Dibaca pelan-pelan...
Saya mendapat dua halaman majalah hidup ini dari seorang kawan, Romo Otto Gusti Madung SVD yang kritis menyikapi tulisan romo Ignas Tari MSF yang katanya alumni dari Jerman. Sebenarnya saya sedang menolak membaca majalah hidup terkait dengan sikap Pemred majalah hidup pada tanggal 21 Juni 2020 menurunkan atau mencabut berita tentang kasus Kekerasan Seksual di paroki St Herkulanus Depok yang dituliskan di Hidup online oleh wartawannya pada 18 Juni 2020. Alasan Pemred majalah hidup, romo Hari Pr bahwa berita itu diturunkan untuk perbaikan penulisan bahasanya. Tetapi sampai sekarang tulisan yang katanya mau diperbaiki itu tidak pernah dimuat lagi di Hidup online
Saya perlu menanggapi tulisan Romo Ignas Tari MSF di majalah hidup ini karena saya adalah Kuasa Hukum anak-anak paroki St Herkulanus yang menjadi korban kekerasan seksual. Bagi saya Romo Ignas Tari MSF menulis dan menanggapi penanganan kasus kekerasan seksual di paroki St Herkulanus secara kacau dan dalam kekacauan berpikir. Dalam tulisannya ini Romo Ignas menuliskan bahwa gereja harus berpihak pada korban. Tapi romo Ignas Tari MSF di bagian awal menuliskan lagi bahwa tidak semua yang benar kita katakan. Begitu pula berkaitan dengan kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak di paroki St Herkulanus Depok mengatakan bahwa itu seharusnya bisa diselesaikan secara internal di gereja. Selain itu dalam penanganan kasus sensitif seperti kasus di St Herkulanus Depok, romo Ignas Tari MSF juga mengatakan bahwa gereja harus bisa menjaga kerahasiaan. Bagi romo Ignas Tari MSF kewajiban menjaga kerahasiaan itu ada dari informasi yang didapatkannya seperti dalam pengakuan dosa dan diskusi internal. Sikap menutupi seperti disampaikan romo Ignas Tari MSF ini banyak juga dianut para romo bahkan umat. Saya alami juga banyak tekanan dan menerima banyak kritik karena melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialami anak-anak paroki St Herkulanus ke polisi. Tapi bagi saya kita gereja harus berpihak pada korban dan berpihak menegakan keadilan dengan menyuarakan kebenaran.
Kasus kekerasan seksual yang dialami anak-anak paroki St Herkulanus adalah sebuah kejahatan pidana, kejahatan kemanusiaan dan harus diselesaikan oleh otoritas hukum setempat (hukum nasional) secara terbuka. Jadi tidak benar jika kasus kekerasan seksual harus diselesaikan secara tertutup (atau menutupinya) di internal gereja? Kasus kekerasan seksual harus dibuka dan ditangani, diselesaikan secara hukum agar memutus rantai kejahatan kekerasan seksual berikutnya - mencegah terjadi jatuh korban berikutnya - membangun efek jera dan menghukum si pelaku secara hukum. Atas dasar inilah kami mengambil sikap melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialami anak-anak paroki St Herkulanus ke Kepolisian agar diselesaikan secara hukum.Jadi tidak benar dan sepertinya terjadi kekacauan berpikir romo Ignas Tari MSF karena mencampur adukan antara otoritas hukum pidana nasional dengan internal gereja. Bisa jadi memang cara berpikir romo Ignas Tari MSF ini yang dipilih oleh banyak para romo lainnya yang selama ini menutupi kasus kekerasan seksual di sekitaran kita, gereja. Bagaimana mau berpihak pada korban dan menyelesaikan secara tuntas jika kasusnya ditutupi melalui diskusi di internal gereja? Terbongkarnya kasus kekerasan seksual di paroki St Herkulanus adalah puncak gunung es atas kasus yang sama sebelum ini. Terjadinya terus dan berlanjutnya perilaku melakukan pelecehan, pencabulan dan kekerasaan seksual di sekitaran kita, gereja karena penyelesaian dan sikapnya seperti dituliskan oleh romo Ignas Tari MSF yakni ditutup dengan membicarakannya di internal. Mari hentikan tindakan menutupi kasus pelecehan, pencabulan dan kekerasan seksual di sekitaran kita, gereja sebagaimana di perintahkan oleh Bapak Suci Paus Fransiskus. Dalam dokumen Gerejawi nomor 110 Votus Estis Lux Mundi, Paus memerintahkan semua kasus kekerasan seksual yang terjadi di gereja dilakukan penyelesaiannya dengan menyerahkannya pada otoritas hukum setempat (lokal atau hukum nasional). Jadi barang siapa menutupi kasus pelecehan, pencabulan dan kekerasan seksual di lingkup gereja berarti dia melawan Bapak Suci Paus Fransiskus. Bagaimana mau berpihak pada korban jika tidak menyuarakan kebenaran? Bagaimana mau menyelamatkan secara hukum jika hanya dibicarakan di internal gereja? Bagaimana berpihak pada korban jika memuat tulisan yang menutupi kasus yang jelas dilarang oleh Bapak Suci Paus Fransiskus.
Jakarta, 6 Agustus 2020
Azas Tigor Nainggolan
Kuasa Hukum Korban
Tidak ada komentar:
Posting Komentar