Selasa, 19 Desember 2023

Menjadi Cukup

 
Pernahkah Anda hidup kekurangan? Saya pernah, dan lama. Waktu saya masih kecil, Emak dan Ayah harus membagi penghasilan yang tak seberapa untuk sekolah 4 anaknya sekaligus. Jadi, semua harus serba dijatah. Jatah saya untuk seragam adalah seragam bekas abang. Itu saya pakai sejak hari pertama masuk madrasah tsanawiyah di kota. Waktu SD di kampung tak perlu seragam.

Salah satu celana bekas abang itu begitu sempit. Saya malu untuk memasukkan ujung kemeja ke dalam pinggang celana sebagaimana dituntutkan oleh peraturan sekolah. Jadi saya memilih untuk membiarkan ujung kemeja itu terjurai menutupi celana sempit itu. Tapi hal itu dianggap tak disiplin. Maka saya pernah dihukum, berdiri di tengah lapangan upacara saat upacara berlangsung, jadi perhatian murid satu sekolah, karena tidak disiplin tadi.

Saya masih ingat betul, tahun 80-an, jatah belanja lauk dan sayur di rumah kami hanya 1000 rupiah sehari. Waktu itu sebutir telur harganya 75 rupiah. Kadang di rumah cuma dijatah makan telur sebelah, sambal, dan sayur toge.

Jajan? Tidak ada istilah uang jajan. Kalau lapar di sekolah, ya ditahan saja. Sesekali ada teman yang menraktir, barulah saya menikmati jajan.

Sering saya ingin sesuatu. Entah makanan atau mainan. Tapi sangat jarang terkabul. Jadi, saya terbiasa menahan diri. Ingin pun tak akan terkabul. Jadi lebih baik tahan diri dan tahu diri. Sadar, bahwa Emak tak mengabulkan bukan karena tak sayang atau pelit, tapi karena memang tak bisa.

Tentu saja saya ingin hidup yang lebih baik kelak. Ketika kuliah di Yogya, transportasi untuk pulang kampung adalah kapal kelas ekonomi. Waktu itu terbayang, kalau  nanti kerja, akankah saya punya uang lebih? Rasanya tak tega kalau bepergian dengan anak istri mesti naik kapal kelas ekonomi.

Tapi Emak selalu mengingatkan bahwa harta bukanlah tujuan. Waktu lulus kuliah saya sempat kerja di perusahaan minyak, dengan gaji yang cukup besar untuk ukuran lulusan baru. Saudara-saudara bergembira. Sebentar lagi akan ada orang kaya dari keluarga kita. 

Tapi Emak malah tak suka. "Emak tak melihat itu megah. Itu bukan tujuan kita." kata Emak. Karena hal itu dan sebab lain, aku berhenti bekerja, dan mulai jadi dosen dengan gaji sepersepuluh waktu kerja minyak. Tapi Emak bahagia.

Ketika saya punya penghasilan lebih baik, saya memilih untuk merasa cukup. Cukup dengan apa yang memang saya butuhkan. Tentu manusiawi bila ada berbagai keinginan. Tapi memenuhi setiap keinginan itu bukanlah tujuan hidup. Fokus hidup adalah memberikan yang terbaik untuk anak-anak. Dan tentu, itupun bukan materi. Hal utama yang dibutuhkan anak-anak adalah kebersamaan, bimbingan, dan tentu saja kasih sayang. Untuk itulah energi dipusatkan.

Artinya, tak perlu menghabiskan energi mengejar sesuatu yang ketika kita sampai kepadanya kita sadar bahwa yang kita inginkan sebenarnya ada di depan sana, lebih jauh lagi. Dan begitu seterusnya.

Hidup itu nikmat bila kita merasa cukup.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar