Selasa, 17 Oktober 2023

Organisasi Lapangan Kerja Jaman Kolonial




 Mula-mulanya yang diajarkan di sekolah memang belum seluruhnya kita tahu, termasuk sejarah, maka demikian pula saya tertarik untuk membagikan informasi langka ini.


Sebelum kemerdekaan nasional. Jaman dulu sekali pribumi melawan gubermen (pemerintah jajahan) dengan koran. Mereka-mereka yang gabung pers harus jadi organisator. Tetapi sudahkah kalian tahu? Organisasi pertama kali sudah didirikan orang Jawa. Yaitu: Tirtayasa, organisasi yang berdiri sejak 1899 di Karanganyar oleh Tirto Kusumo, bupati yang menjabat ketika itu. Berdirinya kelompok pertama-tama pribumi itu, hanya sekedar kekuasaan bupati, dan diatur hanya kepentingan bupati itu. Maka Tirtayasa, yang mengajarkan baca tulis dan mengandalkan jasa-jasanya, koreksi jika saya keliru, mereka jadi benih pertama lahirnya pergerakan. Meski belum ada konsep nasionalis, yang secara kesadaran dimulai dari Tirto Adhi Surjo, pendiri Syarikat Priyai, yang kemudian hari berubah jadi SDI (syarikat dagang islamijah).

Jauh sekali sebelum Marko Kartodikromo dikenal Hindia dengan pers, perlawanan dengan media koran, yang oleh beberapa sumber sudah dimulai pada 1913an. Konon juga Budi Utomo, setelah pendirinya jadi dokter di Zending kota Blora, organisasi miliknya pun lebih miring ke feodalisme, mereka punya kepentingan hanya untuk kalangan priyai tanpa peduli dengan pribumi yang lemah dan ditindas.

Menariknya, setelah saya mencoba menelusuri lebih jauh, dikutip dari Hadji Moeluk alias penulis Hikayat Siti Mariah, yang dimaksud Pram dalam Jejak Langkah. Katanya pengarang itu: golongan-golongan paling cepat perkembangannya, justru bukan pribumi, tetapi peranakan. Itu terbukti dengan kesadaran mereka yang sudah lebih dulu punya gagasan untuk mendirikan organisasi. Lebih jelasnya semua berawal dari pemikiran-pemikiran G.F van Blommestein, wartawan Semarang, yang menulis di koran De Telefon, entah ilham dari mana. Menurut sumber yang ada, beliau ini terinsipirasi dengan kemajuan keturunan Eropa di Singapura, yang bisa maju dengan bisnis daripada perang. Sampai sana beliau mengajak kerjasama usahawan keturunan Belanda, Tuan. Leenep. Untuk mendirikan organisasi pekerja, yang kemudian dinamakan Soerja Soemirat, nama itu bukan sanggar tari yang berdiri tahun 1980an di Solo. Bukan. Soerja Soemirat didirikan untuk mengurangi kemiskinan peranakan Eropa di Semarang, lebih jelasnya jaman itu, setelah Krakatau meletus 1883. Ekonomi Hindia Belanda benar-benar babak belur. Dan Semarang pun kena wabah, kekurangan modal, kemerosokan komoditi, malaise dll. Melihat itu Tuan Blommestein punya niat besar untuk membuka lowongan kerja.

Mula-mula mendirikan toko sepatu kemudian kebutuhan-kebutuhan rumah tangga. Jadi, Soerja Soemirat ini semacam pabrik produksi, mereka membuat sepatu dari 1890an awal kemudian menyewakan dokar atau rental kuda, membikin karper dan kereta kuda. Organisasi ini berfokus hanya dalam kerajinan tangan; melukis, membuat kendi gajonga, wadah roti, pompa air, ranjang, kelambu dan dondang bayi serta ukurannya sampai gerbang, papan nama, pelatihan naik kuda dll. Dan terakhir panti asuhan Yatim Piatu.

Maret 1892 Blommestein keluar digantikan Tuan W van Lingen dan Tuan Bronkhorst, keterangan lebih jelas tentang sosok wartawan itu, Blommestein, sampai saya putuskan share di kaskus. Saya belum menemukan riwayat orang ini. Keterangan buku cuma sebutkan beliau kelahiran Padang Sumatra, tetapi tanpa tahun dan tanggal. Soerja Soemirat sudah berdiri sejak 1888, dan baru dikenal Hindia Belanda 1892. Mereka punya koran bulanan dan majalah yang beroperasi antara 1893 sampai 1913.

Kenapa Soerja Soemirat? Karena ada keunikan dalam organisasi ini. Pertama-tama orang keturunan Belanda di sana lebih banyak dari Minahassa, Ambon, Menado bahkan Maluku. Dimasa-masa tahun 1907 kolonial lebih banyak menyupsidi keturunan-keturunan Belanda untuk jadi polisi atau veldpolitie, jadi jika mengambil kesimpulan, Soerja Soemirat ini organisasi yang begitu berjasa. Karena sadar tidaknya, cara-cara mereka mendidik peranakan pada jaman itu cukup efektif untuk menolak jadi serdadu, atau pekerja yang cuma jadi kacung Belanda.

Fakta kedua yang unik menurut saya. Sewaktu sedang meriset dan membaca suratkabar 1907, diketahui bahwa pekerja-pekerja pemula yang belum bisa bekerja di perusahaan Soerja Soemirat, mereka tetap digaji 25 sen! Coba bayangkan. Mereka yang gak kerja aja tetep dibayar. Aneh kan? Tetapi ajaibnya justru di sana. Soerja Soemirat ini berakhir setelah Jepang masuk tahun 1942, kabar terakhir organisasi benar-benar hilang.

Fakta ketiga yaitu para pekerja di sana bukan hanya peranakan Belanda saja, memasuki tahun-tahun 1906 ke atas orang-orang pribumi diterima kerja juga di sana, meski hanya seberapa.
Fakta terakhir ialah Soerja Soemirat disokong golongan ethik, yaitu ketua De Lokomotief Semarang, Tuan Pieter Broohsoft, yang dikenal sepemahaman dengan ide-ide politik Van Deventer semasa 1894 ke atas.

Dari mana sumbernya? Koran-koran kolonial dan situs sejarah Belanda. Saya merasa tertarik dengan organisasi ini karena kabarnya lagi, mereka yang kerja di sana orang-orang miskin dan dibuang keluarganya, kalian sendiri tahu kan jaman Belanda itu jaman yang sangat tidak manusiawi. Berdirinya Soerja Soemirat membuktikan bahwa melawan kolonialisme tidak harus dengan senjata. Tetapi perdagangan dan persatuan pekerja-pekerja atau disebut juga golongan bebas semasa itu (vrij mensen). Bahkan Tirto Adhi Soerjo sendiri pernah mengatakan: melawan dengan pemberontakan hanya kedangkalan, yang mana orang itu hanya akan menghabisi dirinya sendiri.

Sementara ini cukup sampai di sini. Sekiranya ada yang mau ditanyakan, silakan berkomentar dengan sopan, semoga bermanfaat dan bisa diambil pelajarannya.

Sedikit kata yang mungkin berguna:

Umur boleh punah, tetapi apa yang dihasilkan manusianya akan selamanya ada. Jangan berhenti, manusia harus bisa bekerja untuk keabadian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar