Kamis, 16 Juli 2020

CARA BERAGAMA YANG RITUALISTIK DAN FORMALISTIK


Mengapa kehidupan beragama kita sangat ritualistik dan formalistik? 

Jawabannya kira-kira sebagai berikut :

1. Ritual-ritual kita lebih banyak berisi "social ambitions" dari pada "social responsibilities". 

Kita rajin melakukan ritual supaya diterima oleh lingkungan kita. Ritual-ritual itu juga dimaksudkan untuk menunjukkan status sosial. 

Makin sering kita melakukan ritual, makin tinggi kedudukan kita di mata masyarakat dalam hal kesalehan. 

Besar kecilnya upacara juga dimaksud untuk menunjukkan jabatan, kedudukan dan kesuksesan secara materi. 

2. Ada keyakinan umum bahwa ritual itu, lebih dari tindakan kita, akan membawa kita kepada keselamatan, akan membawa kita ke surga. 

Ritual itu akan menghapus kesalahan atau dosa yang kita lakukan terhadap orang lain. Ini adalah cara beragama yang tidak dewasa.

Para peneliti mempertanyakan mengapa sebagian orang-orang saleh sering menampakkan prasangka lebih besar dari orang yang kurang saleh. 

Ia merujuk kepada apa yang disebut oleh para psikolog sebagai The Great Paradoxes Of The Psychology Of Religion. 

Mereka tidak mengerti mengapa agama yang mengajarkan persaudaraan di antara sesama manusia melahirkan para pemeluk yang memiliki tingkat prasangka yang tinggi. 

Penelitian demi penelitian menunjukkan ada hubungan yang erat antara perilaku beragama (seperti rajin beribadah, pergi ke rumah ibadah) dengan prasangka, prejudice. 

Secara sederhana, penelitian-penelitian menunjukkan bahwa makin rajin orang beribadah, makin besar prasangkanya pada kelompok manusia lain.

Prasangkanya itu berupa pandangan menghina terhadap kelompok lain. 

Anggota-anggota kelompok lain dianggap inferior, lebih rendah derajatnya, tidak sepenuhnya dianggap manusia. 

Untuk itu kepada kelompok lain itu digunakan label-label atau gelar-gelar yang melepaskan mereka dari sifat kemanusiaannya. 

Kita menyebut mereka munafik, kafir, sesat, pengikut setan dan lain-lain. 

Setelah dicabut dari sifat kemanusiaannya mereka tidak lagi patut dikasihani dan karena itu boleh saja difitnah, dirampas haknya, dianiaya, atau sedikitnya dicampakkan kehormatannya. 

Mereka dianggap sumber dari segala sifat buruk: malas, immoral, tidak jujur, licik, bodoh, kejam dan sebagainya.

Bila benar demikian kita perlu bertanya: mengapa ini bisa terjadi? 

Saya mencoba menjawab paradoks ini dengan membagi dua macam keberAGAMAan:

TIDAK DEWASA dan DEWASA. 

KeberAGAMAan yang tak dewasa, agamanya anak-anak, memandang Tuhan sebagai "Bapak" yang bertugas melayani kehendaknya: merawat, menjaga, dan mengurus segala keperluannya. 

KeberAGAMAan seperti ini cocok untuk masa kanak-kanak, tetapi menjadi disfungsional ketika orang beranjak dewasa. 

KeberAGAMAan yang tidak dewasa bersifat menghakimi dan menilai orang lain. 

Orang menjalankan praktik-praktik agama untuk memenuhi kebutuhannya. 

Bagi orang yang beragama secara dewasa, motif keagamaan diletakkan di atas segala motif pribadinya.
.
.
(✍️ Andira Puspita Sharma)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar