Senin, 01 Juli 2024

SUKU KUTAI = ORANG DAYAK

 



Suku kutai baru di kenal di era kemerdekaan Indonesia, sebelumnya kutai merupakan wilayah didalam pemerintahan Negara Kerajaan Segara di Muara Kaman yg kemudian digantikan oleh kesultanan Kutai Kartanegara
Suku Kutai Berdasarkan Jenisnya Adalah Termasuk Suku Melayu Tua Sebagaimana Suku-Suku Dayak Di Kalimantan Timur. Kutai Merupakan Suku Baru Yang Muncul Dalam Sensus Tahun 2000 Dan Merupakan 9,21% Dari Penduduk Kalimantan Timur, Sebelumnya Suku Kutai Tergabung Ke Dalam Suku Melayu Pada Sensus 1930.
Suku Kutai Masih Serumpun Dengan Suku Dayak, Khususnya Dayak Rumpun Ot-Danum. Karena Secara Fisik Suku Kutai Mirip Dengan Suku Dayak Rumpun Ot-Danum dan Adat-Istiadat Lama Suku Kutai Banyak Kesamaan Dengan Adat-Istiadat Suku Dayak Rumpun Ot-Danum (Khususnya Tunjung-Benuaq) Misalnya; Cerau dan Erau (Upacara Adat Yang Paling Meriah), Belian (Upacara Tarian Penyembuhan Penyakit), Memang, Dan Mantra-Mantra Serta Ilmu Gaib Seperti; Parang Maya, Panah Terong, Polong, Racun Gangsa, Perakut, Peloros, Dan Lain-Lain. Dimana Adat-Adat Tersebut Dimiliki Oleh Suku Kutai Dan Suku Dayak.
Kata kutai berasal dari kata belantara yakni (quwitaire) sesuai catatan dalam buku Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia kata quwitaire merujuk pada nama wilayah kerajaan yang ada di Muara Kaman.
Di samping itu ada pula yang menyatakan bahwa nama Kutai itu berasal dari bahasa Cina kho-thay. Kho Artinya Kerajaan, dan thay artinya besar. Jadi “kerajaan yang besar”. Ucapan ini lama kelamaan menjadi Kutai, hal ini merujuk pada masa terjadinya peperangan antara kerajaan di muara Kaman dan wangkang jong dari cina yang di kenal dengan perang lipan.
Sumber lain yaitu silsilah raja-raja (dalam negeri) Kutai (Kerta-negara) , menurut Silsilah Raja-raja (dalam negeri) Kutai (Kertanegara) yang dimuat oleh C. Hooy. kaas, Penyedar Sastra, J.B. Wolters — Groningen, Jakarta, 1952, halaman 214. Cf. C.A Mees. loc. cit, halaman 165–166.menyebutkan tentang asal-usul nama Kutai dari cerita Aji Batara Agung Dewa Sakti.
Pada awalnya Kutai bukanlah nama suku, akan tetapi nama tempat atau wilayah kemudian lambat laun Kutai menjadi nama suku dan Nama Kabupaten di wilayah Kalimantan Timur. Pernamaan ibukota kerajaan (Kutanegara) pada abad ke 4 bahwa nama Muara Kaman berasal dari kata Bakulapura letaknya di tepi sungai Mahakam di seberang persimpangan sungai kanan mudik Mahakam yakni sungai Kedang Rantau asal nama kota Muara Kaman sekarang adalah Bakulapura sesuai catatan didalam sejarah Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara yang mana kota ini disebut Kota Muara.
Didalam sumpah Amukti Palapa Patih Gajah Mada di Kerajaan Majapahit tidak ada terdapat kata Tunjung Kute, yg sekarang dicocoklogikan. Hal ini tidak benar didalam Sumpah Palapa ini ditemukan pada teks Jawa Pertengahan Pararaton, yang berbunyi :
“Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”.
Terjemahannya:
“Dia Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, “Jika telah menundukkan seluruh Nusantara dibawah kekuasaan Majapahit, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa”.
Dari isi naskah ini dapat diketahui bahwa pada masa diangkatnya Gajah Mada, sebagian wilayah Nusantara yang disebutkan pada sumpahnya belum dikuasai Majapahit.
Jadi Nama Tanjung Kute ataupun Tunjung Kute itu tidak ada dalam pararaton dan kitab-kitab Negarakertagama menyebutkan nama Kutai seperti yang disebut oleh peneliti dari belanda dan peneliti local Kalimantan Timur.
Kemudian didalam catatan sejarah Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara pemerintahan Maharaja Sri Aswawarman adalah anak menantu Kudungga (Maharaja Sri Kundungga) dan disebut Juga Raja Bakulapura Tanjung Negara (Muara Kaman), berkuasa di Kutanegara.
Didalam prasasti yupa kuno yg ditemukan ditulis bahwa nama Kerajaan yang ada di Muara Kaman adalah Kerajaan Sagara, Wilayah kekuasaannya disebut Sadipa Malaya, daerah letak kerajaan atau ibu kota kerajaan bernama Bakulapura (Kota Muara) dalam bahasa Jawa Kuno, sedangkan dalam bahasa Melayu yaitu Moearakaman sebutan sekarang (Muara Kaman).
Suku Kutai, Dayak Kutai, atau Urang Kutai mayoritas beragama Islam dan hidup di tepi sungai dan ayoritas menganut agama Islam. Suku Kutai sampai saat ini masih memiliki kedekatan budaya melayu dengan Suku Banjar. Hal itu bisa dilihat dari kesenian kedua suku ini, seperti pertunjukan Mamanda atau seni teater Jepen/Zapin, musik Panting Gambus, budaya bersyair seperti Tarsul.
Menurut tradisi lisan dari Suku Kutai, antara tahun 3000-1500 sebelum Masehi, Mereka dari Yunan-Cina terdiri dari kelompok yang mengembara, hingga sampai di pulau Kalimantan melalui rute perjalanan melewati Hainan, Taiwan, Filipina. Kemudian, menyeberangi Laut Cina Selatan menuju Kalimantan Timur.
Pada zaman es proses perpindahan itu tidaklah begitu sulit, karena permukaan laut sangat turun akibat pembekuan es di Kutub Utara dan Kutub Selatan. Hanya bermodalkan perahu kecil bercadik dengan sayap dari batang bambu, sangat mudah menyeberangi selat karimata dan laut cina selatan menuju Kalimantan Timur.
Masuknya para imigran dari daratan cina ke Kalimantan Timur, pada saat itu sudah termasuk kelompok Ras Negroid dan Weddid.
Seiring perkembangan zaman, bahasa saat ini Kutai terbagi ke dalam 4 dialek, yaitu:
1. Kutai Tenggarong
2. Kutai Kota Bangun
3. Kutai Muara Ancalong
4. Kutai Sengata/Sangatta
Disamping memiliki beberapa persamaan kosa kata dengan bahasa Banjar, bahasa Kutai juga memiliki persamaan kosa kata dengan bahasa Dayak lainnya
Tentang Prasasti Yupa Pembahasan, mengenai penemuan 7 (tujuh) buah Prasasti peninggalan Kerajaan di Muara Kaman, yang dikatakan sebagai kerajaan tertua di Nusantara dan merupakan Kerajaan Hindu pertama di Indonesia sudah cukup jelas kita ketengahkan dan sewajarnya kita ungkapkan, karena telah dibahas dan diteliti secara mendalam sampai saat ini.
Bagaimana kita ketahui, bahwa pada tahun 1870 adanya suatu penelitian di Muara Kaman, karena adanya penemuan-penemuan berupa benda-benda yang menyangkut sejarah Kerajaan di Muara Kaman yang selalu disebut-sebut dengan nama Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Kutai Mulawarman.
Adapun benda-benda yang diketemukan pada tahun 1870, tersebut antara lain 4 buah tugu (Batu Prasasti yang disebut Yupa), dua buah Lencana Kerajaan yang terbuat dari Emas dan Patung Kura-kura Emas yang disimpan oleh seorang keturunan Raja-raja di Muara Kaman.
Beberapa tulisan yang pernah menulis tentang Kutai :
1. C.A. Mees, yang membuat disertasi yang berjudul “De Kro-niek van Koetai” untuk mendapat gelar Dr. pada Universitas Leiden, dan dipertahankan pada: tanggal 24 Januari 1935, dengan promotor Dr. W .V. der Wonde.
2. J. Eisenberger, dengan karangannya “Kroniek der Zuideren Ooster afdeling van Borneo “. (1936)
3. J. Ph. Vogel, “The Yupa inscription o f King Mulawarman from Koetai” B.K.I. 74, 1918.
4. S. Hourgronje, “Nog iets over de Salasilah van Koetai”, B.K.I. deel III, 1888, blz, 109–120.
5. S.W. Tromp, “Uit de Salasilah van Koetai”, B.K.I. V 3–37, 1888, blz. 1–108.
6. A.R. Weddik, “Beknopt overzicht van het rijk van Koetai op Borneo”, Ind. arch. Iste jaarg. deel I, 1849, blz. 78–105 en 123–160.
7. Cari Bock, “Reis in Oost-Zuid Borneo, van Koetai naar Ban-djarmasin”, Hist. inleiding door S.W. Tromp S.C. Knappert, overzicht van Koetai, B.K.I. 1905, pag. 588.
8. W. Kern, “Commentaar op de Salasilah van Koetai”, Ver-handelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal, Landen Volkenkunde, deel XIX, 1956. Komentar ini terutama bersi-fat filologis.
9. B. Ch. Chhabra, “Threemore Yupainscriptions o f King Mula-warman from Koetai”, T.B.G. LXXXIII, pp. 370–375.
10. Undang-undang Beradja Nanti, uitg. en vert. door Dr. C.A. Mees in Adatrechtbundel 39, ‘s Gravenhage, 1937, blz. 300 -340. Bij de aanhalingen hieruit is gebruik gemaakt van een collatie van twee Tenggarongse handschriften.
11. H. van de Wall, vervolg van het extract uit de dagelijksche aanteekeningen van den civielen gezaghebber van Koetai en de Oostkust van Borneo Ind. Arch. 2e jaarg. deel III, 1850.
12. Toevoegsel op de Undang-undang Beradja Nanti handelend over de bruidschat van vorsten dochters vgl, Ph. S. van Ronkel, Het Maleische Adat Wetboek van Koetai, Med. Kon. Akad. Wetensch. A’dam afd. letterkunde deel 80, serie B, A ‘dam, 1935, blz. 161–166, geciteerd naar een Tenggarongs handschrift.
13. Sejarah Suku Kutai Dalam Pemerintahan Provinsi Kalimantan Timur. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar