Berkenalan dengan Komunisme Tiongkok
Berkenalan dengan Komunisme Tiongkok
Helikopter
terbang di atas bendera Tiongkok di Lapangan Tiananmen dalam formasi
"100" selama upacara untuk menandai peringatan 100 tahun berdirinya
Partai Komunis China di Lapangan Tiananmen di Beijing, China, Kamis
(7/1). Foto: Ng Han Guan/AP Photo
Ketika mendengar kata
Komunisme, berbagai anggapan buruk, bahkan busuk, sering muncul di dalam kepala orang yang mendengarnya.
Tidak percaya? Lihat saja komentar-komentar yang dilontarkan oleh para
warganet ketika dihadapkan oleh konten-konten yang membahas Komunisme.
Mereka tidak segan memainkan jemarinya di atas gawai canggih untuk
melontarkan komentar negatif terhadap konten-konten tentang Komunisme.
Hal ini sering terjadi ketika
Tiongkokmenjadi tajuk utama karena negara tersebut memang memiliki sejarah yang panjang dan kelam dengan Komunisme.
Namun, alangkah baiknya jika kita memiliki pemahaman yang baik tentang
Komunisme, khususnya Komunisme Tiongkok. Jemari kita harus terdidik
untuk dapat menghasilkan argumentasi yang lebih tepat sasaran.
Nukilan pendek ini akan membahas dua pertanyaan terkait Komunisme
Tiongkok. Sebelum masuk ke alam pikiran Tiongkok, kita harus memahami
terlebih dahulu arti dari komunisme itu sendiri.
Selanjutnya, bagaimana Komunisme hidup berdampingan dengan alam pikiran
Tiongkok dan dampaknya terhadap berbagai kebijakan publik yang dibuat
oleh negara tersebut.
Komunisme Ala Lenin Tak Sepenuhnya Seirama dengan Komunisme Karl Marx
Di Indonesia, Komunisme sering diidentikkan dengan
Karl Marx (1818-1883), salah satu tokoh termasyur
filsafat
barat abad ke-19. Tokoh ini sering dianggap sebagai penjahat ulung yang
bertanggung jawab atas berbagai peristiwa kemanusiaan yang dilakukan
oleh negara-negara komunis.
Saking buruknya citra Marx, khususnya di Indonesia, sejumlah karyanya
dan tulisan yang membahas tentangnya sempat dilarang, bahkan dibakar
secara besar-besaran.
Menurut penulis, menyalahkan Marx merupakan tindakan yang gegabah karena
pandangan filosofis Komunisme yang menimbulkan bencana mengerikan bagi
umat manusia tidak sepenuhnya bertumpu pada pandangan Marx.
Vladimir
Lenin (1870-1924) adalah orang yang bertanggung jawab atas berbagai peristiwa kemanusiaan yang dimaksud di atas.
Lenin, dalam (Magnis-Suseno, 2003, 31-43), menginterpretasikan pandangan
Marx tentang perjuangan proletariat (kaum buruh atau kelas bawah) dalam
melawan Kapitalisme ke arah yang menghalalkan hal-hal buruk seperti
kediktatoran Partai Komunis dalam mengelola negara. Maka dari itu,
ketika kita mendengar kata Komunisme, maka istilah yang tepat dalam
menggambarkan pandangan filosofis tersebut adalah Marxisme-Leninisme,
bukan Marxisme.
Komunisme atau Marxisme-Leninisme bertumpu pada pemikiran Marx dan
Engels yang diinterpretasikan oleh Lenin (pemikiran murni Marx dan
Engels tidak akan penulis bahas secara detail pada kesempatan ini).
Franz Magnis-Suseno (2013, 65-67) memaparkan bahwa terdapat tiga ajaran
pokok Marxisme-Leninisme, yaitu Filsafat Marxis-Leninis, Ekonomi
Politik, dan Komunisme Ilmiah. Pemikiran ini tercermin dalam tata kelola
atau kebijakan-kebijakan publik yang dilakukan oleh Uni Soviet.
Filsafat Marxis-Leninis terdiri dari dua bagian, yaitu Materialisme
Dialektis dan Materialisme Histori. Materialisme Dialektis adalah
pandangan Engels dan Lenin yang menyebutkan bahwa hakikat atau substansi
segala sesuatu, baik yang bersifat jasmani maupun rohani, adalah
materi. Artinya bukan hal-hal yang bersifat adi-duniawi seperti roh,
dewa, atau Tuhan.
Di samping itu, pandangan Materialisme Historis merupakan pemikiran Marx
tentang hukum-hukum dasar perkembangan masyarakat. Pandangan tersebut
menjelaskan faktor-faktor yang menentukan perkembangan masyarakat dalam
kehidupan bersama manusia.
Ekonomi Politik adalah kritik terhadap Kapitalisme dan Imperialisme.
Kritik terhadap Kapitalisme adalah pemikiran Marx yang ia utarakan dalam
karya termasyurnya Das Kapital yang berbicara tentang pertentangan
antara kelas atas (pemilik modal) dan kelas bawah (buruh). Marx juga
mengupas soal kehancuran Kapitalisme yang disebabkan oleh sistem cacat
di dalamnya, sehingga dapat dipastikan Revolusi Proletariat oleh kaum
buruh akan terjadi.
Apabila kritik terhadap Kapitalisme dicetuskan oleh Marx, Kritik
terhadap Imperialisme dicetuskan oleh Lenin. Menurut Lenin,Imperialisme
merupakan tingkat tertinggi Kapitalisme karena dalam bentuk inilah
Kapitalisme menyebar ke seluruh dunia.
Pada suatu titik tertentu, ketika Kapitalisme sudah menyebar ke seluruh
dunia dan pertentangan antar kelas terjadi di seluruh dunia, maka
Revolusi Proletariat yang akan menghancurkan Kapitalisme niscaya akan
terjadi (Magnis-Suseno, 2005, 234-239).
Pemikiran Marxisme-Leninisme yang terakhir adalah Komunisme Ilmiah atau
suatu teori atau taktik gerakan komunis internasional yang digagas oleh
Lenin. Inti pemikiran ini adalah pandangan Lenin soal dibutuhkannya
suatu Kediktatoran Proletariat yang diwakili oleh negara melalui peran
Partai Komunis agar Revolusi Proletariat dapat terjadi.
Dengan kata lain, Komunisme Ilmiah adalah proses transisi, yang menurut
Lenin niscaya akan terjadi karena bersifat ilmiah, dari Revolusi
Sosialis (Revolusi Bolshevik di
Uni Soviet
yang mengambil alih kekuasaan) ke Sosialisme (Kediktatoran Proletariat
yang menghancurkan Kapitalisme) dan dari Sosialisme ke Komunisme
(situasi yang menggambarkan telah hancurnya Kapitalisme sehingga negara
tidak dibutuhkan lagi).
Narasi Komunisme atau Marxisme-Leninisme memang menggugah, terutama bagi
orang-orang yang merindukan suatu pembebasan dari segala keterasingan
atau penindasan. Cita-cita Komunisme terdengar mulia walaupun
realisasinya tidak seindah pemikiran filosofis yang mendasarinya karena
telah menelan banyak korban jiwa.
Menurut hemat penulis, alam pikiran Komunisme cacat karena status
ilmiahnya (lihat pandangan Komunisme Ilmiah) menolak untuk disanggah,
diragukan, atau dikoreksi.
Padahal, menurut Popper (2009, 471-476), falsifikasi atau proses
menyanggah suatu teori atau hukum ilmiah merupakan aspek wajib dalam
ilmu pengetahuan. Jika teori atau hukum ilmiah menolak untuk
difalsifikasi, maka hal itu tidak lebih dari sekadar ilmu semu atau
pseudoscience. Namun, hal ini berhasil dihindari oleh Mao Zedong ketika
ia membawa Marxisme-Leninisme ke Tiongkok.
Bagaimana Komunisme Bertengger di Tiongkok?
Membahas Komunisme Tiongkok tidak bisa lepas dari sosok Mao Zedong,
pendiri Partai Komunis Tiongkok yang juga merupakan Founding Father
Republik Rakyat Tiongkok. Pada dasarnya, Komunisme atau
Marxisme-Leninisme digunakan oleh Mao Zedong sebagai landasan perjuangan
pembebasan dari segala ketertindasan yang disebabkan oleh Imperialisme
dan Kapitalisme.
Pandangan Marxisme-Leninisme yang penuh dengan narasi tentang harapan
yang akan membebaskan manusia dari segala keterasingan telah menarik
perhatian Mao. Terlebih lagi, Marxisme-Leninisme pada saat itu telah
menunjukkan keampuhannya di Uni Soviet melalui Revolusi Bolshevik.
Hal ini yang membuat Mao yakin bahwa Marxisme-Leninisme merupakan
ideologi yang tepat untuk diadopsi oleh Tiongkok sebagai jalan menuju
pembebasan. Namun, Mao berbeda dari Lenin yang menganggap
Marxisme-Leninisme merupakan ideologi yang sudah final dan tidak dapat
disanggah (difalsifikasi), dikritik, atau disesuaikan dengan kondisi
masyarakat tertentu.
Mao tidak menelan mentah-mentah Marxisme-Leninisme. Mao menyesuaikan ideologi tersebut dengan kondisi
politik dan historis Tiongkok.
Sekurang-kurangnya, menurut Arif Dirlik (1996, 124), terdapat dua ciri
khas Marxisme-Leninisme ala Tiongkok. Pertama, Marxisme-Leninisme
disesuaikan oleh Mao berdasarkan tiga tuntutan situasi historis yang
dihadapinya di Tiongkok.
Pertama, dimensi global atau Marxisme-Leninisme sebagai kekuatan untuk
melawan hegemoni Kapitalisme internasional. Kedua, dimensi dunia ketiga
atau Marxisme-Leninisme sebagai sarana untuk mematahkan hegemoni asing
dan mengembalikan kedaulatan Tiongkok atas dirinya sendiri. Ketiga,
dimensi nasional atau Marxisme-Leninisme sebagai sarana untuk memastikan
kembali identitas Tiongkok.
Ketiga dimensi tersebut mengindikasikan dua hal terkait
Marxisme-Leninisme ala Tiongkok. Kaum Marxis Tiongkok harus menguasai
pengetahuan mendalam tentang bahasa serta sejarah Tiongkok (Schramm,
1971, 105) dan Marxisme-Leninisme berkaitan dengan kepentingan langsung
Mao Zedong dalam menjalankan strategi revolusioner yang bertujuan untuk
membebaskan rakyat Tiongkok dari penjajahan (Dirlik, 1996, 129).
Mao dalam (Magnis-Suseno, 2013, 103-104) menyebutkan ciri khas kedua
dengan istilah-istilah yang saling berhubungan, yaitu Praksis,
Kontradiksi, dan Garis Massa. Menurut Mao, Marxisme-Leninisme bukanlah
suatu kebijaksanaan (teori) yang jatuh dari surga, tetapi berasal dari
praksis revolusioner yang berasal dari pengalaman terasing dan tertindas
yang dialami oleh manusia.
Namun, Mao tidak berhenti pada posisi tersebut. Berbeda dari Marx atau
Lenin yang menyatakan bahwa praksis menghasilkan teori revolusioner,
lalu berhenti sampai di situ. Mao berbeda. Menurut Mao, pengetahuan
dimulai dari pengalaman indrawi (praksis), lalu diolah oleh akal budi
manusia sehingga keteraturan internal atau hakikat realitas dapat
dicapai (teori), dan teori tersebut perlu diuji kembali melalui praksis
untuk mengetahui apakah teori tersebut benar atau tidak. Sesuai dengan
perjuangan revolusioner atau tidak.
Proses ujian tersebut mengandaikan perlunya umpan balik dari massa
(rakyat) yang diakomodir oleh Partai Komunis. Proses
praksis-teori-praksis yang bersifat dialektis tersebut disebabkan oleh
hubungan saling menegasikan (kontradiksi) antara kenyataan (praksis) dan
teori.
Mao menambahkan, perjuangan yang digambarkan melalui
kontradiksi-kontradiksi tersebut berlangsung tanpa interupsi. Artinya,
sesudah Komunisme berkuasa atau ketika negara sudah dihapus, perjuangan
tidak akan pernah berhenti.
Penulis memiliki dua tanggapan kritis terkait pandangan filosofis Komunisme ala Tiongkok yang dikembangkan oleh Mao.
Pertama, Komunisme Tiongkok jauh lebih masuk akal jika dibandingkan
dengan Komunisme Uni Soviet yang digagas oleh Lenin. Komunisme Tiongkok
terbuka untuk disanggah (difalsifikasi), dikritik, atau disesuaikan
dengan kebutuhan sehingga Komunisme tidak dianggap final.
Komunisme selalu berkembang di Tiongkok. Hal ini terlihat secara terang
benderang dari berbagai kebijakan publik yang tidak hanya dibuat oleh
Mao Zedong, tetapi juga para penerus-penerusnya.
Kebijakan-kebijakan yang membuka ekonomi Tiongkok sejak pemerintahan
Deng Xiaoping hingga Xi Jinping merupakan bukti nyata bahwa Komunisme
sebagai ideologi Tiongkok selalu dapat berkembang dari masa ke masa.
Menurut hemat penulis, hal inilah yang membuat Komunisme di Tiongkok
masih berdiri tegak hingga saat ini.
Kedua, dibalik aspek positif yang terlihat, Komunisme Tiongkok tetap memiliki kelemahan besar khususnya terkait isu-isu
Hak Asasi Manusia (
HAM).
Masih ingat dengan kebijakan Mao Zedong yang bernama Lompatan Jauh ke
Depan (The Great Leap Forward), kebijakan yang bertujuan untuk memajukan
ekonomi Tiongkok melalui industrialisasi besar-besaran pada 1958-1960?
Atas nama perjuangan pembebasan rakyat Tiongkok dari segala keterasingan
melalui transformasi ekonomi, jutaan manusia meninggal secara sia-sia
karena dipaksa bekerja keras untuk membuat industrialisasi berhasil di
Tiongkok.
Jika melihat pada situasi hari ini, kita juga bisa lihat orang-orang
yang mendadak menghilang (contoh baru-baru ini: Jack Ma) karena
mengkritik pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa HAM merupakan aspek
yang dianggap tidak penting oleh pemerintah Tiongkok.
Ambisi untuk memajukan ekonomi membuat pemerintah Tiongkok bersikap
tidak acuh terhadap HAM. Pertanyaan penting yang perlu dijawab oleh kita
semua, Apakah kemajuan ekonomi memiliki arti atau makna yang baik jika
HAM dikesampingkan? dan Apakah kemajuan ekonomi sama dengan situasi yang
menggambarkan manusia telah bebas dari segala penindasan dan
keterasingan?
https://kumparan.com/tshahwirman/ber...EgE8cxUre/full