Tadi di LinkedIn saya baca keluhan seseorang yang mengaku lulusan UI, sepertinya dari Fakultas Teknik. Dia melamar ke BUMN, tapi tidak diterima. Yang diterima justru lulusan STM yang punya pengalaman bekerja sebagai welder di Eropa. Dia kecewa, kok sarjana dalam negeri tidak diterima, orang lebih percaya pada "alumni" luar negeri, meski cuma lulusan STM.
Bagi saya keluhan ini menggambarkan berbagai jenis kekacauan di Indonesia. Mulai dari kekacauan di bidang pendidikan, kemudian kekacauan dalam soal pengelolaan SDM perusahaan, mulai dari perekrutan, training, hingga jenjang karir. Yang terakhir adalah kekacauan pemahaman tentang pendidikan, skill, dan pekerjaan.
Pendidikan di Indonesia itu kacau. Salah satu bentuk kekacauannya adalah lembaga-lembaga pendidikan berlomba mencetak orang-orang bergelar. Kita punya sangat banyak lembaga pendidikan akademik, tapi minim lembaga pendidikan vokasi. Vokasi dianggap lebih rendah daripada akademik. Maka, orang yang tadinya mengambil jalur vokasi akhirnya pindah ke jalur akademik, untuk mendapatkan gelar.
Pada prinsipnya pendidikan seharusnya terbagi 2, yaitu akademik dan vokasi. Pendidikan akademik mengajarkan pengetahuan, untuk memahami dan mendalami konsep, untuk pengembangan lanjutan. Sedangkan vokasi mengajarkan keterampilan praktik. Lulusan akademik tentu tidak seterampil lulusan vokasi, sebaliknya lulusan vokasi tidak semendalam lulusan akademik dalam soal pemahaman konsep. Di Indonesia semua campur aduk, dijadikan satu jalur.
Perusahaan merekrut lulusan S1 untuk pekerjaan tertentu. Kalau ingin mencari orang yang levelnya sedikit lebih rendah, dicarilah lulusan D3. Padahal D3 itu seharusnya bukan lebih rendah, melainkan lebih teknis sifatnya.
Pembagian pekerjaan di lapangan juga demikian kacau. Sarjana S1 diadu dengan lulusan STM yang berpengalaman. Ini untuk posisi apa? Sarjana baru jelas tidak bisa langsung dipekerjakan untuk pekerjaan teknis praktis. Jelas dia akan kalah dengan welder berpengalaman, kalau harus berebut posisi kerja sebagai welder. Sarjana memang tidak dididik untuk jadi welder.
Seharusnya bagaimana? Lowongan untuk posisi-posisi teknis pelaksana memang harus dibuka bagi lulusan vokasi, atau untuk orang dengan pengalaman lapangan. Lulusan sarjana diberi kesempatan pada bidang-bidang konsep dan pengembangan, tentu saja setelah melalui sejumlah training dan masa adaptasi di lapangan.
Yang terakhir, persepsi terhadap gelar sarjana dan universitas. Gelar sarjana itu bukan apa-apa. Itu hanya bukti bahwa seseorang pernah melewati sejumlah proses pendidikan. Asumsinya, setelah melewati proses itu dia adalah seseorang yang kompeten. Tapi kenyataannya tidak selalu begitu. Banyak mahasiswa lulus hanya karena sanggup menyelesaikan soal-soal di bangku ujian. Di tempat kerja soal-soal yang dihadapi jauh lebih rumit. Mahasiswa harus naik tingkat, yaitu sanggup meramu pengetahuan dan keterampilan yang ia dapat di kampus menjadi formula-formula untuk menyelesaikan masalah. Tanpa kemampuan meramu, ia hanya akan jadi badut berijazah.
Masih banyak orang menganggap dirinya hebat karena lulusan lembaga tertentu. Sebuah lembaga mungkin saja hebat, telah menghasilkan banyak orang hebat. Tapi tidak ada jaminan bahwa yang keluar dari situ pasti hebat juga. Dari mesin yang sangat sistematis dan canggih pun tetap bisa keluar produk apkir alias bermutu rendah. Apalagi cuma lembaga pendidikan.
Pesan saya kepada anak muda dan mahasiswa, periksalah situasi di dunia kerja. Temukan dengan jelas skill apa yang diperlukan di sana. Lalu lengkapi diri dengan skill itu. Sesederhana itu cara untuk memastikan Anda dapat pekerjaan setelah lulus kelak.
BACA JUGA :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar