Selasa, 14 Juli 2020

MEREKA YANG KEJEBAK PLONGA PLONGO


"Ngeker" apa yang dimiliki musuh kemudian bersiap diri, paling tidak sampai kekuatan seimbang, bagus-bagus sudah lebih kuat, baru kita ajak tempur, itu baru dapat dibilang pakai nalar.

Merasa jagoan hanya karena badan sudah segede Arnold Schwarzenegger, trus petentang petenteng, dijamin itu bukan musuh yang layak dipertimbangkan. Terlalu mudah, terlalu telanjang.

Melihat Mr Bean hanya dari apa yang kita lihat dari kelakuannya, tak mungkin kita  menyangka bahwa dibalik Mr Bean ada sosok bernama Rowan Adkinson yang bergelar M.Sc. dari Queens College, Oxford. Oxford cing....

Demikian pula "mengeker" Oneng dari serial Bajaj Bajuri, kita akan terjebak untuk ngeremehin seorang Rieke Dyah Pitaloka yang ternyata adalah S2 Filsafat Universitas Indonesia. Dia cerdik dan pintar dibalik tampak wajah tulalit yang sering diperankannya.

Mereka para bodoh dan congkak yang memasang wajah sok arogan (padahal malah mirip ikan buntal) telah melakukan kesalahan fatal meremehkan siapa yang dianggap musuh.

Mereka sudah mendekati ajal. Mereka sudah dibibir jurang kematian dan tak seorangpun ada yang sanggup menolongnya.

Salah besar mereka kemarin membakar bendera PDIP dan berteriak turunkan Presiden di gedung MPR.

Berharap mendapat simpati rakyat, mereka tiba-tiba berubah wajah menjadi pembela Panca Sila. 

Berharap PDIP ngamuk, mereka benar-benar buta tak mengenal Megawati. Mereka justru telah digiring dan salah langkah masuk dalam jebakan yang mereka buat sendiri. Mereka kini bingung dan makin marah.

Ini hanya klimaks, ini hanya akhir babak drama "Radikal Ngelunjak" yang sebentar lagi The End. Layar panggung sedang siap-siap untuk ditutup.

Awal pertunjukan, mereka keluar secara sporadis, terpencar diseluruh daerah seolah Indonesia sudah dikepung. Mereka berteriak pada banyak sudut berharap gema memenuhi ruang publik.

Entah kenapa Presiden diam dan banyak mengalah. Membiarkan kebrutalan mereka memperkusi orang yang tak sepaham, menghalangi orang lain beribadah hingga membakar rumah ibadah milik mereka yang tak sepaham. 

Kita, rakyat Indonesia dibuat bingung dengan sesuatu yang dulu tak ada. Kita juga dibuat bingung kenapa Presiden seolah abai dan takut dengan gerombolan itu.

Kita hanya beranggapan bahwa Presiden lebih senang dengan pembangunan infrastruktur dibanding ngurusin yang kaya gitu. Kita berpikir radikal yang seperti itu sudah sulit diurus karena sudah terlalu lama dibiarkan oleh pemerintah sebelumnya. Kita pasrah saja.

Namun, dalam diamnya ternyata strategi sudah dibuat dan dijalankan. Kita saja yang tak mampu melihat itu. Kita dibuat seolah tenggelam dalam hingar keributan yang mereka buat dan kita takut. 

Kita tak tahu bahwa tema "kejarlah daku maka kau akan kutangkap" sudah dijalankan dan kini siap panen.

Gak percaya?

Mereka yang dulu sembunyi dan tak tampak, kini mulai bersuara. Kini mulai unjuk gigi dan menantang. Semua kasus raksasa seperti BLBI, Jiwasraya, TPPI, ASABRI dan puluhan yang lain diungkit dan dipanggungkan.

Ibarat sarang, tempat itu diasapi dan mereka yang bersembunyi disana mulai keluar. Kita jadi tahu ada apa dan siapa disana.  Mereka marah, berteriak dan menampakkan diri.

Lebih gila lagi, si pangeran cemara yang berusaha bangkit dengan label kendaraan yang sah dalam merebut makna demokrasi yakni Partai Politik, juga telah dibuat kalang kabut.

Membayangkan dia dibiarkan membuat dan membangun kendaraannya demi sahnya dia ikut dalam pesta demokrasi dengan menghabiskan dana triliunan rupiah dan ketika kendaraan itu sudah siap ngebut lalu malah direbut, gondoknya tuh...,tak terbayangkan.

Partai itu direbut orang terdekatnya dengan cara tak terduga dan lebih gila lagi, saat itu juga sang ketua baru langsung merapat kepada Jokowi. Cemara langsung kehilangan kendaraan politiknya dan gigit jari.

Mungkinkah kejadian seperti itu alamiah, hanya orang yang hobinya nonton sinetron tipi ga bermutu saja yang berpikir demikian. Selalu ada trik dan intrik dalam politik. Selalu ada cara menghabisi lawan politik dengan cara tak terduga.

Selalu ada konspirasi liar yang berkembang tentang makna "kuda troya".

Tak lama setelah peristiwa itu, Erick Thohir Menteri Negara BUMN mengumumkan akan merampingkan BUMN yang berjumlah 107 dari 27 kluster menjadi 40 dan hanya dari 12 klaster saja. Tikus-tikus rakus yang ada dan berkumpul disana makin dibuat terpojok.

Belum gema itu sempat melemah, Presiden Jokowi membuat gema itu makin terdengar dan menggetarkan isi dada para pembencinya. Dissela-sela kesibukannya, Presiden Jokowi melemparkan gagasan akan membubarkan 18 lembaga yang tak lagi efektif dan hanya membebani keuangan negara. 

Dan tiba-tiba sinyal gaung yang lebih besar terdengar seolah adalah perintah eksekusi dari istana. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo,  mengancam bahwa aparatur sipil negara yang terbukti terlibat ideologi khilafah akan diberhentikan tidak hormat.

"ASN apabila terbukti menganut dan mendukung paham khilafah, maka terhadap ASN tersebut sesuai Pasal 87 ayat 4 huruf b UU 5/2014, diberhentikan tidak dengan hormat karena melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945," demikian Tjahyo Kumolo menyatakan.

Telkomsel sedang diacak-acak. Indikasi bahwa para radikal telah menjadikan Telkomsel menjadi sarang kini diungkit. Ditelanjangi, di obok-obok, nama pendana dan yang didanai dalam tindakan kriminal terhadap Denny Siregar pun kini sudah tak lagi punya masa depan.

Apakah semua peristiwa ini kebetulan? Ataukah ini adalah hadiah untuk rakyat pada peringatan tiga perempat abad atau 75 tahun Kemerdekaan 17 Agustus 2020 nanti? Biarlah waktu yang berbicara.

Kita hanya harus mentertawakan kebodohan mereka-mereka yang meremehkan Presiden dengan teori muka plonga plongonya. Mereka terjebak pada retorikanya sendiri.

Mereka tidak sadar sudah di incar, di giring dan kemudian dipojokkan. Presiden menikmati olokan si ikan buntal dan dalam hati berterima kasih telah membantunya. 

Gara-gara ejekan si akan buntal, musuh melihatnya dengan sebelah mata. Mereka menjadi lengah.

Di Jepang, Ikan buntal memang harus dihadapi oleh koki yang ahli. Di Indonesia, "ikan buntal" jadi-jadian cukup dilayani dengan gaya ndeso, tak perlu kepintaran berlebihan.

Kini ikan buntal dan beracun itu tak lebih hanya seongok daging ikan yang siap dimangsa siapapun yang marah padanya. Racun dari mulutnya sudah tak berarti. Dia hanya akan menjadi cerita busuk tentang racun yang membinasakan dirinya sendiri.
.
.
.
Rahayu
Karto Bugel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar