Jumat, 06 Oktober 2023

Memahami G30S dan Pembantaian Massal 1965-1967 Dengan Pikiran Jernih

  



Jujur, saya bingung mau menyebut peristiwa ini peristiwa apa namanya. Kalau disebut "Pembersihan PKI", faktanya korban yang "dibersihkan" itu tidak cuma PKI, tapi ada juga dari PNI. Bahkan, ada juga yang cuma sekedar nge-fans sama Bung Karno. Bahkan, ada juga yang cuma sekedar pernah ngisi acara sebagai penyanyi di suatu hajatan pernikahan seorang keluarga simpatisan PKI. Bahkan, ada juga yang cuma karena pernah ikut pentas seni budaya yang diselenggarakan Lekra. Bahkan, ada juga yang cuma karena punya banyak kenalan sama anggota Pemuda Rakjat. Mereka semua secara mudah dituduh PKI. Mereka semua di-PKI-kan oleh para pembantai yang mengaku patriot pembela Pancasila dan NKRI.


Semua ini memang diawali oleh G30S, dan selalu saja kita melihat G30S ini berdasarkan delusi bahwa sejarah itu mengandung dualisme/hitam-putih. Ada baik, ada jahat. Ada pahlawan, ada pengkhianat. Ada perjuangan, ada pemberontakan.

Untuk itu, dalam memahami G30S dan Pembantaian Massal 1965-1967, izinkan ane memberikan 2 (dua) buah analogi. Mohon maaf apabila merk disebutkan dalam analogi, semata-mata untuk memudahkan agan-agan untuk membayangkan analogi tsb.

====================



Analogi pertama sbb:

Kamu dan aku adalah warga Lamongan. Kamu adalah seorang anggota FPI, sedangkan aku bukan anggota FPI. Tapi kita berdua sama. Kita sama-sama mengagumi figur Habib Rizieq. Kita sama-sama memiliki keyakinan bahwa Islam di tangan Habib Rizieq akan gemilang dan meraih kemenangan. Kita (kamu dan aku) sama-sama menolak pemerintahan Jokowi. Kita sama-sama memiliki keyakinan bahwa Jokowi telah menindas kaum Muslim.

Tiba-tiba, pada tanggal 30 September 2021, terjadi sebuah peristiwa mengejutkan. Presiden Jokowi mati terbunuh oleh 10 menterinya. Kesepuluh menterinya itu mengumumkan bahwa Presiden Jokowi adalah pengkhianat, dan mereka meminta rakyat untuk tenang dan patuh kepada "pemerintah" untuk sementara waktu sampai ada pengganti presiden selanjutnya. Kesepuluh menteri ini juga mengumumkan agar rakyat melakukan mobilisasi mendukung gedung MPR/DPR untuk mendukung aksi "penyelamatan terhadap Negara" ini.

Di hari yang sama, belum sempat rakyat bergerak ke gedung DPR, para menteri ini sudah berhasil diringkus oleh TNI tapi tanpa sepengetahuan rakyat, karena semua media dilarang meliput oleh TNI, untuk menghindari adanya provokasi lebih lanjut. Rakyat jadi bingung, apa yang sebenarnya terjadi.

Tapi, sehari kemudian, larangan itu dicabut. Tidak perlu waktu lama, semua media baik itu Kompas TV, Net TV, dll memberitakan adanya kudeta dari 10 menteri kepada pemerintahan Jokowi. Tapi, media FPI TV justru memberitakan sebaliknya, bahwa 10 menteri tsb telah menyelamatkan Negara dari rezim jahat Jokowi.

Meskipun belum bisa dipastikan kebenarannya, rakyat sudah keburu curiga bahwa FPI yang telah menjadi dalang di balik pembunuhan Presiden Jokowi. TNI juga mengumumkan bahwa Habib Rizieq bergerak di belakang sebagai dalang yang merencanakan pembunuhan Presiden Jokowi. Tidak perlu waktu lama, massa dari berbagai elemen mengadakan aksi massa gabungan menuntut Wapres Ma'ruf Amin untuk melarang FPI. Bahkan, TNI turut melakukan agitasi secara tidak langsung dalam aksi massa, bahwa FPI bermaksud jahat untuk menggulingkan NKRI dan menggantinya dengan Khilafah, namun niat jahat tsb telah gagal karena TNI telah menyelamatkan NKRI. Massa semakin tersulut emosi dan kebenciannya menjadi semakin meluap kepada FPI. "FPI Pengkhianat! Bunuh FPI! Bantai FPI! Ganyang Kadrun!!!, begitulah yel-yel yang disorakkan rakyat.

Tapi karena tidak ada kejelasan dari pemerintah, maka massa mengeruduk markas besar FPI, menghancurkan dan membakar semua kantor-kantor FPI. Tidak cuma itu, mereka juga menciduk seluruh anggota FPI dimanapun mereka berada, langsung dibunuh di tempat. Dan kejadian ini terjadi selama berturut-turut sampai beberapa bulan ke depan secara bertahap dan semakin meluas ke seluruh Jawa. Bahkan, tensinya naik ke tingkat nasional. TNI telah mengumumkan bahwa Habib Rizieq terlibat dalam pembunuhan Presiden Jokowi dan berencana melakukan makar. Rakyat bersama TNI yakin bahwa FPI sedang mengkudeta negara. Begitulah yang setiap hari kita dengar di berita dan medsos.

Suatu hari, sekelompok massa di Lamongan mendatangi dan mengepung ke rumah kamu. Mereka meneriaki "FPI bangshad!!! Keluar kamu, dasar kadrun anjink!!!". Kamu pun takut. Apa salah kamu? Kamu kan bukan pembunuh Presiden Jokowi. Kamu juga bukan orang yang terlibat dalam pembunuhan itu. Bahkan kamu pun juga masih kekeuh gak percaya kalo Habib Rizieq adalah dalang pembunuhan itu dan bermaksud untuk mengadakan makar dan kudeta. Jangankan terlibat, kamu aja gak tahu kalo Habib Rizieq berencana mengkudeta Jokowi. Jangankan tahu. Kamu selama ini ikut pengajian FPI, tidak pernah sekalipun mendengar informasi resmi dari FPI bahwa FPI akan membunuh Presiden Jokowi. Yang kamu bahas selama pengajian hanyalah tentang agama, walaupun ada beberapa kritik terhadap pemerintahan Jokowi, tapi tidak pernah terdengar ada rencana bahwa FPI akan membunuh Presiden Jokowi. Kamu sama sekali gak tahu dengan pembunuhan Presiden Jokowi tsb dan sudah pasti gak terlibat dalam pembunuhan itu.

Tapi massa sudah marah. Mereka mendobrak rumah kamu. Harta kamu dijarah. Kamu bersama istri dan anak kamu diciduk paksa oleh massa. Rumah kamu kemudian dibakar massa. Kamu diarak ke sebuah lapangan. Di sana kamu lihat ada banyak prajurit TNI, tapi mereka diam saja. Kamu ditelanjangi. Istri kamu juga. Anak kamu juga. Massa berteriak: "Hei kadrun pengkhianat! Gue matiin lu!". Istri dan anak kamu berteriak minta tolong, tapi sudah pasti gak ada yang nolongin. Istri kamu langsung dipancung di lapangan. Anak kamu dibawa sekelompok massa ke suatu tempat yang kamu tidak tahu. Kamu pun kemudian dibunuh di situ.

Aku juga bernasib sama seperti kamu. Padahal aku bukan anggota FPI. Aku hanya kagum sama Habib Rizieq. Di rumahku pun ada foto sang Habib yang kupajang di ruang tamu. Tiba-tiba massa datang dan mengepung. Sama seperti kamu, aku dan istriku diciduk paksa oleh massa. Untungnya, anakku sedang berada di rumah neneknya di Kediri. Istriku dibawa ke lapangan, sementara aku dibawa ke sebuah sekolah. Di sana aku kaget melihat anakmu sedang diperkosa. Aku juga lihat banyak mayat dikumpulin di sana. Aku jadi khawatir sama anak aku. Aku yakin kamu sudah dibunuh, dan aku yakin aku akan segera dibunuh. Tapi massa membawaku kepada pak Lurah, di kanan kirinya ada prajurit TNI. Aku diinterogasi. Aku ditanya apakah FPI atau bukan. Aku pun menjawab bukan. Mereka tidak menemukan kartu anggota FPI ku, karena memang aku bukan anggota FPI. Tapi, aku gak bisa mengelak ketika ditanya: "Kamu bersimpati kan sama Habib Rizieq? Kamu simpatisan FPI kan?". Aku menjawab tidak, tapi massa membawa foto-foto sang Habib yang kupajang di rumah. Mereka juga membongkar isi rumahku dan menemukan beberapa keping rekaman ceramah Ustadz Abdul Somad, pengajian Majelis Rasulullah, dan tentu saja mereka memeriksa HP ku dan menemukan banyak sekali video rekaman ceramah Ustadz Abdul Somad. Pak Lurah bertanya: "Kalo bukan FPI, kenapa banyak ceramah Abdul Somad?". Lalu kujawab: "Ustadz Abdul Somad kan juga bukan FPI, pak!". Tapi prajurit TNI menyela: "Tapi dia sahabat dekat Habib Rizieq, dia itu kadrun! Kamu juga kadrun! Kamu pengen mengganti Pancasila dengan Khilafah radikalmu itu!". Aku berusaha mengelak lagi, tapi aku diancam dibunuh, istriku yang sedang berada di lapangan juga diancam mau dibunuh.

"Aku tidak terlibat dalam pembunuhan Presiden Jokowi!

Aku juga tidak tahu akan ada pembunuhan Presiden Jokowi!

Aku juga bukan FPI! Aku cuma kagum sama Habib Rizieq!"


Begitulah jeritanku di dalam hati. Tapi apa daya, kesaksianku tidak ada gunanya. Mereka memang sengaja pengen membersihkan semua lawan politik Jokowi. Akhirnya aku dibawa ke sebuah pulau bernama pulau Buru dan sekaligus menyandang status sebagai tapol.


Dari analogi di atas, siapa yang jahat?
1. Kamu?
2. Aku?
3. Habib Rizieq?
4. FPI?
5. Jokowi?
6. Rakyat?
7. TNI?

Susah menjawabnya siapa yang jahat, tapi jawaban yang pasti adalah kamu dan aku tidak jahat dan tidak punya maksud jahat, dan setiap aksi main hakim adalah jahat, apapun alasan dan sangkaannya.

Lalu pertanyaan selanjutnya, apakah rakyat dan TNI boleh membunuhi anggota FPI dan kadrun hanya karena peristiwa ini?

Jawabannya, atas nama kemanusiaan dan dasar Pancasila Sila Kedua: "Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab", maka tentu saja tidak boleh!

Biar ane gak dituduh kadrun, sekarang ane kasih analogi lainnya sbb:

Kamu dan aku tinggal di Magelang. Kamu dan aku bukan simpatisan partai manapun. Tapi kita berdua sama. Kita bersimpati pada Presiden Jokowi. Kita percaya bahwa Indonesia akan maju di bawah pemerintahan Jokowi. Kita juga percaya bahwa Jokowi dapat melindungi minoritas.

Tiba-tiba, pada tanggal 30 September 2021, terjadi peristiwa mengejutkan. Sejumlah perwira TNI dibunuh oleh sekelompok gerakan yang menamai dirinya "Gerakan Menyelamatkan Indonesia" (GMI). GMI mengumumkan lewat TVRI bahwa para perwira TNI ini adalah kadrun yang ingin mengkudeta Jokowi dan mendirikan Khilafah. Mereka menyatakan bahwa GMI telah menyelamatkan Presiden Jokowi dan NKRI dari kudeta tsb. GMI juga meminta rakyat agar patuh pada mereka sementara mereka akan melakukan pembersihan "para menteri kadrun" yang ada dalam Kabinet Kerja Jokowi. Tidak lama setelah itu, TNI mengeluarkan larangan untuk meliput berita apapun tentang pembunuhan para perwira TNI ini untuk mencegah adanya provokasi. Rakyat bingung apa yang sebenarnya terjadi. Namanya juga rakyat, ya kita ikutin aja perkembangan selanjutnya.


Sehari kemudian, larangan itu dicabut. Semua media, mulai dari TV One sampai Indosiar memberitakan bahwa GMI telah melakukan kudeta militer untuk menjatuhkan Presiden Jokowi. Tapi, cuma Metro TV yang memberitakan sebaliknya, bahwa GMI telah menyelamatkan Presiden Jokowi dan NKRI dari kadrun. Karena rakyat tahu bahwa Metro TV adalah media sayap kanan pendukung koalisi PDIP-Golkar-Gerindra, maka tersiar isu bahwa partai koalisi terlibat sebagai dalang di balik GMI ini. Isu ini pada intinya adalah bahwa para partai koalisi berusaha memfitnah Islam sebagai penjahat yang ingin merubah Pancasila menjadi Khilafah. Rakyat pun jadi marah sama partai koalisi.

Meskipun belum bisa dipastikan kebenarannya, rakyat sudah keburu marah sama koalisi. TNI juga yakin bahwa partai koalisi bergerak di belakang sebagai dalang pembunuhan para perwira TNI tsb. Tidak perlu waktu lama, massa dari berbagai elemen mengadakan aksi massa gabungan menuntut Presiden Jokowi untuk membubarkan partai koalisi. Bahkan, TNI turut melakukan agitasi secara tidak langsung dalam aksi massa, bahwa partai koalisi bermaksud jahat untuk menghancurkan Islam dan mengganti Indonesia menjadi negara yang anti-Islam, liberal, dan sekuler. Namun niat jahat tsb telah gagal karena TNI telah menyelamatkan Islam dan NKRI dari provokasi anti-Islam. Massa semakin tersulut emosi dan kebenciannya menjadi semakin meluap kepada partai koalisi. "Partai Koalisi adalah Kafir! Munafiq! Musuh Islam! Pengkhianat Negara dan Pancasila! Bantai PDIP! Bantai Golkar! Bantai Gerindra! Ganyang anti-Islam! Tegakkan syari'at! Turunkan Jokowi!!", begitulah yel-yel yang disorakkan rakyat.

Tapi karena tidak ada kejelasan dari Presiden Jokowi, maka massa mengeruduk kantor-kantor DPP dan DPW PDIP, Golkar, Gerindra, Hanura, dll. Massa menghancurkan dan membakar semua kantor-kantor tsb. Tidak cuma itu, mereka juga menciduk seluruh kader partai koalisi dimanapun mereka berada, langsung dibunuh di tempat. Mereka juga menduduki gedung MPR/DPR, meskipun gedung tsb sudah kosong dan para anggota dewan telah mengevakuasi diri. Dan kejadian ini terjadi selama berturut-turut sampai beberapa bulan ke depan secara bertahap dan semakin meluas ke seluruh Jawa. Bahkan, tensinya naik ke tingkat nasional. TNI telah mengumumkan bahwa Megawati dan Prabowo terlibat dalam pembunuhan terhadap para perwira TNI dan berencana melakukan makar. Rakyat bersama TNI yakin bahwa partai koalisi sedang mengkudeta Negara karena ingin mengendalikan Jokowi sepenuhnya. Begitulah yang setiap hari kita dengar di berita dan medsos.

Suatu hari, sekelompok massa mendatangi dan mengepung ke rumah kamu. Mereka meneriaki "Cebong bangshad!!! Keluar kamu, anjink!!!". Kamu pun takut. Apa salah kamu? Kamu kan bukan pembunuh para perwira TNI. Kamu juga bukan orang yang terlibat dalam GMI. Bahkan kamu pun juga masih kekeuh gak percaya kalo partai koalisi bermaksud untuk mengadakan makar menjatuhkan Islam. Kamu juga seorang Muslim, hanya saja kamu yakin bahwa pembunuhan para perwira TNI yang "kadrun" oleh GMI itu bukan berarti anti-Islam. Tapi yang jelas kan kamu tidak terlibat dengan GMI. Jangankan terlibat, kamu aja masih gak bisa bayangin dimana letak kesamaannya antara anti-kadrun dengan anti-Islam.

Tapi massa sudah marah. Mereka mendobrak rumah kamu. Harta kamu dijarah. Kamu bersama istri dan anak kamu diciduk paksa oleh massa. Rumah kamu kemudian dibakar massa. Kamu diarak ke sebuah lapangan. Di sana kamu lihat ada banyak prajurit TNI, tapi mereka diam saja. Kamu ditelanjangi. Istri kamu juga. Anak kamu juga. Massa berteriak: "Hei cebong pengkhianat! Gue matiin lu!". Istri dan anak kamu berteriak minta tolong, tapi gak ada yang mau nolongin. Istri kamu langsung dipancung di tempat. Anak kamu dibawa sekelompok massa ke suatu tempat yang kamu tidak tahu. Kamu pun kemudian dibunuh di situ.

Aku juga bernasib sama seperti kamu. Padahal aku bukan kader partai koalisi. Aku hanya simpatisan Presiden Jokowi yang kagum dengan visi-misi Presiden. Di rumahku pun ada foto sang Presiden yang kupajang di ruang tamu. Tiba-tiba massa datang dan mengepung. Sama seperti kamu, aku dan istriku diciduk paksa oleh massa. Untungnya, anakku sedang berada di rumah neneknya di Klaten. Istriku dibawa ke lapangan, sementara aku dibawa ke sebuah kantor dinas. Di sana aku kaget melihat anakmu sedang diperkosa. Aku juga lihat banyak mayat dikumpulin di sana. Aku jadi khawatir sama anak aku. Aku yakin kamu sudah dibunuh, dan aku yakin aku akan segera dibunuh. Tapi massa membawaku kepada pak Lurah, di kanan kirinya ada prajurit TNI. Aku diinterogasi. Aku ditanya apakah kader PDIP atau bukan, Golkar atau bukan, ikut salah satu partainya "cebong" atau nggak, dan aku juga ditanya apakah aku anti-Islam atau nggak. Aku pun menjawab bukan dan nggak. Mereka tidak menemukan kartu anggota partai koalisi ku, karena memang aku bukan anggota partai koalisi. Mereka menemukan KTP ku dan di situ tertulis jelas kalo aku Muslim, bukan anti-Islam. Tapi, aku gak bisa mengelak ketika ditanya: "Kamu simpatisan Presiden Jokowi kan? Berarti kamu ini cebong anti-Islam yang mendukung GMI dan partai koalisi dong?". Aku menjawab tidak, tapi massa membawa foto-foto sang Presiden yang kupajang di rumah. Mereka juga membongkar isi rumahku dan menemukan beberapa buku tentang anti-Khilafah, dan tentu saja mereka memeriksa HP ku dan menemukan aku men-subscribe channel Cokro TV dan Agama Akal TV, dua channel pendukung Jokowi. Pak Lurah bertanya: "Kalo bukan cebong, bukan anti-Islam, kenapa punya buku anti-Khilafah?". Lalu kujawab: "Anti-Khilafah kan bukan berarti anti-Islam, pak! Dan bukan berarti saya cebong". Tapi prajurit TNI menyela: "Tapi para perwira TNI yang dibunuh itu adalah para Muslim yang dibunuh cebong, sedangkan kamu itu pasti cebong! Kamu pengen Indonesia jadi anti-Islam, kan!". Aku berusaha mengelak lagi, tapi aku diancam dibunuh, istriku yang sedang berada di lapangan juga diancam mau dibunuh.

"Aku tidak terlibat dalam GMI!

Aku juga tidak tahu akan ada pembunuhan terhadap para perwira TNI yang kadrun itu!

Aku juga bukan kader partai manapun! Aku cuma kagum sama Jokowi!"


Begitulah jeritanku di dalam hati. Tapi apa daya, kesaksianku tidak ada gunanya. Mereka memang sengaja pengen membersihkan cebong. Akhirnya aku dibawa ke sebuah pulau bernama pulau Buru dan sekaligus menyandang status sebagai tapol.


Dari analogi di atas, siapa yang jahat?
1. Kamu?
2. Aku?
3. PDIP?
4. Golkar?
5. Gerindra?
6. Partai Koalisi MPR/DPR?
7. Jokowi?
8. Rakyat?
9. TNI?

Sama seperti analogi pertama, pasti susah menjawabnya siapa yang jahat, tapi jawaban yang pasti adalah kamu dan aku tidak jahat dan tidak punya maksud jahat, dan setiap aksi main hakim adalah jahat, apapun alasan dan sangkaannya.

Lalu pertanyaan selanjutnya, apakah rakyat dan TNI boleh membunuhi simpatisan Partai PDIP-Golkar-Gerindra dan cebong hanya karena peristiwa ini?

Jawabannya, atas nama kemanusiaan dan dasar Pancasila Sila Kedua: "Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab", maka tentu saja tidak boleh!

====================

Ringkasan Sejarah G30S

Berangkat dari kedua analogi di atas, beginilah cara memahami apa yang terjadi di tahun 1965-1967. Saya coba ringkas sejarahnya.

Dalang G30S adalah:
  1. Oknum agen ganda PKI-AD (Sjam alias Kamaruzaman alias Djimin alias Tjugito).
  2. Oknum agen PKI (Soepono Marsudidjojo alias Pono).
  3. Oknum perwira AURI / skrg TNI-AU (Mayor Udara Soejono).
  4. Oknum perwira AD / skrg TNI-AD (Letkol. Untung Sutopo bin Sjamsuri dan Kol. Abdul Latief).


Dalang tunggal G30S tidak ada, yang sekalipun ada, maka dalang tsb adalah Sjam. tapi Sjam bukan seorang yang jenius merancang gerakan ini. dia memanfaatkan kinerja intel ganda antara dirinya dengan Aidit di satu sisi, dan dirinya dengan para perwira muda AD di sisi lain. gerakan ini pada awalnya adalah inisiatif perwira muda AD (TNI-AD) yang kemudian membuat sejumlah elit pimpinan PKI dan sejumlah elit pimpinan AURI (TNI-AU) untuk ikut serta dalam G-30-S. tidak ada dalang tunggal, sebab gerakan ini tidak memiliki koordinasi yang baik, banyak miskomunikasi di antara para pesertanya, dan tidak memiliki perencanaan yang matang. jika dalangnya itu ada, maka seharusnya gerakan ini paling tidak akan sulit ditumpas dan akan menunjukkan perlawanan militer. lagian logika dasar aja, kalo elit pimpinan PKI adalah dalang G30S, kok para perwira dan prajurit G30S mau-maunya nurut di bawah komando sipil? dalam "prosedur" kudeta militer di belahan dunia manapun, militer gak akan mau tunduk sama sipil untuk melancarkan kudeta. karena, pertama, pasti militer akan mewaspadai kekuasaan mutlak baru sipil setelah memenangkan kudeta. ibaratnya, gw yang beraksi militer, kok lo yang akhirnya duduk manis di atas setelah gw menangin aksi militernya? kedua, sipil gak ngerti dunia kemiliteran, gak ngerti strategi dan taktik, gak paham urusan logistik, gak punya pangkat yang menjamin rantai komando mereka, dan gak punya mental dan insting perang. faktanya, gerakan ini tidak terencana dengan baik, tidak ada plan A, B, C, dstnya, utak-atik gathuk dan serampangan, banyak debat kusir antara 5 pimpinan inti G30S (Sjam, Pono, Mayor (U) Soejono, Kol. Latief, dan Letkol. Untung). pun Sjam akhirnya ambil aksi sepihak di siang harinya sehingga membuat publik yg paginya "percaya" sama G30S menjadi curiga. bahkan hingga di saat-saat terakhir, para pimpinan inti ini makin gak jelas arahnya mau kemana. Yon 454 pun kocar-kacir, Yon 540 gabung ke Kostrad, AURI dikepung RPKAD, Aidit malah diterbangin ke Yogya, Marsekal Omar Dani malah diterbangin ke Semarang. sempat ada miskom antara Mayjen. Pranoto yg diangkat Presiden jadi Menpangad sementara, dikira jebakan sama Mayjen. Soeharto yg sudah mengangkat dirinya sendiri (caretaker) Menpangad, dia melarang Pranoto ke Halim, dan menolak memenuhi panggilan Presiden. Marsekal Omar Dani pun merasa Kostrad telah membangkang dan berniat ngebom udara Kostrad. pokoknya, banyak alur fakta yang aneh, yang sebenarnya keanehan ini mencerminkan betapa sembarangan dan amatirannya gerakan ini.

PKI sebagai organisasi/lembaga bukan sebagai dalang G30S, sebagaimana AURI sebagai organisasi/lembaga juga bukan sebagai dalang G30S, karena rencana G30S hanya dilakukan secara tersembunyi tanpa sepengetahuan masing-masing organisasi. Maksudnya tersembunyi adalah bahwa hanya pimpinan inti saja yang tahu tujuan akhir G30S, tidak pernah dibahas secara resmi dan detail melalui organisasi. Semua dilakukan di belakang dan tersembunyi.

PKI sebagai organisasi tidak terlibat, sebagaimana AURI sebagai organisasi juga tidak terlibat, karena G30S direncanakan secara kilat dan tersembunyi, tanpa melibatkan banyak orang, dan tanpa sepengetahuan organisasi masing-masing. justru yang benar adalah mereka yang terlibat ini berharap jika G30S berhasil, maka mereka dapat "menyatukan" semua unsur politik menjadi loyalis Soekarno. dan mereka memang berharap dapat lebih mudah menyetir Soekarno apabila tidak ada gangguan/infiltrasi dari perwira petinggu AD yang kurang loyal.

PKI secara organisasi memang mendukung G30S, tapi dukungan bukan berarti merancang. dukungan resmi organisasi tsb baru keluar di tanggal 2 Oktober 1965 melalui Harian Rakjat. pada tanggal tsb, G30S sudah ditumpas (kecuali di Jawa Tengah). dukungan tsb dikeluarkan setelah G30S ditumpas, sebenarnya sudah membuktikan bahwa PKI secara lembaga dan seluruh kader yang mengikatkan dirinya pada AD/ART PKI, tidak tahu menahu tentang G30S. pada saat dukungan itu dikeluarkan, PKI mengira G30S masih belum ditumpas alias berhasil.

Nah, isu palsu "Dewan Djenderal" yang ingin mengkudeta Soekarno tanggal 5 Oktober 1965 inilah yang menjadi penyebab khusus diadakannya G30S. Isu ini mungkin berasal dari Sjam Kamaruzzaman (Biro Chusus PKI). Dan isu ini berhasil membuat D.N. Aidit dan beberapa elit PKI percaya. Tapi, tidak semua elit PKI percaya, di antaranya Sudisman yang tidak percaya isu "Dewan Djendral" akan mengkudeta Soekarno (menariknya, Sudisman dalam pledoinya Uraian Tanggung-Djawab dan edaran Otokritik CC PKI tahun 1966 menuding "NATO" - Nasution-Harto lah yang pada akhirnya telah mengkudeta Soekarno).

Isu "Dewan Djendral" ini juga berhasil membuat Brigjen. Soepardjo bersama segelintir elit TNI AD percaya. Dan inilah yang jarang diketahui publik, bahwa tampaknya dialah yang sangat ambisius dalam menyukseskan G30S. Dia adalah brigadir jenderal, dia adalah perwira TNI AD. Memang benar dia bersimpati dengan PKI, itu karena dia percaya dengan isu "Dewan Djendral". Dan dia melihat bahwa PKI adalah sekutu terbaik untuk menggagalkan "kudeta" yang akan dilancarkan "Dewan Djendral".

Dalam kesaksiannya di Mahmillub, Brigjen. Soepardjo, Mayor Bambang Soepeno, dan Njono sebenarnya ragu dengan G30S, bahkan Aidit sendiri sempat sangsi G30S bisa mencegah kudeta "Dewan Djendral" karena ketidakjelasan langkah selanjutnya jika G30S gagal/berhasil. Namun, Sjam meyakinkan di setiap rapat rahasia rencana pelaksanaan G30S, bahwa apabila ada yang ragu jika G30S berhasil, maka jawab aja: "Ja, Bung, kalau mau revolusi banyak jang mundur, tetapi kalau sudah menang, banjak jang mau ikut", yang penting adalah propaganda kepada rakyat setelah G30S, maka dengan sendirinya rakyat akan mendukung G30S. Dengan cara itulah, dia sebagai perwira menjadi yakin bahwa satu-satunya jalan untuk mencegah "Dewan Djendral" untuk mengkudeta adalah G30S. Semboyannya: "Apa boleh buat, kita tidak bisa mundur lagi!", karena tanggal 5 Oktober itu semakin dekat.

Bahkan, isu palsu "Dewan Djendral" ini juga berhasil membuat Soekarno percaya. Soekarno sebenarnya telah memanggil para perwira yang difitnah sebagai "Dewan Djenderal" itu, dan para perwira tsb telah menanggapi dengan tegas bahwa tidak ada yang namanya "Dewan Djendral" yang loyal kepada Amerika Serikat. Sebaliknya, para perwira yang difitnah ini menjawab bahwa yang ada adalah Wandjakti yang berhubungan dengan kepangkatan dan pengawasan profesi. Namun, karena tidak ada tindak lanjut lagi setelah itu, sehingga elit-elit itu menjadi semakin was-was dengan isu "Dewan Djendral" ini, sehingga mereka merencanakan G30S untuk tujuan mencegah terjadinya kudeta "Dewan Djendral". Tujuan akhirnya adalah menyatukan TNI-AD dengan PKI dengan harapan dapat dengan mudah mengendalikan Soekarno.

Adapun mereka yang terlibat G30S sebagai "pemain figuran" hanya melaksanakan tugas sesuai perintah, dan itu pun mereka tidak tahu apa sebenarnya tujuan akhir G30S. mereka ini juga korban agitasi dari para elit tadi, yang terdiri dari sebagian kecil militer Resimen Tjakrabirawa, Yon 434 dan Yon 530, sebagian kecil perwira tinggi dan prajurit AURI di Halim, dan sebagian kecil massa sipil dari Pemuda Rakjat dan Gerwani di Lubang Buaya yang kebetulan sedang ikut program diklat kemiliteran yang diselenggarakan AURI. bahkan, massa sipil itu tidak dimobilisasi untuk turun ke jalanan, mereka direkrut melalui agitasi, tanpa mereka tahu tujuan asli G30S. Namun demikian, apapun alasannya, dalam sudut hukum positif, mereka semua tetap bersalah.

dan di mata hukum yang menjunjung keadilan dan azas praduga tak bersalah, seharusnya delik perkara suatu pidana yang apabila terbukti dilakukan oleh oknum, maka baginya berlaku hukumnya. ini bukan perdata yang bisa diterapkan hoofdelijk (tanggung-renteng). dengan kata lain, kalo menjunjung keadilan dan azas praduga tak bersalah, maka seharusnya yang dihukum adalah mereka yang benar-benar terlibat sebagai dalang dan pelaku, bukannya malah ditanggung-rentengkan ke seluruh kader PKI, apalagi simpatisan yang gak tahu apa-apa.

Ringkasan Sejarah Pembantaian Massal 1965-1967 (Berdasarkan Putusan IPT 65)

Nah, masih dengan kedua analogi di atas sebelumnya, ini bagian yang terpenting, yaitu pasca G30S. Dan bagian ini jarang sekali dibahas di ruang publik. Setelah RPKAD di bawah komando Soeharto berhasil membuat "insyaf" para prajurit yang sempat terpropaganda G30S oleh Letkol. Untung dalam RRI, maka Soeharto berusaha membantu massa yang anti-PKI untuk memobilisasi "pembersihan".

Episode pembersihan itu, atau yang disebut Pembantaian Massal 1965-1967, harus dipisahkan dari episode G30S, karena pembersihan ini bertujuan untuk mengarahkan PKI secara organisasi sebagai dalang G30S. Tujuan akhir dari pembersihan ini adalah melanggengkan kekuasaan Orde Baru.

Berdasarkan putusan dan rekomendasi IPT 65 tahun 2015, terungkap fakta sbb:

  1. Korban 1965-1967 adalah orang-orang yang tidak terlibat sama sekali dengan G30S.
  2. Korban 1965-1967 terdiri dari:
    • Kader PKI.
    • Simpatisan PKI.
    • Para anggota ormas yang berafiliasi dengan PKI (Pemuda Rakjat, Sobsi, Gerwani, Lekra, dll).
    • Kader PNI.
    • Simpatisan PNI.
    • Dan yang paling parah: korban "asal main tuduh" sebagai PKI.


  1. Korban "asal main tuduh" PKI ini skenarionya begini:
    • Ada yang cuma karena nge-fans sama Soekarno, lalu dituduh PKI.
    • Ada yang cuma karena pernah nanggep karawitan di sebuah hajatan pernikahan salah seorang keluarga simpatisan PKI, lalu dituduh PKI.
    • Ada yang cuma karena sering ngisi acara sebagai penyanyi di berbagai event yang diadakan PKI, atau Lekra, atau Pemuda Rakjat, lalu dituduh PKI.
    • Ada yang cuma karena pernah ikut sebuah acara sosialisasi yang diadakan Gerwani, lalu dituduh PKI.
    • Ada yang cuma karena punya banyak kenalan di Pemuda Rakjat, meskipun dia sendiri bukan anggota Pemuda Rakjat, lalu tetap dituduh PKI.
    • Ada yang cuma karena terdaftar ikut kursus seni/budaya yang diadakan Lekra, lalu dituduh PKI.
    • Ada yang cuma karena sedang kuliah di luar negeri karena beasiswa dari pemerintah Orde Lama, namun karena tidak setuju dengan pemerintahan Orde Baru, lalu dituduh PKI.
    • Bahkan ada juga yang sedang bertani di sawah, lalu dia melihat truk-truk barak yang sedang diisi banyak orang, tapi dia tidak tahu bahwa mereka sedang "diciduk", kemudian dia pun mengejar truk tsb karena mengira mereka rame-rame berombongan akan nonton pagelaran wayang, akhirnya truk pun berhenti dan mengangkut dia, dan dia pun dibawa ke pulau Buru.
    • Dstnya.

  1. Para korban 1965-1967 ini mengalami pembunuhan dan pembantaian. Jumlah korbannya tidak pasti karena belum ada penelitian khusus dan obyektif terkait pembantaian massal ini, tapi jumlah minimalnya adalah 500.000 korban jiwa, tapi diduga lebih. Selain pembunuhan dan pembantaian, juga ada persekusi seperti penangkapan, penyiksaan, pemerkosaan, penghinaan, intimidasi, dan tentunya jadi tapol dan dibuang ke pulau Buru, tanpa pengadilan. Termasuk beberapa orang yang sedang kuliah di luar negeri tsb, mereka dicekal untuk pulang ke Indonesia.
  2. Skenario umum pembantaiannya begini:
    • Di banyak daerah sebenarnya tidak ada gejolak apapun, namun RPKAD datang dan dengan sengaja melakukan agitasi dan propaganda "membersihkan" sisa-sisa G30S, sehingga menyulut emosi massa di daerah itu, dan mereka sendiri lah yang melakukan pembantaian. Dan kebanyakan korban yang diincar adalah seperti yang disebutkan di atas.
    • Hanya di beberapa daerah saja, pembantaian telah terjadi sebelum RPKAD datang, namun kedatangan RPKAD bukannya mengamankan para korban yang sedang dipersekusi oleh massa, malah membiarkan massa membantai mereka.

  1. Dengan demikian, Soeharto dan RPKAD lah yang bertanggungjawab terhadap pembantaian 1965-1967. Bahkan, patut diduga, Soeharto adalah dalang Pembantaian Massal 1965-1967. Dan karena ini sering tercampur-campur dengan isu dalang G30S, maka biar kuulangi lagi. Soeharto bukan dalang G30S, tapi dia dalang Pembantaian Massal 1965-1967 terhadap simpatisan PKI dan "tertuduh" PKI. Mungkin Soeharto bukan dalang tunggal pembantaian ini, tapi dia jelas adalah dalang pembantaian ini, sehingga penelitian terhadap pembantaian ini seharusnya didorong untuk mengungkapkan siapa dalang sebenarnya.
  2. Rekonsiliasi diadakan dengan menulis ulang sejarah ini untuk tujuan agar tidak ada lagi:
    • Main asal tuduh PKI hanya karena berbeda pendapat politik, terlebih karena budaya kolektif kita adalah sering asal tuduh, bahkan untuk di zaman sekarang, banyak dari kita main asal tuduh kadrun/cebong berniat menghancurkan Indonesia.
    • Stigmatisasi atau nge-"cap" PKI dan/atau komunis kepada korban yang survive, serta nge-"cap" PKI bagi kita yang ingin agar kasus pelanggaran HAM ini dikupas tuntas.
    • Dan tetap tidak bermaksud mengubah larangan bagi PKI untuk bangkit, karena organisasi yang sudah dilarang memang tidak bisa lagi dicabut, dan kita tahu tidak cuma PKI kan. HTI juga dilarang, tapi kita tidak boleh mempersekusi mereka yang berakibat pada kekerasan terhadap simpatisan HTI.


  1. Sangat disayangkan ketika banyak loyalis Orba yang mengklaim Soeharto dan RPKAD tidak bertanggungjawab karena pembantaian itu adalah respon alami gejolak sosial yang diakibatkan G30S. Padahal, jika itu memang respon alami dan Soeharto (setidaknya terhitung sejak Supersemar 1966) memang berniat lurus menyelamatkan Indonesia, seharusnya dia melakukan:
    • Upaya pencegahan terhadap aksi main hakim oleh massa dengan cara tidak menambah provokasi sentimen anti-PKI yang sudah sangat tinggi tensinya.
    • Amankan sejumlah anggota PKI yang dipersekusi massa untuk dibawa ke lembaga rehabilitasi untuk diberikan pembinaan Pancasila dan anti-komunisme.
    • Dengan begitu maka tercipta rasa aman bagi anggota eks-PKI yang tidak terlibat G30S serta rasa aman bagi mereka yang dituduh PKI padahal bukan.

  2. Sayangnya, Soeharto tidak melakukan itu, sehingga benarlah bahwa Soeharto dan RPKAD memang sengaja mendalangi pembantaian 1965-1967 dan itu bukan respon alami.


Untuk putusan dan rekomendasi persidangan IPT 65, dapat ditonton langsung di video di bawah ini:



IPT 65 yang diadakan tahun 2015 BUKAN pengadilan pidana HAM yang diadakan oleh pemerintah Belanda, BUKAN juga yang diadakan oleh Lembaga Amnesti Internasional. IPT 65 adalah Tribunal Court yang diselenggarakan oleh aktifis HAM, yang melibatkan advokat hukum, tim ahli sejarah, dan para saksi sejarah. Sifat pengadilan itu adalah memberi rekomendasi, bukan memberi hukuman/sanksi. Rekomendasi tsb diserahkan kepada pemerintah Indonesia, dan selanjutnya terserah apakah Indonesia mau mengikuti rekomendasinya atau tidak.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar