Kamis, 16 Juli 2020

INDONESIA Negara yang Paling Sibuk Soal Agama, Bahkan Overdosis!


Apa-apa mesti dikaitkan soal agama, itulah Indonesia kita. Sampai untuk urusan menolong sesama manusia mesti ditanya dulu, apa agamamu?

Begitu sibuknya bangsa kita dengan urusan agama, sampai kita merasa perlu untuk punya satu lembaga di tingkat kementerian yang spesialisasinya mengurusi soal agama. Kementerian Agama!

Lalu, kalau bangsa ini dalam kesehariannya amat sangat disibukan dengan urusan berbau agama, pertanyaannya apakah soal peri kemanusiaan yang adil dan beradab sudah jadi karakter kita? 

Apakah solidaritas dalam kehidupan berbangsa yang kompak sudah berlaku?

Lalu apakah tata kehidupan berdemokrasi kita sudah diselenggarakan dengan jujur dan bermartabat? 

Kemudian, apakah keadilan sosial bagi seluruh rakyat sudah terdistribusi secara luas dan merata, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote?

Ini adalah pertanyaan oto-kritik bagi kita semua yang telah mendeklarasikan Pancasila sebagai dasar negara dan sekaligus cita-cita ideal bersama.

Memang betul bahwa Indonesia bukanlah negara agama, dan tidak boleh jadi negara agama lantaran realitas kebhinekaan adalah fakta sejarah kita. 

Tapi kita pun sudah mengakui bahwa walaupun Indonesia bukan negara agama kita berketetapan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang berketuhanan. 

Dengan berketuhanan kita semua sama-sama percaya bahwa kehidupan kita sebagai manusia tidak selesai di liang kubur. Ada pertanggungjawaban, ada konsekuensi di alam baka nanti. 

Dan konsekuensi seperti apa yang mesti ditanggung amat tergantung pada apa yang telah kita lakukan terhadap sesama manusia semasa menjalani kehidupan bersama.

Apakah kita sudah menjalani tata kehidupan bersama sebagai bangsa selama masa hidup dengan etika kebangsaan, dalam tatanan moral kehidupan bersama dengan berbudaya dan beradab?

Kehidupan yang bermoral, berbudaya dan beradab. Tidak liar, atau buas dengan memaksakan kehendak sendiri, yang akhirnya hanya berujung pada konflik horisontal. 

Homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya.

Maka biarlah setiap warganya bebas untuk menganut kepercayaan atau agamanya sesuai dengan keyakinannya masing-masing. 

Tak jadi soal apa pun pilihannya, bebas saja. Itu urusan privat yang mesti dijamin oleh negara. Dijamin apanya? 

Ya dijamin kebebasan pilihannya dan kebebasan beribadahnya. Yang penting tidak mengganggu ketertiban umum. 

Begitulah semestinya. Tugas negara adalah menjamin ketertiban sosial, tanpa perlu sibuk mengurusi agama atau kepercayaan masing-masing orang. 

Urusan kepercayaan dan ibadah pada Tuhannya masing-masing adalah urusan privat. Yang penting tatanan sosial dijaga bersama ketertibannya.

Energi bangsa memang sebaiknya dikerahkan untuk menjamin ketertiban dalam hidup bersama. 

Agar dinamika sosialnya pun bisa menemukan kondisi yang kondusif untuk keperluan membangun, bukan merusak atau dirusak oleh berbagi konflik horisontal yang konyol.

Berbaurnya isu agama dengan politik mesti diakui sangatlah pekat di negeri tercinta ini. Ketimbang soal keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, nampaknya soal agama ini masih menjadi prioritas dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara.

Walau sayangnya agama sebagai isu politik bukannya dipakai untuk mendiseminasi rasa keadilan sosial, kejujuran dalam berdemokrasi, solidaritas rasa kebangsaan, atau peri kemanusiaan yang adil dan beradab.

Yang kerap terjadi malahan isu agama mencuat ke permukaan lewat para agitatornya untuk menajamkan rasa primordialistik sempit. 

Sentimen agama disiasati sebagai alat pembeda dalam memilih pemimpin bangsa. Bahkan tidak jarang isu agama dipakai sebagai pembenaran untuk menghilangkan nyawa sesama manusia. 

Sehingga lantaran itu, citra agama atau atribusi organisasi dan agennya kerap dipersepsi sebagai sosok yang brutal, mengerikan dan sadis. 

Agama terjerembab sekedar sebagai komoditas, entah itu komoditas dagang, maupun komoditas politik.

Jatuhnya soal agama menjadi komoditas dagang maupun komoditas politik telah juga menjerembabkan bangsa ini ke persoalan-persoalan konyol seperti penipuan konsumen atau pelanggan, kriminalisasi, bahkan sebagai alat justifikasi pembunuhan. 

Lalu kemana ajaran soal cinta kasih? 

Kemana pengampunan? 

Kemana larinya ajaran tentang kejujuran dan keadilan? 

Apakah semua itu cuma berhenti di mimbar? 

Mengapa di Indonesia masa kini, agama jadi gagal sebagai suatu kekuatan moral? 

Mengapa agama di Indonesia malah kerap tampil dengan wajah yang seram? 

Mengapa praktek kehidupan beragama di Indonesia malah bikin suasana yang suram?

Mengapa jika semakin sibuk dengan urusan agama, justru praktek kehidupan sosial yang tampil adalah kemunafikan? 

Semakin tinggi kadar urusan agama di suatu negara, malah semakin tinggi pula kadar hipokrit dalam praktek sosialnya. 

Terindikasi dalam setiap pilkada misalnya, pertunjukan ‘hipokrisi par excellence’ menjadi teater rakyat dimana-mana. 

Atribusi agama menjadi alat pembenaran, sambil politik uang serta politik dagang sapi berlangsung di belakang layar.

Di titik ini kita patut merenungkan kembali, apakah negara ini sudah terlalu disibukkan dengan isu agama, bahkan sampai overdosis? 

Oh ya, hampir lupa, kita punya kementerian agama ya? Apakah itu perlu? 
.
15/07/2020
Andre Vincent Wenas, Sekjen ‘Kawal Indonesia’ – Komunitas Anak Bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar