Vrijmet selaaren In Nederlandsche Oost Indie
1767-1917 (Buku Kenang-kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917),
yang diterbitkan secara resmi pada tahun 1917 oleh tiga loge besar.
-Buku: Loge de Ster in het Oosten (Batavia)
-Buku: Loge La Constante et Fidele (Semarang)
-Buku: Loge de Vriendschap (Surabaya).
-Vrijmetselarij en samenleving in Nederlands-Indie en Indonesie 1764-
1962 (Freemason dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-
1962) ditulis pada tahun 1994, oleh Dr Th Stevens, seorang peneliti yang
juga anggota Freemason. Berbeda dengan buku-buku tentang Freemason di
Hindia Belanda sebelumnya, buku karangan Dr Th Stevens ini sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2004.
4. Buku-buku yang mengungkap tentang sejarah keberadaan jaringan
Freemason di Indonesia sejak masa penjajahan tersebut, sampai saat ini
masih bisa dijumpai di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Bahkan,
Indisch Macconiek Tijdschrift (Majalah Freemason Hindia), sebuah
majalah resmi milik Freemason Hindia Belanda yang terbit di Semarang
pada 1895 sampai awal tahun 1940-an, juga masih tersimpan rapi di
perpustakaan nasional. Selain karya Stevens dan H Maarschalk yang
diterbitkan di negeri Belanda, buku-buku lainnya seperti tersebut
diatas, diterbitkan di Semarang dan Surabaya, dua wilayah yang pada masa
lalu menjadi basis gerakan Freemason di Hindia Belanda, selain Batavia.
5. Raden Saleh, adalah bangsawan dan pelukis terkenal Jawa yang menjadi
freemason pribumi pertama. Raden Saleh Sjarif Boestaman adalah pelukis
Indonesia beretnis Arab-Jawa yang mempionirkan seni modern Indonesia
(saat itu Hindia Belanda). Karena lukisannya yang indah, membuat dirinya
dekat dengan orang-orang Belanda. Lukisannya merupakan perpaduan
Romantisisme yang sedang populer di Eropa saat itu dengan elemen-elemen
yang menunjukkan latar belakang Jawa sang pelukis. Keberadaan jaringan
Freemason di Indonesia seperti ditulis dalam buku “Kenang-kenangan
Freemason di Hindia Belanda” 1767-1917 adalah 150 tahun atau 199 tahun,
dihitung sejak masuknya pertama kali jaringan Freemason di Batavia pada
tahun 1762 sampai dibubarkan pemerintah Soekarno pada tahun 1961.
6. Buku “Kenang-kenangan Freemason di Hindia Belanda” 1767-1917
misalnya, memuat secara lengkap operasional, para tokoh, dokumentasi
foto, dan aktivitas loge-loge yang berada langsung di bawah pengawasan
Freemason di Belanda. Buku setebal 700 halaman yang ditulis oleh Tim
Komite Sejarah Freemason ini adalah bukti tak terbantahkan tentang
keberadaan jaringan mereka di seluruh Nusantara. Keterlibatan
elite-elite pribumi, diantaranya para tokoh Boedi Oetomo dan elite
keraton di Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta, terekam dalam buku
kenang-kenangan ini.
7. Radjiman Wediodiningrat, orang yang pernah menjabat sebagai pimpinan
Boedi Oetomo, adalah satu-satunya tokoh pribumi yang artikelnya dimuat
dalam buku kenang-kenangan yang menjadi pegangan anggota Freemason di
seluruh Hindia Belanda ini. Radjiman yang masuk sebagai anggota
Freemason pada tahun 1913, menulis sebuah artikel berjudul ”Een
Broderketen der Volken” (Persaudaraan Rakyat). Radjiman pernah memimpin
jalannya sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI). Selain Radjiman, tokoh-tokoh Boedi Oetomo lainnya yang
tercatat sebagai anggota Freemason bisa dilihat dalam paper berjudul
“The Freemason in Boedi Oetomo” yang ditulis oleh CG van Wering.
Kedekatan Boedi Oetomo pada masa-masa awal dengan gerakan Freemason bisa
dilihat setahun setelah berdirinya organisasi tersebut. Adalah Dirk van
Hinloopen Labberton, pada 16 Januari 1909 mengadakan pidato umum
(openbare) di Loge de Sterinhet Oosten (Loji Bintang Timur) Batavia.
Dalam pertemuan di loge tersebut, Labberton memberikan ceramah berjudul,
”Theosofische in Verband met Boedi Oetomo” (Theosofi dalam kaitannya
dengan Boedi Oetomo). Theosofi adalah bagian dari jaringan Freemason
yang bergerak dalam kebatinan. Aktivis Theosofi pada masa lalu, juga
adalah aktivis Freemason. Cita-cita Theosofi sejalan dengan Freemason.
8. Misi dan faham Freemason. Apa misi Freemason? Dalam buku “Tarekat
Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia”, 1764-1962,
karya Dr Th Steven dijelaskan misi organisasi yang memiliki simbol
Bintang David ini: ”Setiap insan Mason bebas mengemban tugas, dimana pun
dia berada dan bekerja, untuk memajukan segala sesuatu yang
mempersatukan dan menghapus pemisah antar manusia.” Jadi, misi Freemason
adalah “menghapus pemisah antar manusia!”. Salah satu yang dianggap
sebagai pemisah antar-manusia adalah ‘agama’. Maka, jangan heran, jika
banyak freemason berteriak lantang: ”semua agama adalah sama”. Atau,
”semua agama adalah benar, karena merupakan jalan yang sama-sama sah
untuk menuju Tuhan yang satu.”
9. Loji-Loji Freemason di Indonesia. Banyak loji yang ditutup pada masa
pendudukan Jepang. Kemudian semua loji di Indonesia ditutup setelah
Freemasonry dilarang berdiri oleh Soekarno pada tahun 1962. Semarang,
Padang, Yogyakarta, Surakarta, Aceh Darussalam, Probolinggo, Makassar,
Medan, Magelang, Salatiga, Bandung, Tegal, Malang, Blitar, Batavia,
Jember, Palembang, Sukabumi, Purwokerto, Surabaya.
10. Berikut sejumlah gambar buku yang pernah terbit dan menceritakan
sepak terjang Freemasonry di Nusantara dan bisa dicari di Perpustakaan
Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar