Lukisan suasana pelabuhan Jepang saat
sakoku.
Gambar: wikipedia.com
---------------
Sakoku(Kanji: 鎖国, "negara tertutup") adalah kebijakan luar
negeri Keshogunan Tokugawa untuk menutup diri dari dunia luar. Periode
ini berlangsung selama 220 tahun. Hubungan perdagangan Jepang dengan
negara lain betul-betul dibatasi. Warga asing dilarang keras masuk ke
Jepang, begitu pula warga Jepang sebisa mungkin tak usah melakukan
perjalanan ke negara lain.
Tokugawa Iemitsu berkuasa dari tahun 1623 sampai 1651.
Gambar: wikipedia.com
---------------
Kebijakan ini diprakarsai oleh Tokugawa Iemitsu dengan sejumlah dekret dari 1633 sampai 1639. Istilah
sakoku sebenarnya berasal dari era setelahnya,
Sakoku-ron
(Kanji: 鎖国論) sebuah naskah yang ditulis oleh seorang astronom dan
penerjemah Jepang bernama Shizuki Tadao pada tahun 1801. Dia menemukan
kata itu ketika menerjemahkan karya-karya musafir Jerman abad ke-17,
Engelbert Kämpfer yang kebetulah pernah membahas Jepang.
Sakoku sesungguhnya tak sepenuhnya mengisolasi Jepang. Itu
hanya sebuah sistem yang memperketat hubungan luar negeri Jepang dengan
negara lain. Sebab di pelabuhan Nagasaki, Jepang tetap membuka pintu
bagi kapal-kapal Tiongkok. Nagasaki juga menjadi tempat keberadaan
pabrik VOC Belanda, tepatnya di Dejima yang menjadi satu-satunya pihak
Barat yang ada di Jepang kala itu.
Dejima, Nagasaki yang menjadi lokasi pabrik VOC Belanda.
Gambar: wikipedia.com
---------------
VOC Belanda menjadi pintu pertukaran informasi Jepang dengan dunia luar sampai melahirkan istilah
rangaku
(Kanji: 蘭學, "pembelajaran Belanda"), kumpulan pengetahuan yang dihimpun
dan dikembangkan oleh Jepang melalui Belanda. Kebanyakan berupa
teknologi dan ilmu pengobatan Barat.
Rangaku menjadi modal
masyarakat Jepang belajar banyak aspek yang di masa depan sangat
menentukan keberhasilan modernisasi Jepang. Tak heran hanya dalam
beberapa tahun setelah menyudahi
sakoku, Jepang menjelma menjadi kekuatan baru yang perlahan setara Barat.
Sejak abad ke-16, Jepang memang menjadi salah satu negara Asia yang
menarik bagi penjelajah Barat. Pendaratan sekelompok orang Portugis di
Pulau Tanegashima pada tahun 1542, menjadi kunjungan pertama orang Eropa
ke Jepang. Dalam istilah Jepang periode ini bernama
Nanban boeki (Kanji: 南蛮貿易, "perdagangan Nanban").
Berturut-turut bangsa Eropa lainnya juga datang, seperti Spanyol,
Belanda, dan Inggris. Portugis yang fokus menyebarkan ajaran Kristen
mengirim Franciscus Xaverius pada tahun 1549. Kampanye misionaris
berjalan sukses. Pada awal abad ke-17, diperkirakan setengah juta orang
Jepang telah memeluk agama Kristen (populasi Jepang saat itu sekitar 11
juta penduduk), termasuk beberapa
daimyo (kepala keluarga berpengaruh) di Kyushu.
Fakta ini mulai menggoyang struktur sosial di Jepang, terutama ancaman bahwa Kristen berpotensi mengikis loyalitas para
daimyo
Kristen (lebih setia kepada gereja) yang sewaktu-waktu mungkin
memberontak. Di saat yang sama, kabar buruk tentang penaklukkan Spanyol
atas Filipina mulai tersebar. Tabiat orang Eropa yang gemar mendominasi
mulai mengkhawatirkan para pejabat Jepang.
Kehadiran pedagang dan misionaris Portugis selama ratusan tahun harus
berakhir pada tahun 1630-an saat Tokugawa Iemitsu mengusir semua orang
Eropa melalui sejumlah dekret. Kebijakan menjadi sangat serius saat
Tokugawa Iemitsu mengeksekusi dua orang utusan Portugis yang hendak
bernegosiasi untuk memulihkan hubungan perdagangan luar negeri.
Dekret yang paling terkenal adalah Dekret Sakoku 1635 yang melarang
kapal-kapal Jepang bepergian ke luar negeri. Tak main-main hukuman untuk
pelanggaran adalah kematian. Dekret Sakoku 1635 juga mengadakan
sayembara berupa hadiah mewah bagi siapa saja yang bisa memberikan
informasi akurat tentang orang-orang Kristen yang mempraktikkan dan
menyebarkan ajarannya di seluruh Jepang.
Dekret Sakoku 1635 melarang praktik dan penyebaran agama Kristen di Jepang.
Gambar: animoapps.com
---------------
Hal ini menyebabkan Pemberontakan Shimabara (1637-1638) yang dilakukan
sekitar 40.000 petani yang sebagian besar beragama Kristen.
Pemberontakan dipimpin oleh petani Katolik bernama Amakusa Shiro karena
ketidakpuasan atas kebijakan Matsukura Katsuie,
daimyo Shimabara yang melarang keras ajaran Kristen dan menaikkan pajak untuk pembangunan istana baru.
Perang berakhir dengan kekalahan pihak pemberontak. Amakusa Shiro dan
37.000 pengikutnya dieksekusi dengan pemenggalan kepala, sedangkan
orang-orang Portugis yang membantu pemberontak diusir dari Jepang.
Sementara itu, Matsukura Katsuie juga dieksekusi pemenggalan kepala atas
tuduhan kesalahan kebijakan. Dia menjadi satu-satunya
daimyo yang dieksekusi selama Periode Edo.
Pemberontakan Shimabara (1637-1638) juga menjadi konflik sipil terbesar
selama Periode Edo. Padahal era Keshogunan Tokugawa relatif damai tanpa
kesuruhan serius.
Selama penerapan
sakoku, beberapa kali Barat mencoba masuk ke
Jepang. Pada tahun 1647, beberapa kapal perang Portugis mencoba masuk ke
pelabuhan Nagasaki. Keshogunan Tokugawa sampai harus membentuk barikade
dari 900 kapal untuk menghentikan armada Portugis. Lalu pada tahun
1738, Angkatan Laut Rusia mendarat di Honshu, tepatnya di pantai cantik
yang saat ini menjadi bagian dari Taman Nasional Rikuchu Kaigan. Para
pelaut Rusia disambut baik oleh penduduk setempat karena berlaku sopan.
Komodor Matthew Perry dari Angkatan Laut AS mendarat di Jepang.
Gambar: shopassignment.com
---------------
Silih berganti kapal-kapal Barat singgah, tapi tetap ditolak Jepang.
Puncaknya adalah ketika pada tanggal 8 Juli 1853, Komodor Matthew Perry
dari Angkatan Laut AS dengan empat kapal perang: Mississippi, Plymouth,
Saratoga, dan Susquehanna berlayar ke Teluk Edo, Tokyo. Dia mengancam
dengan kekuatan militer dan menuntut Jepang agar membuka diri bagi
kurofune (Kanji: 黒船, "kapal hitam" atau kapal-kapal Barat).
Tahun berikutnya, Komodor Perry kembali dengan tujuh kapal dan memaksa
Jepang duduk di Konvensi Kanagawa (1854) yang menjadi perjanjian damai
pertama antara Keshogunan Tokugawa dengan Amerika Serikat. Diikuti oleh
Inggris yang juga memaksa Jepang menandatangani Perjanjian Persahabatan
Anglo-Jepang (1854), serta Rusia lewat Perjanjian Shimoda (1855).
Dalam jangka waktu lima tahun, Jepang telah menandatangani beberapa
perjanjian serupa dengan negara-negara Barat lainnya. Dengan kata lain
era
sakoku telah berakhir. Untuk menyesuaikan diri dengan Barat, Keshogunan Tokugawa meneruskan
rangaku,
namun kali ini langsung ke sumbernya. Beberapa misi dikirim ke luar
negeri untuk belajar tentang peradaban Barat. Bukan cuma Belanda, tapi
semua negara yang sekiranya bisa memenuhi hasrat Jepang akan ilmu
pengetahuan.
Lukisan para perempuan Jepang sedang belajar menjahit dengan mesin.
Gambar: inquiriesjournal.com